Oleh Djadjat Sudradjat
Dewan Redaksi Media Group

Kliping Budaya-230615-Media Indonesia-Mendikbud atau Mendiknas

Suatu sore bulan silam, di Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta. Kami berbincang tentang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Kata seorang pengajar Institut Kesenian Jakarta, Anies bukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Anies hanya mengurus pendidikan dan tidak mengurus kebudayaan.”

Argumentasinya berkali-kali Anies berbicara di berbagai forum hampir tidak pernah menyinggung kebudayaan. “Menurut Anies, pendidikan mengalami kemunduran paling serius. Wajar jika prioritas utama mengurus pendidikan.“

Saya Menyela. “Memangnya kebudayaan kita sudah siuman? Anies seperti tidak paham kebudayaan, tapi tak berupaya mencari tahu dari yang paham.” Lebih serius lagi.

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Prudentia MPSS membuka fakta. Pendegradasian peran kebudayaan justru dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Prudentia, lelang jabatan untuk beberapa pejabat tinggi madya yang kini dilakukan Kemendikbud salah satu contohnya.

Ia terkejut ketika tahu syarat posisi Dirjen Kebudayaan cukup lulusan S-1 dari program studi yang terakreditasi minimal B, tanpa kualifikasi khusus pula. Padahal, untuk jabatan lain, termasuk beberapa staf ahli, perlu syarat S-3. Syarat calon Dirjen Kebudayaan justru lebih minimal daripada yang lain. Dengan syarat minimal itulah Prudentia pun menafsir-nafsir.

Pertama, sudah ada calon dengan ijazah S-1, ia akan gugur kalau syaratnya di atas S-1. Kedua, Dirjen Kebudayaan dianggap tak penting: karena itu, cukup lulusan strata satu. Padahal, hal ini termasuk kategori eselon 1A, sementara staf ahli masuk kategori eselon 1B. “Ini sangat aneh . Terlebih tanpa syarat yang bersangkutan melakukan kajian di bidangnya, sementara untuk jabatan lain mensyaratkan. “

Dengan Syarat itu, Kemendikbud menganggap bidang kebudayaan bisa dikerjakan siapa saja. Kita mungkin akan melihat kebudayaan yang amat luas dan kompleks itu lagi-lagi ditafsirkan sebatas kesenian. Celakanya pula, kesenian pun sebatas yang ‘menghibur’.

Radhar Panca Dahana, ketika hadir sebagai pembicara sebuah seminar, protes keras pada moderator, yang mempersilahkannya ‘meng-entertain’ hadirin. Ia menyatakan bukan entertainer.

“Saya protes didiskriminasi sebagai penghibur. Saya menekuni kebudayaan dengan sangat serius selama beberapa dekade sebab semua orang telah menghalakan materi. Saya turun dari panggung kalau didiskriminasi sebagai penghibur.” Suaranya tegas, keras. Sang moderator yang juga seorang professor agak terkejut, tetapi tidak meralat ucapannya.

Itu hanya sepenggal contoh, betapa konstruksi kebudayaan oleh Negara kerap melemahkan pengertian kebudayaan itu sendiri. Padahal, jika diperlakukan dengan benar, kata Wakil Mendikbud Bidang Kebudayaan era SBY, Wiendu Nuryanti, kebudayaan bisa menjadi superpower.

Saya pun bernostalgia seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang amat memahami pendidikan dan kebudayaan, Fuad Hasan. Kita juga pernah punya Dirjen Kebudayaan yang amat mencerahkan di bawah Edi Sedyawati. Dialog Kebudayaan terasa hidup, pluralisme dikukuhkan, kearifan lokal digali, seni tradisi dihormati, seni modern diberi panggung seluas-luasnya. Kebudayaan jelas terasa arahnya.

Masih ada waktu bagi Anies Baswedan. Kita menunggu ia sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sebenar-benarnya.

Sumber: Media Indonesia
(23 Juni 2015)