HARIAN KOMPAS, JURNALISTIK CINTA TANAH AIR

0
1204

DSC_0835
Di usianya yang ke-50, harian Kompas sedikitnya mendapatkan 45 penghargaan dari dalam dan luar negeri. Penghargaan tersebut beragam dari penggunaan bahasa hingga konten yang disajikan. Posisinya sebagai intermediasi antara masyarakat dan negara senantiasa menjujung konten yang integritasnya dapat dipertanggungjawabkan, sehingga hal itu memungkinkan Kompas terus melangkah. Kompas juga menjadi media harian pertama yang mendapat anugerah kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2015 atas sajian seni, budaya, dan sosok. Anugerah ini tak lepas dari semangat para pendiri Kompas yang mencita-citakan masyarakat Indonesia yang cerdas dengan menempatkan kebudayaan sebaik-baiknya dalam pembangunan bangsa.

Tepat pada tahun 2015, Harian Kompas berumur 50 tahun. Gagasan awal harian ini dicetuskan oleh Jenderal Ahmad Yani kepada Frans Seda, yang menginginkan penerbitan surat kabar berimbang, kredibel, dan independen. Frans Seda mengemukakan gagasan itu kepada P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Ojong menyetujui dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertama. Menurut Budiman Tanueredjo, editor-in Chief saat ini, sebagaimana ia tangkap dari pikirannya Jakob Oetama, visi dan misi berdirinya Kompas untuk mencerdaskan bangsa dan mensejahterakan masyarakat. Kompas mengambil peran intermediasi antara masyarakat dan negara dengan nadi kecintaan pada tanah dan air.

“Pak Jakob punya keinginan besar. Mengapa penetrasi asing bisa mendapatkan tempat di Indonesia? Padahal tanah sudah banyak tahu, air tidak banyak yang tahu. Pak Jakob galau kalau ada teve internasional yang menyebut Malaysia is a trully Asean. Indonesia is a trully Asean,” kata Pak Budiman. Atas kegelisahan itu maka dalam editorial Kompas meliput tanah air Indonesia dengan keunikannya, keindahannya, dan problematiknya. Intinya aktivitas jurnalistik yang mengedepankan cinta tanah air. Antara lain bagaimana membuat liputan yang melihat Indonesia dari sungainya, gunungnya, dan kedalaman lautannya, untuk memperkenalkan tanah air.

Harian Kompas dikenal juga oleh pembacanya, sebagai media yang konsisten menyajikan rubrik kebudayaan. Hal itu tak lepas dari visi Kompas untuk mencerdaskan bangsa, dan karenanya pendidikan menjadi sangat krusial khususnyatentang pendidikan kebudayaan. Menurut Budiman, Jakob Oetama pernah membincang tentang negara Ghana dan Korea Selatan yang berangkat dari situasi yang sama, tetapi dalam 30 tahun kemudian, Korea Selatan maju melesat meninggalkan Ghana, karena kekuatan mereka dalam memajukan kebudayaannya. Karena itu, Jakob juga menyarankan agar perkembangan Kompas fokus pada pendidikan dan memberikan tempat sebaik-baiknya untuk kebudayaan. Karena, selain sajian politik dan ekonomi, masyarakat juga perlu memperhalus budinya. Semua itu dirawat melalui rubrik sastra, seni, dan esai kebudayaan. “Kita tidak ingin semuanya hanya dibayangkan dalam rasionalitas tapi juga bagaimana perasaan. Kadang-kadang terlalu rasionalitas akan kurang mengimbangi perasaan,” kata Budiman. Kompas mendapatkan anugerah kebudayaan karena rubrik “Pendidikan dan Kebudayaan” ini juga memandang memunculkan sosok manusia Indonesia itu penting. Dengan mengangkat anak bangsa diharapkan juga kekuatan manusia Indonesia dapat melakukan penetrasi ke negara lain.
Demikian juga dalam hal pembentukan karakter bangsa. Kompas menyelenggarakan berbagai kegiatan yang melibatkan anak muda. Seperti program mengajak anak-anak SMA di seluruh daerah untuk membangun kebun kota atau writing competition yang mendorong anak muda membayangkan Indonesia tanpa korupsi. Kegiatan itu bertujuan agar generasi muda mencintai tanah airnya dengan tujuan akhir mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan masyarakat.

Sebagai media yang mengambil peran intermediasi masyarakat dan negara Kompas juga melihat manusia dengan keagungan dan kekerdilannya yang kemudian tercermin dalam praktik kerja editorial critic with understanding. Kompas memosisikan sebagai media yang menampung perbedaan pendapat sehingga terdapat debat publik untuk infrastruktur demokrasi. Sebuah ruang yang akan merubah noise menjadi voice yang memberi manfaat. Sikap seperti itu juga yang membuat Kompas bertahan hingga tahun ke-50.

Walaupun di tahun ke-50 dengan perkembangan era digital yang pesat, Kompas perlu mengembangkan berbagai strategi untuk tetap dapat berkomunikasi dengan pembacanya. “Digital mengubah cara mengakses informasi. Sehingga saat ini Kompas juga menyajikan editorial yang dapat didistribusikan melalui platform digital, televisi, dll. Itu cara kita tetap hadir dan relevan di kalangan muda,” kata Budiman. Lebih lanjut Budiman mengemukakan bahwa “Tajuk Rencana Kompas” yang semula hanya hadir di halaman 6 paper, sekarang dilengkapi juga dalam format video yang dapat diakses baik dalam format digital maupun broadcast. Bahkan menjelang Masyarakat Ekonomi Asean, pada 2016, Kompas juga akan tampil dalam bilingual, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris untuk jangkauan pembaca yang lebih luas.

Selain pendekatan multiplatform tersebut, yang utama adalah Kompas terus merawat integritas, kejujuran, dan kredibilitas konten yang mereka sajikan. Dalam mengikuti dinamika bangsa, Kompas juga menyadari di masa lalu Editor dianggap tahu segalanya, karena pembaca dulu konsumen pasif. Sekarang pembaca telah menjadi produsen konten, mereka bisa menjadi pelapor warga. Walaupun perbedaannya, pelapor warga ini tidak terikat etik dan institusional values. “Sehingga kita harus jalan bersama. Mungkin kita hanya produksi 140 berita per hari tapi Kompas tidak menghadirkan seks dan darah. Kami menghadirkan voice-voice yang bermanfaat bukan kegaduhan yang tidak perlu,” tutur Budiman.

Adapun mengenai anugerah kebudayaan yang Kompas terima Budiman menyampaikan “Tentunya sebuah pengakuan ini harus diapresiasi. Bukan tujuan Kompas untuk mendapat rekognisi, tapi kami berterima kasih dan bersyukur atas apa yang kami lakukan ini ternyata bermanfaat. Mudah-mudahan apa yang dilakukan ini diikuti media lain. Dan bagaimana penghargaan ini kontinu harus diteruskan semacam social movement agar kebudayaan menjadi sentral.”