Mempertahankan, bahkan mengembangkan, budaya lokal menjadi hal amat penting di tengah arus globalisasi. Pendidikan menjadi unsur terpenting dalam upaya melestarikan nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Tanpa ada pendidikan yang memadai, budaya lokal akan tersapu bersih oleh modernitas masyarakat itu sendiri.

 Pendidikan, baik formal maupun nonformal dan informal, merupakan media yang tepat untuk mewariskan nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Melalui Kurikulum 2013, lembaga pendidikan berkesempatan mengembangkan muatan lokal untuk kemudian diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu. Materi yang dikembangkan tentu berdasarkan karakteristik wilayah dimana peserta didik bertempat tinggal, karena sejatinya setiap wilayah memiliki keragaman budaya.

Melalui muatan lokal, peserta didik diharapkan dapat mengenal dan lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya sebagaimana amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Implementasi Kurikulum 2013. Kebijakan memasukkan muatan lokal dalam Standar Isi, yang merupakan salah satu dari delapan Standar Nasional Pendidikan Indonesia, dilandasi kenyataan bahwa Indonesia memiliki beranekaragam budaya dan sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan juga salah satu tempat melakukan proses pendidikan. Namun demikian, Standar Isi yang seluruhnya disusun secara terpusat tidak mungkin mencakup setiap muatan lokal di daerah, sehingga sangat penting menyusun modul yang berbasis muatan lokal kebudayaan setempat.

 

Untuk itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), tengah menyiapkan grand design Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) berbasis muatan lokal sebagai bahan ajar pelengkap bidang kebudayaan. Berbagai kegiatan dilakukan untuk penyusunan grand design ini, di antaranya mulai dari focus group discussion (FGD), rapat koordinasi penyusunan modul, lokakarya, uji petik modul, uji coba modul sebagai pencotohan seperti pilot project di Jawa Timur dan Sumatera Barat, serta melibatkan 16 cluster di seluruh Indonesia untuk periode 2013-2017.

“Grand design modul kebudayaan ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam penyusunan kurikulum muatan lokal seni dan budaya,” ujar Dirjen Kebudayaan, Kacung Marijan, dalam FGD penyusunan modul PTEBT di Surabaya, Sabtu (22/06).

FGD dapat menjaring masukan, saran, dan bahan informasi secara cepat dan konstruktif, yang nantinya sangat bermanfaat dalan penyusunan modul PTEBT di berbagai daerah. Kacung mengimbau kepada para kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi di seluruh Indonesia untuk mengistruksikan implementasi grand design bidang kebudayaan ini ke seluruh wilayah kerjanya.

 

Unsur Kebudayaan

Mengenai muatan lokal, seyogyanya perlu ditekankan bahwa unsur kebudayaan bukan hanya keseniantetapi juga terdapat berbagai unsur lainnya seperti upacara tradisional yang berkaitan dengan peristiwa alam, upacara daur hidup, cerita rakyat, permainan rakyat, ungkapan tradisional, pengobatan tradisional, makanan dan minuman tradisional, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, kain tradisional, organisasi social, kesenian tradisional, pengetahuan dan teknologi tradisional, serta kearifan lokal.

Sedangkan langkah yang dilakukan dalam penyusunan modul PTEBT berbasis muatan lokal, antara lain mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah, menentukan fungsi dan susunan/komposisi muatan local, mengidentifikasi bahan kajian muatan local, menentukan mata pelajaran muatan lokal, termasuk mengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus dengan mangacu pada Standar Isi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

 

Kemudian, modul yang menjadi acuan dasar penyusunan Kurikulum Muatan Lokal Seni dan Budaya akan dilaksanakan oleh SKPD Pendidikan dan Kebudayaan tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Modul ini didesain bagi para guru pengajar Seni dan Budaya, namun tidak menutup kemungkinan digunakan oleh guru mata pelajaran lainnya.

Bahasa Sederhana

Para guru diharapkan menggunakan modul sebagai bahan ajar dengan cara “membahasakannya” dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah ditangkap dan dipahami peserta didik. Misalnya, melalui modul ini dapat memberikan bekal kepada peserta didik berupa pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan terkait kekayaan budaya lokal yang memberi manfaat bagi diri mereka sendiri, masyarakat, dan lingkungannya.

Selain itu, baik guru maupun peserta didik, dapat lebih paham mengenai makna sosiokultural di balik pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya lokal setempat, sehingga dapat memperkuat sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai/aturan yang berlaku di masyarakatnya. Lebih dalam lagi, terbentuk pemahaman multikultural untuk lebih menghargai dan merayakan kekayaan dan keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.

Sebagai informasi, pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Sementara itu, ekspresi budaya tradisional adalah karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mendukung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh masyarakat pendukungnya.

(Arifah, dikutip dari Kerangka Acuan Kegiatan PTEBT Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi)