Abdul Wahab Lihu, Maestro Tuja’i

0
2162

DSC_0218
“Tuja’i adalah sastra lisan yang berisi syariat ajaran-ajaran agama Islam dan petuah hidup yang harus dipertahankan guna keberlangsungan adat istiadat di tanah Gorontalo,” ujar Abdul Wahab “Lihu” mengawali perbincangan kami di teras Rumah Adat Gorontalo. Abdul Wahab memperoleh penghargaan kategori Maestro Seni Tradisi, karena konsisten mempelajari, melestarikan,dan mewariskan sastra lisan Tuja’i di daerah adat Gorontalo.

Sebagai salah satu daerah adat dari 19 daerah adat di Indonesia, Gorontalo dan sastra lisannya, Tuja’i termasuk sastra lisan yang menonjol di Gorontalo. Oleh karena itu, sastra lisan ini merupakan modal budaya yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hal itu terkait dengan peranan, karena melalui Tuja’i itu masyarakat mendapat arahan mengenai ajaran agama Islam secara puitis dalam bentuk syair-syair. Tuja’i tak dapat dipisahkan dari cara pandang masyarakat Gorontalo. Pepatah Minangkabau “Adat Bersendi Sara, Sara Bersendi Kitabullah,” tercermin pula dalam tradisi masyarakat Gorontalo ini, khususnya korelasi antara aspek adat dan aspek agama.

Pria kelahiran Limboto, Gorontalo, 7 Oktober 1937 ini sejak kecil memang memiliki ketertarikan pada adat Gorontalo, karena sering menyaksikan pertunjukan adat istiadat, khususnya di lingkungan keluarga.

“Pertama saya bersentuhan dengan adat Gorontalo karena barangkali memang bakat ketertarikan saya dengan adat Gorontalo. Meski awalnya ketika muda saya belum memahami betul berbagai jenis adat istiadat, namun saya selalu memperhatikan para senior saya, dengan cara melihat, mendengar, memperhatikan dengan saksama pelaksanaan adat istiadat. Bahkan saya juga membantu mereka dalam beberapa upacara meski sekadar membawakan minuman atau makanan para tokoh adat,” ungkap Abdul Wahab dengan penuh ketenangan.

Mempelajari seni Tuja’i, menurut Abdul Wahab, bukan hal yang mudah karena dibutuhkan ketekunan sekaligus komitmen, terlebih terbatasnya sumber referensi, seperti buku bacaan dan belum adanya pendidikan formal merupakan tantangan yang tidak ringan. Hal tersebut dialami Abdul Wahab, ketika mempelajari seni Tuja’i pada tahun 1960-an. Namun demikian, ia tidak patah semangat dan terus belajar dari para gurunya. Abdul wahab muda selalu memperhatikan dengan saksama bagaimana tokoh adat membawakan seni Tuja’i mulai dari syair hingga lantunan bermakna aksara.

Menyadari berharganya sastra lisan Tuja’i, Abdul Wahab berinisiatif menerbitkan teks lisan menjadi teks tertulis (naskah) sastra lisan Tuja’i dan sastra lisan Gorontalo lainnya agar dapat dipelajari. Saat ini telah berhasil didokumentasikan beberapa teks kuno sastra lisan Tuja’i sehingga dapat dijadikan bahan referensi baik oleh para mahasiswa, peneliti, pemerintah hingga masyarakat luas. Peran Abdul Wahab sangat besar dalam melestarikan sekaligus meningkatkan seni satralisan Gorontalo, karena dari pemikiran dan pengetahuan yang dikembangkan telah lahir para sarjana dan guru besar dalam sastra lisan di Indonesia.

Menjadi seorang tokoh adat sekaligus mengusasi sastra lisan Tuja’i harus menguasai dua hal, yaitu memahami betul tentang adat istiadat dan memahami syariat agama Islam. Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan upacara kelahiran, perkembangan anak, perkawinan, penokohan dan penobatan atau pengangkatan pemimpin hingga upacara kematian selalu disertai dengan Tuja’i. Penguasaan Abdul Wahab terhadap kesenian Tuja’i tidak diragukan lagi mengingat beliau sangat menguasai semua syair-syair Tuja’i dan makna simbolis yang terkandung di dalamnya. Ia juga merupakan narasumber yang kompeten bagi para peneliti dan intelektual. Komitmen yang luar biasa tinggi dalam menjaga dan melestarikan sastra alisan Tuja’i juga tercermin melalui upaya pewarisan sastra lisan Tuja’i kepada generasi muda dengan harapan sastralisan Tuja’i tidak punah dan tetap terjaga.

Menurut Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo, Prof. Nani Tuloli, tokoh adat ini, Abdul Wahab, layak mendapatkan penghargaan Maestro Seni Tradisi karena selain sangat menguasai seni tradisi lisan Tuja’i dan merupakan salah satu narasumber yang langka di Gorontalo. Abdul Wahab juga memenuhi persyaratan sebagai tokoh adat yang dituakan karena pemahaman keagamaannya sangat kuat. Syair-syair dan lantunan Tuja’i dan ajaran agama Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan bisa dikatakan saling mengisi. Pada sisi lain Prof. Nani Tuloli menilai bahwa Abdul Wahab menunjukkan pribadi yang rendah hati dan memiliki hubungan silaturahmi yang sangat baik, yaitu hubungan dengan pihak Pemda maupun dengan masyarakat. Abdul Wahab adalah figur yang patut diteladani oleh generasi muda.

Sebagai upaya mewariskan sastra lisan Tuja’i beliau juga aktif sebagai narasumber berbagai aktivitas seni budaya dan aktif menulis makalah-makalah tentang sastra lisan. Abdul Wahab juga membimbing para generasi muda yang memiliki kepedulian pada seni tradisi antara lain dalam bentuk pelatihan sastra lisan dan memberi arahan serta masukan yang konstruktif. Kecintaannya terhadap bahasa Gorontalo mendorong Abdul Wahab, bersama beberapa tokoh adat yang memiliki visi pelestarian adat Gorontalo, menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Gorontalo. Terjemahan tersebut sangat berguna bagi masyarakat Gorontalo, khususnya dalam memahami ajaran agama Islam secara utuh dan dengan demikian ajaran itu mampu menjadi penuntun hidup.

Terkait dengan penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi yang diterimanya, Abdul Wahab sempat tidak mempercayai hal tersebut karena yang dilakukan selama ini tanpa pamrih. Abdul Wahab berharap di masa mendatang akan lahir tokoh-tokoh adat yang menguasai sastra lisan Tuja’i agar sastra lisan tersebut tetap lestari dalam menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat Gorontalo.

Memasuki usianya yang ke-78 pada tahun 2015 ini, kondisi fisik Abdul Wahab “Lihu” semakin menurun. Namun demikian, semangatnya untuk berupaya melestarikan adat dan tradisi Gorontalo tak pernah padam.