Ahmad Rapanie Igama, Pelestari Naskah-naskah Kuno “Kaganga”

0
2110

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. Ahmad Rapanie Igama adalah sosok yang sangat tekun menggali kembali naskah-naskah Ulu dengan aksara Kaganga di Sumatera Selatan. Meski ia menyadai bahwa jalan itu adalah jalan sulit, tapi dengan segala kesabaran dan ketekunannya ia pun dapat memahami isi dari naskah tersebut. Serat kuno yang merupakan peninggalan masyarakat bagian hulu Sungai Musi—sehingga diberi nama naskah Ulu atau tulisan Ulu—itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali aksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal sehingga sulit diketahui isinya. Meski tidak memiliki dana yang cukup, Ahmad Rapanie Igama sudah menjadi bukti sejarah bahwa di mana ada kemauan di sanalah akan ada jalan.

Sosoknya sangat bersahaja. Kita tidak akan pernah menyangka bahwa di balik sosok bersahaja itu tersimpan magma yang sangat besar serta ketekunan yang tak bertepi. Ia tahan bekerja dalam kesunyian dan sepi dari sorotan media. Meski begitu, tak sedikit pun semangatnya berkurang. Berangkat dari keinginan untuk mengenal sosok dan warisan nenek moyangnya inilah Ahmad Rapanie Igama—akrab disapa Rapanie—bekerja  keras tanpa henti di tengah  kesibukannya   sebagai PNS, untuk memahami pesan-pesan nenek moyang yang masih banyak tersembunyi di dalam naskah-naskah kuno.

Rapanie lahir di Desa Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu, 23 Maret 1964, akan tetapi sebagian besar masa kecilnya ia habiskan di tanah rantau. Usia tujuh tahun masuk SD di desanya, lalu pindah ke Palembang setelah naik kelas II. Di akhir kelas III ia diajak ke Kalimantan. Setamat SD Muhammadiyah Samarinda di Kalimantan, Rapanie pindah lagi ke Magelang. Setelah lulus dari SMP Negeri 3 Magelang, ia kembali berpindah kota, melanjutkan pendidikan ke SMA di Lampung. Tak berapa lama tinggal di Lampung, ia pindah lagi, kali ini ke  Yogyakarta. Di sini Rapanie menyelesaikan sekolahnya di SMA Negeri 3 Yogyakarta, sebelum akhirnya meneruskan pendidikan ke jurusan sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus tahun 1990.

new-pictureSetelah itu ia pulang kampung, Rapanie sempat bekerja sebagai wartawan di satu surat kabar lokal yang terbit di Palembang. “Namun orangtua tidak menginginkan saya menjadi wartawan. Saya pun mencoba menjadi pegawai negeri, menjadi kurator museum,” tuturnya lirih.

Selama bekerja di Museum Negeri Sumatera Selatan “Balaputra Dewa”, tahun 2006 ia mendapatkan beasiswa dari pemerintahan provinsi setempat untuk melanjutkan kuliah program pascasarjana (S2) di Universitas Indonesia (UI) dengan bidang kajian sosiologi pembangunan sosial, FISIP-UI. Setelah itu ia kembali lagi ke Palembang, dan saat ini (2016) masih mengambil program doktor (S3) di UIN Raden Fatah dengan spesialisasi  Islam Melayu Nusantara.

Pada awalnya Rapanie sangat menyukai kesenian, terutama menggambar. Tak heran bila  pada saat itu ia ingin menjadi arsitek. Semasa di Yogyakarta, selain di UGM, pada saat bersamaan ia juga pernah kuliah di Jurusan Teknik Sipil,  Universitas Negeri Yogya. Akan tetapi  yang terakhir ini hanya bertahan selama dua tahun. Ketika beasiswa dari Bank Dunia yang ia dapatkan dicabut, ia memilih yang di UGM. Ia juga menyukai dunia tulis-menulis, terutama yang berkaitan dengan sastra. Meski tidak memiliki bakat turunan, kecintaannya terhadap dunia tulis-menulis semakin membesar. Adapun jenis tulisan yang dihasilkannya ketika itu terutama puisi, yang biasanya dimuat di Koran terbitan Yogya. Pada tahun 1985,  puisinya sempat dimuat di harian nasional.

Lama hidup di tanah rantau membuat Rapanie ingin kembali ke kampung halamannya di Palembang. Ada rasa rindu yang begitu membuncah. “Masa kecil saya di sungai dan ketika besar jarang menjumpai sungai. Kebetulan saat mulai bekerja di museum saya bertemu naskah Ulu. Berangkat dari kecintaan ingin mengenal masa lalu saya, saya pun dalami naskah tersebut.” ujarnya.  “Sayangnya, pada waktu itu tidak ada satu pun orang yang mampu membacanya. Padahal itu milik nenek moyang kita,” lanjutnya.

Pernah ada yang mencoba membacanya, tapi hasilnya tidak jelas dan tidak konsisten, meski begitu ada tafsirnya. “Jadi saya merasa itu aneh, kok ada tafsirnya, padahal aksaranya tidak dimengerti,” tuturnya. Setelah  itu  ia bertemu Pak Sarwit Sarwono yang membaca naskah Serawai di Bengkulu yang juga ditulis dengan aksara Kaganga, Di sana ia mendapatkan referensi dan melalui Sarwit Sarwono pula ia banyak belajar, meski hanya satu hari. “Dialah guru saya.  Setelah itu saya belajar sendiri secara otodidak,” jelasnya.

new-picture-1Salah satu naskah Ulu yang diungkap oleh Rapanie adalah apa yang ia beri nama “Gelumpai Nabi Muhammad”. Dalam naskah tersebut terdapat makna yang begitu dalam. Aksaranya lokal, bahasanya Jawa, dan muatannya global. Artinya, dari dulu orang Sumatera itu multikulturnya sangat kuat dan memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi. Naskah tidak utuh tapi bisa dipahami secara utuh. Pesan dari surat Ulu: Kelahiran Nabi, memiliki muatan agama yang berlaku di seluruh dunia dan berbahasa Jawa. Artinya terjadi diaspora Jawa di Sumatera Selatan. Ketika memakai aksara Kaganga, artinya ditujukan untuk orang Jawa yang tinggal di Sumatera Selatan. Ini kan artinya sudah lama Jawa berdiaspora di sana dan di sana ada percampuran kultur Melayu dan Jawa. Ada juga naskah astronomi yang memiliki pengaruh Jawa dan agama Islam. Misalnya, menentukan nama-nama bulan menggunakan istilah Arab, seperti Safar dan lainnya.

Memang ada banyak kendala dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut. Pada saat itu terdapat tradisi mewariskan milik leluhur. Kalau dia seorang ayah memiliki 20 naskah, dan kalau memiliki dua anak laki-laki maka dibagi dua: masing-masing 10. Lama-lama naskah tidak utuh lagi. Inilah sebetulnya yang menyusahkan Rapanie ketika membaca naskah Ulu tersebut. Memang yang menjadi medium penulisan aksara kuno tersebut berbagai macam, mulai dari  kulit, bambu, tanduk, bahkan ada yang dari lontar dan lain sebagainya. Biasanya naskah-naskah dari bambu bermuatan pelajaran, adapun yang dari tanduk merupakan prasasti yang berisi perjanjian dan lainnya yang monumental.

Kesulitan berikutnya terkait memahami naskah Ulu adalah varian bahasa yang digunakan. Ada dua varian besar, yaitu Kegenge dan Kaganga Tadana. Penyebutan itu menentukan sandangan. Jadi kalau Kegenge tidak perlu sandangan /e/ perlu /a/, begitu pun sebaliknya.

Adapun terkait dana, pada mulanya banyak menggunakan dana sendiri. Akan tetapi sejak tahun 2000-an,  Balai Arkeologi Palembang punya ketertarikan atas naskah itu. Tahun 2008 Rapanie diajak keliling Sumatera Selatan sampai Jambi untuk mencari naskah tersebut. Pada tahun 2012 ia mendapatkan undangan dari Tokyo University untuk menjadi pembicara di sana. Ia tinggal di sana selama enam hari dan berkumpul dengan tokoh-tokoh yang ahli aksara Kaganga. Di sana ia mempresentasikan hasil penelitiannya selama ini.

Rapanie sendiri sudah bisa membaca surat atau serat Ulu sejak tahun 1995. Awalnya ia belajar mengeja selama 1,5 tahun, baru setelah genap dua tahun ia mulai dapat membacanya. Itu pun dilakukannya di sela-sela kesibukan yang lain sebagai PNS.

Ia memiliki harapan agar generasi muda mengerti betul arti penting naskah-naskah tersebut untuk kehidupan mereka. Sebab, dengan mempelajari ini kita bisa merunut pada masa lalu kita. Kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar kebudayaan kita. Jika ada kerusakan lingkungan, kita bisa belajar bagaimana mereka dulu mengatasinya. Aksara Kaganga dipelajari untuk membaca naskah, bukan untuk identitas daerah semata-mata, sehinga naskah-naskah peninggalan dapat dibaca dan dipelajari. Di sini sesungguhnya terjadi proses transfer pengetahuan, bukan semata model aksaranya.

new-picture-2Berangkat dari keinginan untuk melestarikan pengetahuan aksara Kaganga inilah, ia mulai menawarkan kepada rekan-rekannya di UIN Raden Fatah untuk mengadakan perkuliahan khusus dengan nama mata kuliah Aksara Ulu. Bak gayung bersambut, gagasan itu pun didukung penuh rekan-rekan dosennya di UIN Raden Fatah. Sampai saat ini pembelajaran tersebut sudah berjalan selama 3 tahun. Di universitas transfer nilai-nilai dapat terjaga dan saat ini sudah ada mahasiswanya yang sedang menulis skripsi aksara Kaganga.

Rapanie berharap agar pemerintah mendorong lahirnya regulasi pelestarian naskah kuno tersebut. Perlu ada perlindungan terhadap naskah kuno Sumatera Selatan. Jadi, ia berharap pemerintah yang membuat regulasi dan swasta bisa mendukung dana dan lain sebagainya. Contoh konkret, di Sumatera Selatan ada rumah Ulu, teknologinya luar biasa. Jadi kita bisa belajar teknologi bongkar-pasang, apalagi desain rumah tersebut  tahan gempa. “Jangan sampai generasi kita itu menyusu kepada angin, kita harus makan pada tanah sendiri,” demikian pesan Ahmad Rapanie Igama.

Biodata

Nama               : Ahmad Rapanie Igama

Lahir                : 23 Maret 1964

Asal                 : Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan

Profesi             : Ahli Serat Ulu dan Aksara Kaganga

Pendidikan:

  • SD Muhammadiyah No 2223 Samarinda
  • SMP Negeri 3 Magelang
  • SMA Negeri 3 Yogyakarta
  • Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada
  • Pascasarjana Sosiologi Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia

Penghargaan:

Anugerah Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI 2016 untuk Kategori Pelestari.