Membincang Peran Kemajuan Kebudayaan untuk Demokrasi Inklusif

0
420

Dalam gelaran keempatnya International Conference and CSO Consolidation on Indigenous Religions mengusung tema “Demokrasi Inklusif: Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua”. Dilaksanakan pada Senin (28 November 2022) hingga Rabu (30 November 2022) oleh Intersectoral Collaboration on Indigenous Religions (ICIR) Rumah Bersama bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Agama Katolik (STAKAT) Pontianak, Universitas Panca Bhakti (UPB) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak dan didukung oleh Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Konferensi berlangsung selama tiga hari di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

Kemendikbudristek melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mendukung penyelenggaraan plenary session 3 pada hari kedua (29 November 2022) yang mengangkat tema “Pemajuan Kebudayaan untuk Demokrasi Inklusif”.

Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek mengatakan, pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Negara memainkan peran dalam pemajuan kebudayaan melalui strategi yang mencakup pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

“Pemajuan kebudayaan layak dipertimbangkan sebagai instrumen sekaligus tujuan untuk pengembangan demokrasi inklusif”, ungkap Husni Mubarok, Ketua Pelaksana 4th International Conference and CSO Consolidation on Indigenous Religions. “Sebagai instrumen, implementasi Pemajuan Kebudayaan mensyaratkan pelibatan masyarakat secara penuh. Sebagai tujuan, ia diorientasikan untuk menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang inklusif”, tambahnya.

Forum Diskusi, Peran Pemajuan Kebudayaan untuk Demokrasi Inklusif

“Pertanyaan kunci dalam diskusi ini adalah terkait sensitivitas dan kepedulian pemajuan kebudayaan terhadap kelompok minoritas dan rentan. Serta peluang dan tantangan bagi pemajuan kebudayaan untuk dapat dijadikan sebagai instrumen gerakan atau advokasi untuk pengembangan demokrasi inklusif”, pengantar dari Samsul Maarif, Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang didapuk sebagai moderator.

Pemateri dalam diskusi:

  • Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina
  • Yekti Maunati, Profesor Pusat Penelitian Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
  • Semiarto Aji Purwanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia (UI)

Pada kesempatan ini Semiarto Aji, menyatakan bahwa pemajuan kebudayaan memberikan ruang-ruang ekspresi untuk kelompok rentan. Negara memfasilitasi untuk melakukan pelestarian dalam rangka pemajuan kebudayaan, meski memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga masyarakat tetap sadar bahwa mereka tetap bagian dari kesatuan bangsa Indonesia.

“Masyarakat adat dan penghayat kepercayaan juga mendapatkan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam pemajuan kebudayaan”, tegas Semiarto Aji. “Negara harus memastikan kelompok minoritas dan rentan pun akan terakomodasi dengan baik -dalam pemajuan kebudayaan” tambahnya.

Yekti Manuati menambahkan bahwa dalam pemajuan kebudayaan yang mensyaratkan partisipasi aktif masyarakat sebagai subyek kebudayaan itu sendiri, tentunya mendorong kepercayaan diri masyarakat untuk berani berekspresi. Masih banyak pekerjaan rumah bagi negara untuk memajukan kebudayaan, konsentrasi harus menyeluruh bukan hanya kepada hal yang bernilai ekonomi sehingga di masyarakat juga mendapatkan dampak baiknya merasa bangga akan kebudayaan dan adat istiadatnya.

Ihsan Ali-Fauzi menyatakan bahwa kelompok minoritas dan rentan yang berbasis pada gender, etnis, maupun agama seringkali terekslusi dari aktifitas dan pengembangan kebudayaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk dapat memberikan ruang partisipasi untuk kelompok-kelompok tersebut khususnya dalam pemajuan kebudayaan. Mudah-mudahan dengan pemajuan kebudayaan ini bisa mengangkat kebudayaan untuk lestari dan bisa berdiskusi dengan damai dan selaras berjalan bersama dengan baik. Bahasa kebudayaan punya potensi sangat besar untuk mencapai anti intoleransi. Kebudayaan menjadi besar karena sumbangsih riil buat masyarakatnya bukan kepongahan dan arogansinya.

Pemajuan kebudayaan membuka peluang bagi hal-hal baik yang dapat diberikan negara untuk rakyatnya. Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan pemajuan kebudayaan dapat hadir dalam berbagai sendi kehidupan rakyatnya.

“Semoga diskusi kita ini dapat mengelaborasi beberapa pertanyaan kunci merespons pemajuan kebudayaan dalam upaya demokratisasi yang inklusif”, tutup Samsul Maarif.