Upacara Makan Berbagi “UPACARA RITUAL SUKU MODO SUKU ASLI PULAU KOMODO” Rangkaian dalam Komodo Culture Festival 2022

0
2018

Sjamsul Hadi, S.H., M.M. Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Memberi sambutan pada puncak acara Komodo Culture Festival

Komodo – Warga desa Kampung Komodo mengelar tradisi Makan Berbagi, sebagai salah satu acara pada Komodo Culture Festival 2022. Ritual Upacara Makan Berbagi adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh warga Desa Komodo terkait dengan keyakinan warga, khususnya Suku Modo, bahwa satwa Komodo adalah saudara kembar mereka. Tradisi lisan Suku Modo yang dituturkan lintas generasi oleh para leluhur menceritakan jika warga Suku Modo dan satwa Komodo lahir dari rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, sudah seharusnya antara manusia dan satwa Komodo hidup rukun satu sama lain dalam habitat wilayah yang sama. Salah satu bentuk kerukunan tampak melalui Ritual Upacara Makan Berbagi.

Prosesi upacara ini diawali dengan kirab sesaji, di mana sesaji dibawa oleh masing-masing keturunan dari 5 klan warga yang tinggal di Pulau Komodo yaitu keturunan Umpu Najo, Wai Sumba, Ginggo Kele, Siti Hadijah, dan Ina Babu. Upacara adat ini mengajak kita untuk lebih mengenal tentang adat dan budaya yang ada di Pulau Komodo, tentang bagaimana asal muasal terbentuknya suku Modo, suku asli orang-orang yang tinggal di Pulau Komodo. Sampai saat ini banyak yang belum mengetahui bahwa di tanah Modo terdapat lima leluhur adat yang garis keturunannya masih ada hingga saat ini, kelima adat ini memiliki peran masing-masing di tana Modo. Lima leluhur adat tersebut ialah Umpu Najo, Wai Sumba, Ginggo Kele, Siti Hadijah, dan Ina Babu.

Seperti suku-suku yang lainnya, pada masa lampau, Suku Modo ini hidup nomaden. Mereka hidup dari satu tempat ke tempat lain yang dapat dibuktikan dengan adanya makam-makam kuno dan beberapa situs peninggalan bekas perkampungan kuno, yaitu terletak di Gunung Ara, Loh Lawi dan beberapa tempat lainnya. Di zaman dahulu, kelima klan ini saling berebut daerah kekuasaan, meski demikian, kelima klan ini kemudian memilih jalan musyawarah untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Dari kesepakatan tersebut, lima klan tersebut mengangkat Umpu Najo sebagai tetua klan atau pemimpin Suku Modo. Hal ini karena Umpu Najo, Ketua Suku Modo, adalah Suku asli dari Pulau Komodo. Selain klan Suku Modo yang merupakan keturunan Umpu Najo, keempat klan lainnya merupakan keturunan dari empat tokoh berikut ini.

Wai Sumba, klan yang merupakan anak keturunan Wai Sumba bertugas untuk menjaga dan mendiami wilayah yang saat ini diberi nama Wai Sumba. Sebagian wilayah Pulau Modo diberikan kepada klan Wai Sumba karena jasa tokoh Wai Sumba yang memperkenalkan proses kelahiran normal. Dahulu kala, anak keturunan Umpu Najo belum mengenal kelahiran secara normal, sehingga apabila ada ibu yang mengandung dan sudah mau melahirkan, maka proses kelahirannya akan dilakukan secara cesar, dengan membelah perutnya. Oleh sebab itu, semua kelahiran pada masa itu menyebabkan kematian ibu karena kehabisan darah. Semenjak kedatangan Wai Sumba, proses persalinan itu dilakukan secara alamiah dengan bantuan Wai Sumba.

Ginggo Kele adalah tokoh yang memperkenalkan cara bercocok tanam atau bertani kepada orang Suku Modo, karena pada saat itu anak keturunan Umpu Najo dalam memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dari keterampilan mereka berburu di hutan. Klan Ginggo Kele ini diijinkan tinggal di Pulau Komodo karena jasa mereka telah membantu orang-orang Suku Modo untuk memenuhi kebutuhan makanan. Semenjak kehadiran Ginggo Kele maka Suku Modo sebagai anak keturunan Umpu Najo mengenal tradisi pertanian selain berburu.
Siti Hadijah adalah tokoh yang berjasa telah menemukan mata air yang saat ini diberi nama mata air Siti Hadijah. Klan ini oleh klan Umpu Najo diberikan wilayah di Sebita, mulai dari Tanjung Kuning sampai Luh Boko (Lolo Kodang, di pintu masuk Selat Sape). Klan ini juga bertugas untuk menjaga wilayah tersebut dari ancaman Pagora (perampok) yang datang dari luar.
Terakhir adalah Ina Babu. Ina Babu diberi perintah untuk menjaga komodo dari Gunung Ara sampai ke Luh Liang. Hal ini karena seringkali ada pihak-pihak luar yang menganggu satwa Komodo. Karena tugasnya tersebut, klan Ina Babu kemudian diberikan wilayah dari Luh Liang sampai Gunung Ara. Anak keturunan Ina Babu juga ditugaskan untuk menjaga wilayah tersebut dari ancaman pihak luar dengan menjadi Pawang Komodo.

Selain kelima tokoh di atas, ada juga tokoh yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Suku Modo. Tokoh tersebut adalah Umpu Dato, dia adalah orang kepercayaan dari Umpu Najo. Umpu Dato adalah seorang panglima perang dari Suku Modo yang selalu berada di barisan terdepan dalam menghadapi setiap ancaman dari luar, seperti terdepan dalam menghadang musuh agar tidak masuk ke Pulau Komodo. Kesetiaannya kepada Umpu Najo dan Suku Modo menjadikan dirinya harus gugur demi menjaga Tana Modo. Kisah kesatriaan Umpu Dato kemudian di abadikan dalam sebuah atraksi yang dinamakan Kolokamba.

lima rumpun keturunanan Suku Modo

Tulisan ini merupakan pengantar tentang nilai dari Upacara Makan Berbagi. Prosesi Upacara Makan Berbagi merupakan bentuk ritual yang mengharukan bagi masyarakat Pulau Komodo. Ritual ini diperuntukkan untuk mengenang kisah perpisahan mereka dengan Sebae (saudara kembar Suku Modo). Saat ini, Ritual Makan Berbagi tidak dilakukan karena adanya peralihan pekerjaan masyarakat, namun Tim Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia berniat untuk menghidupkan kembali budaya yang sudah langka tersebut dan melestarikannya melalui Festival Budaya Komodo.

Festival Budaya Komodo atau kemudian diberi nama “Komodo Culture Festival” bertujuan untuk mengangkat kembali budaya, adat dan tradisi Suku Modo sebagai suku asli Pulau Komodo yang masih memegang teguh semua budaya, adat, tradisi serta nilai-nilai luhur masyarakat Desa Komodo. Upaya mengangkat budaya, adat dan tradisi Suku Modo menjadi angin segar bagi suku Modo atau Ata Modo karena selama ini mereka tidak dapat menghadirkan budaya, adat dan tradisi Komodo ini kepada para warga Suku Modo, khusunya generasi muda. Pelaksanaan festival ini akhirnya dapat mewujudkan keinginan mereka untuk mengenalkan kembali kekayaan adat istiadat, budaya dan tradisi Suku Modo. Terlaksananya Ritual Makan Berbagi memunculkan rasa haru yang sangat besar di tengah masyarakat Suku Modo, karena dengan festival ini, seluruh masyarakat Suku Modo merasa kembali pada jatidirinya. Melalui festival ini, masyarakat Suku Modo juga merasa terangkat harkat dan martabatnya. Mereka dapat membuktikan bahwa mereka bukan orang asing di pulau ini, mereka adalah pemilik sah pulau ini dengan segala isinya. Oleh karena itu, segala kewajiban untuk menjaga Pulau Komodo dengan segala isinya adalah tugas dan kewajiban mereka sebagai pewaris Umpu Najo dan empat klan lainnya. Keharuan tersebut mereka ungkapkan pada saat pelepasan Sebae kembali ke dalam hutan yang merepresentasikan keihklasan mereka dalam melepas saudara kembar mereka kembali ke hutan. Pada prosesi akhir ritual tersebut, seluruh warga komodo meneteskan air mata, sebagai wujud rasa haru dan bangga menjadi Ata Modo atau anak keturunan Suku Modo.

Komodo Culture Festival ini berdampak pada kuatnya nilai-nilai lokal baik tradisi maupun seni dan budaya masyarakat desa Komodo yang sejalan dengan tujuan dan program dari UU Pemajuan Kebudayaan. UU 5/2017 terkait Pemajuan Kebudayaan menggariskan empat langkah strategis dalam memajukan kebudayaan yaitu: pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Dengan terselenggaranya kegiatan ini, maka empat langkah pelaksanaan strategis Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dapat terlaksanakan. Oleh sebab itu, kegiatan Komodo Culture Festival 2022 yang diselengarakan dari tanggal 3-5 November 2022 ini akan menjadi agenda rutin yang setiap tahun akan diselengarakan, karena selain sebagai upaya pelestarian budaya, kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi daya tarik wisata budaya.

Komodo Culture Festival yang telah terselenggara dengan baik diinisiasi oleh Tim Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Program ini dikemas dalam program pengembangan wisata budaya desa Komodo dengan para pengabdi Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc., Dwi Kristianto, M. Kessos, Tommy F. Awuy, dan Widhyasmaramurti, M.A., pada tahun 2020, dilanjutkan dengan pengabdi masyarakat (Pengmas) 2022 dengan para pengabdi Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum., Dr. Taufik Asmiyanto, M.Si., Dr. Hendra Kaprisma, S.Hum., Murni Wudyastuti, M.Hum., dan Dwi Kristianto, S.Hut, M.Kesos. Komodo Culture Festival dipersiapkan selama tiga tahun dengan dukungan pendanaan dari Universitas Indonesia, dan Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui program Dana Indonesiana tahun 2022.

Tulisan ini disusun Dwi Kristianto, Sandra Rizky Pratama, Widhyasmaramurti, dan Irmawati berdasarkan wawancara dengan para tetua adat.