Pelan tapi pasti, dimulai sejak akhir tahun 2019, peradaban global memasuki sejarah baru bagi dinamika eksistensinya. Sejarah baru itu terbentuk karena kemunculan pandemi Covid-19. Dalam moda yang linear, cepat atau lambat, pandemi ini tentu juga akan mempengaruhi dinamika eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia. Pandemi ini tentu saja
sesuatu yang sifatnya eksternal bagi Masyarakat Adat, dan berbagai komunitas adat di seluruh dunia berpotensi terjangkit atau bahkan telah terjangkit pandemi Covid-19 ini (Survival Internasional, 2020).

Apakah pandemi ini benar-benar baru bagi Masyarakat Adat? Berdasarkan sejarah pandemi di wilayah Indonesia, khususnya terkait dengan wabah Influenza tahun 1917-1918, di Toraja wabah tersebut telah menewaskan 10% dari populasi saat itu, bahkan berdasarkan tutur lisannya setengah dari penduduk saat itu meninggal dunia (Wibowo dkk, 2009: 183). Selain itu, penduduk pulau Enggano pada tahun 1928 pernah hanya tersisa 162
jiwa, padahal pada pertengahan tahun 1862 penduduknya berjumlah sekitar 3000 jiwa, diduga akibat penyakit endemik seperti malaria, kolera, tuberklosis dan beri-beri (Encylopedie van Nederlands Indie, 1917; Walland 1864 dan Jaspan dalam Mulyasari, t.t.: 21 dan 27). Penyakit-penyakit tersebut dapat berasal dari kontak-kontak dengan orang luar maupun kondisi lingkungan saat itu. Selain itu, tentu saja ada banyak tutur lisan yang ditemukan dalam berbagai komunitas adat di Indonesia yang menggambarkan situasi wabah, baik yang bersifat endemik maupun pandemik.


Di Indonesia memang terdapat komunitas adat yang merasa belum mendapat ancaman nyata dan langsung dari Covid-19, karena belum ada yang terjangkit. Akan tetapi terdapat pula berbagai komunitas adat yang mulai melakukan tindakan preventif di lingkungannya, karena merasa ancaman sudah semakin mendekat. Selain itu, ada kemungkinan pula terdapat anggota komunitas adat yang sudah terjangkit, namun belum terdeteksi oleh sistem pelaporan dari negara.


Di sisi lain, kini muncul istilah “kenormalan baru”, sebagaimana diucapkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya tentang hidup berdamai dengan Covid-19. Kenormalan baru ini merupakan padanan istilah “new normal” yang merujuk pada keadaan normal yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Pandemi Covid-19 ini memang memaksa masyarakat
untuk beradaptasi dengan kenormalan baru dan tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat adat.

Berhadapan dengan beragam permasalahan dan pengalaman dari berbagai komunitas adat dalam menghadapi pandemi Covid-19, tentu saja sangat berharga untuk mengetahui kesejarahan pandemi maupun epidemi yang pernah terjadi pada komunitas-komunitas adat di Indonesia, serta bagaimana strategi adaptasi mereka menghadapi situasi tersebut, termasuk berhadapan dengan Covid-19 saat ini dan tantangan kenormalan barunya.
Sumbangsih Masyarakat Adat terkait dengan pandemi global saat ini mungkin memang bukan di ranah medis. Akan tetapi, sumbangsih Masyarakat Adat bagi masyarakat umum terkait dengan pandemi justru terletak pada kekuatan yang dimiliki dan dihidupi oleh Masyarakat Adat sepanjang rentang sejarah eksistensinya, yaitu tentang makna dan norma.


Terhadap makna/nilai, sangat berharga untuk mengetahui, menggali, memahami dan mengambil pelajaran tentang pandemi dalam perspektif Masyarakat Adat. Dalam konteks spiritualitas, bagaimana Masyarakat Adat bersikap atas pandemi sebagai bagian dari kehendak hubungan antara manusia dengan penguasa semesta dalam pandangan komunitas adat. Dalam ruang semesta, bagaimana Masyarakat Adat menempatkan
pandemi sebagai bagian dari siklus Bumi yang merupakan tempat dan sumber hidup utama agar kembali “sehat”? Sementara dalam kehidupan sosial, bagaimana Masyarakat Adat menyikapi pandemi sebagai bagian dari tanggung jawab untuk menyelamatkan dan meneguhkan kemanusiaan?

Terkait norma/etika, sangat berharga untuk mengetahui, menggali, memahami dan mengambil pelajaran respons dan reaksi dari Masyarakat Adat atas pemaknaan terhadap pandemi. Dalam konteks spiritualitas, pandemi merupakan “ruang komunikasi” antara Masyarakat Adat (mandatoris) dengan Penguasa Semesta. Seperti apa ia diekspresikan
dalam adat/ritual?. Dalam ruang semesta, manusia juga merupakan bagian dari dinamika siklus Semesta. Bagaimana norma kasih sayang dan menahan diri dari bersikap “semena-mena” terhadap Bumi diwujudkan dalam aktivitas hidup? Sedangkan dalam kehidupan sosial, manusia harus dihormati sebagai bagian dan sesama makhluk semesta. Bagaimana
etika dan nilai-nilai komunalitas untuk saling membantu dan dan saling menghidupi dilaksanakan dalam keseharian?


Sebuah ruang untuk meditasi dan refleksi merupakan sumbangsih yang bisa diberikan oleh Masyarakat Adat. Bagaimana dalam kondisi pandemi ini, kita tetap menjadi bermakna sebagai manusia makhluk ciptaan, sebagai bagian kehidupan semesta, serta sebagai sesama makhluk yang berperan bagi sesama ciptaan-Nya.


Oleh karena itu, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa perlu untuk membuat sebuah diskusi publik untuk saling belajar tentang upaya komunitas adat dalam menghadapi Covid-19. Acara publik ini akan dikemas dalam format webinar dengan tema “Strategi Masyarakat Adat dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Tantangan Kenormalan Baru”.


Webinar ini dilaksanakan pada hari Kamis, 11 Juni 2020 pukul 10.00-12.00 WIB melalui aplikasi zoom (maksimal 500 peserta/partisipan) dan live streaming youtube budayasaya. Webinar menghadirkan para pihak yang terlibat aktivitas pengembangan budaya komunitas adat di Indonesia, termasuk dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, AMAN dan tokoh muda komunitas adat.

• Moderator/Host : Dr. Herry Yogaswara (Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dan Peneliti Kluster Ekologi Manusia)
• Narasumber :

  1. Hilmar Farid, Ph.D (Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
    Tema : “Upaya Penguatan Modal Sosial dan Budaya Komunitas Adat dalam Menghadapi Pandemi Covid-19”
  2. Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
    Tema : “Masyarakat Adat Menghadapi Covid-19 dan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Di Tengah Pandemi”
  3. Mijak Tampung (Generasi Muda Orang Rimba TN Bukit Dua Belas, Jambi)
    Tema : “Besesandingon Sebagai Cara Orang Rimba Menghadapi Penyakit yang Berasal Dari Luar”
  4. Abah Maman (Kasepuhan Pasir Eurih Lebak)
    Tema : “Kebijakan Perlindungan Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul”
  5. Annas R Syarif (Gugus Tugas Amankan Covid-19)
    Tema : “Mengapa karantina wilayah (lockdown) jadi penting?”
  6. Baso’ Gandasura (Kepala Desa Bonelemo, Komunitas Adat Banua Lemo, Kec. Bajo Barat, Luwu, Sulawesi Selatan)
    Tema : “Kepala Desa, Inisiatif Mandiri dan Kampung Adat (Karantina Mandiri Bermartabat)”

Bagi 10 (sepuluh) peserta dengan pertanyaan terbaik akan mendapatkan doorprize yang telah disiapkan oleh panitia. Silakan mendaftar webinar pada tautan berikut ini : https://bit.ly/WebinarMasdat