Christ Fautngil: Jangan Malu Berbahasa Ibu

0
653

Doktor Christ Fautngil sudah 39 Tahun mendedikasikan hidupnya untuk penelitian bahasa-bahasa lokal di Papua. Penelitiannya menelusuri kekayaan bahasa-bahasa lokal dari daerah kepala burung, pegunungan, bagian selatan Papua hingga daerah perbatasan dengan Papua Nugini.

Ia meneliti, antara lain, pemakaian bahasa di Kepulauan Raja Ampat, pemetaan bahasa di Sentani dan Lembah Grime, deskripsi struktur bahasa Na ri, Waropen, Biak, Kamoro dan Tobati. Penelitiannya menghasilkan enam kamus bahasa (kamus bahasa Indonesia-bahasa lokal) dan tujuh buku mengenai tata bahasa, serta kajian lain terkait bahasa-bahasa lokal tersebut. Ketua Asosiasi

Peneliti Bahasa Lokal (APBL) Papua ini berharap penelitiannya dapat dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang memungkinkan suku- suku di Papua mempertahankan dan melestarikan bahasa ibunya.

Christ Fautngil melakukan penelitian bahasa-bahasa lokal di Papua sejak 1979. Saat itu ia baru menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Cendrawasih. Sarjana muda ini mengikuti penelitian multi-disipliner untuk wilayah Maluku dan Irian Jaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian pertamanya mendalami bahasa-bahasa di Kepulauan Raja Ampat.

Selanjutnya ia melakukan penelitian di daerah-daerah ‘kepala burung’, Pulau Papua, kemudian ke ibu kota provinsi Jayapura dan wilayah perbatasan Na ri, yang memiliki karakteristik satu kampung menggunakan satu bahasa. Penelitiannya kemudian bergerak ke bagian selatan Papua, antara lain daerah Marin dan Kamoro. Juga daerah Pegunungan Wamena. Saat ini Christ memperluas penelitian di Jayapura atas permintaan wali kota setempat. Permintaan itu karena muncul kekhawatiran punahnya beberapa bahasa lokal, terutama yang pemakainya tinggal di kota yang mendapat pengaruh lebih banyak dari luar.

Menurut dosen Universitas Cendrawasih ini, memang salah satu yang mengancam kepunahan bahasa-bahasa lokal Papua karena penuturnya berhadapan dengan kemajuan teknologi dan pengaruh dari luar, sehingga mereka sulit untuk mempertahankan apa yang mereka miliki. Umumnya, ancaman yang seperti ini dihadapi oleh penutur bahasa yang tinggal di kota. Ancaman lain, berkembangnya cara berpikir yang menganggap menggunakan bahasa nasional lebih keren dibandingkan bahasa ibu. Ancaman terakhir adalah hadirnya para pendatang ke Papua yang kurang peduli untuk mempelajari bahasa setempat.

Keprihatinan atas semakin punahnya bahasa-bahasa lokal di Papua itu yang mendorong Christ untuk mendedikasikan diri pada penelitian bahasa-bahasa di provinsi paling timur Indonesia ini. Fungsi bahasa dalam masyarakat, menurutnya, tidak sebatas sebagai alat komunikasi. Bahasa juga merupakan sistem pengetahuan pemilik bahasanya. Bila suku-suku di Papua sudah tidak dapat bertutur dengan bahasa ibunya, bagaimana mereka dapat melestarikan keberlangsungan sistem pengetahuan dan kearifan lokal dari kebudayaan mereka?

Setiap suku di Papua, sebagaimana suku-suku lain di dunia, sebenarnya punya cara tersendiri untuk mewariskan kearifan lokal dan pengetahuan yang berakar dari kebudayaannya pada generasi selanjutnya. “Salah satu sistem pewarisan melalui melalui bahasa ibu,” demikian Christ menjelaskan. Bahasa juga identitas kebudayaan. “Bagaimana misalnya seseorang mengidenti kasi sebagai orang Sentani kalau ia tidak mengerti dan kehilangan bahasa Sentani,” tutur Christ.

Menghadapi situasi demikian, sebagai peneliti, Christ berusaha membukukan tiga hal dari hasil penelitiannya. Pertama, menyusun kamus bahasa Indonesia–bahasa-bahasa lokal Papua. Kedua, menyusun tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal tersebut dan menyiapkan buku ajar cara bahasa-bahasa tersebut diajarkan. Ia berharap dengan menyusun buku ajar tersebut, pemerintah lebih terdorong untuk menggalakkan pengajaran bahasa ibu di sekolah- sekolah. Hingga sejauh ini Christ telah menyusun enam kamus, dua buku tata bahasa, dan lima buku terkait situasi bahasa-bahasa lokal di Papua.

Apa yang ia lahirkan itu masih sedikit jika dibandingkan luasnya Pulau Papua dan kekayaan bahasa yang terkandung di dalamnya. Christ berupaya sedikitnya melahirkan 10 kamus, 10 buku tata bahasa, dan 10 buku terkait situasi kebahasaan bahasa lokal Papu, sebelum ia benar-benar tidak dapat lagi melakukan penelitian.

Hasil penelitiannya itu, menurut Christ, perlu dibarengi kebijakan pemerintah yang dapat mendukung keberlanjutan bahasa- bahasa yang sedang terancam punah itu. Seperti penyuluhan kepada masyarakat agar menggunakan bahasa ibunya, terutama mereka yang tinggal di perkotaan yang banyak berinteraksi dengan bahasa dari luar. Saat ini, Christ bekerjasama dengan Summer Institute of Linguistics (SIL) menjalankan program pembelajaran multibahasa bagi anak-anak di Distrik Kuyawage. Program ini memungkinkan anak SD dari kelas I sampai kelas III SD untuk menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa disekolah. Dengan demikian anak diharapkan lebih mudah menangkap ilmu pengetahuan dan secara bersama memperkokoh akar bahasa ibunya. Program ini telah mendapatkan dukungan dari dinas pendidikan setempat dan dijalankan di lima wilayah untuk penutur bahasa Mei, Sentani, Marin, Merauke, Asmat dan Kamoro.

Dalam upanya melestarikan bahasa-bahasa lokal ini, Christ juga menghadapi beberapa tantangan yang tidak mudah untuk diatasi. Ada suku yang menolak bekerja sama dalam penelitiannya karena mereka menganggap Christ hanya akan mengambil keuntungan dari mereka. Tantangan kedua, kurangnya dukungan dana. Dengan kondisi Pulau Papua yang luas dan daya jangkau yang sulit mengakibatkan biaya transportasi dan operasional penelitian menjadi sangat mahal. Keterbatasan dana itu juga yang akhir-akhir ini membuat Christ lebih banyak melakukan penelitian di sekitar Jayapura.

Menanggapi Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pelestari yang ia terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Christ mengucapkan terima kasih karena pemerintah dapat melihat apa yang sedang ia upayakan. “Walaupun sebenarnya saya tidak mengharapkan sesuatu. Selama saya masih bisa bekerja, ini berkat yang cukup dari Tuhan dan saya bersyukur dengan apa yang saya terima,” tutur Christ.

Di akhir perbincangan, Christ menyarankan kepada pemilik bahasa agar jangan malu mengunakan bahasa ibu. Sebab, ketika bahasa nasional sudah diatur harus digunakan pada momen apa, justru bahasa daerah belum ditempatkan dengan saksama. Gunakanlah bahasa ibu di rumah dan ciptakan forum di masyarakat yang memungkinkan untuk menggunakan bahasa lokal. Karena, menurutnya, bahasa aspek budaya yang sangat penting bagi masyarakat dan memberi pengaruh pada perkembangan masyarakat.