[KLIPLING BUDAYA] RUU Kebudayaan: Banyak Sesat Pikir, sejak dari Pilihan Nama

0
1201

Kliping Budaya-160915-RUU KEBUDAYAAN-Banyak sesat pikir-sejak dari pilihan nama

Kompas (16 September 2015)
Kompas (16 September 2015)

Pengantar Redaksi

Saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan tengah berproses di DPR. Terkait hal itu, Desk Pendidikan dan Kebudayaan Harian “Kompas” menggelar diskusi “Menyoal RUU Kebudayaan” di Jakarta pada 30 September 2015, dengan pembicara : pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarna Karlina Supelli, pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Rocky Gerung, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mochtar Pabotinggi, Ketua Panja RUU Kebudayaan DPR Ridwan Hisyam, dan budayawan Radhar Panca Dahana. Selaku moderator Saifur Rohman, Pengajar Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Hasilnya dapat dibaca dalam Rubrik Pendidikan dan Kebudayaan di halaman 11 atau 12 selama 5 hari mulai Senin, 19 Oktober 2015.

Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Demikian nama RUU yang baru saja digodok Komisi X DPR RI dan kini tengah dibahas di Badan Legislasi Nasional DPR. Namun draf tersebut ditolak banyak budayawan karena dinilai mengandung banyak sesat pikir, yang tercermin sejak dari pilihan namanya.

Oleh ILHAM KHOIRI

Sesuai namanya, RUU Kebudayaan mengandaikan ada undang-undang (UU) yang dibuat khusus untuk mengatur kebudayaan. Namun, tepatkah membuat satu UU yang mengatur kebudayaan? Itu gugatan dasar atas logika berpikir yang melandasi lahirnya RUU Kebudayaan.

Kita tahu, UU adalah produk hukum yang terdiri atas serangkaian pasal dan berfungsi mengatur, mengikat, atau membatasi hal-hal yang diperundangkan. Padahal, kebudayaan – berdasarkan pemaknaan dasarnya – adalah budidaya manusia yang selaku berkembang dinamis sesuai perubahan zaman.

Untuk menjawab gugatan itu, ada baiknya kita urai lebih jauh pengertian kebudayaan. Ada ratusan definisi tentang kebudayaan, katakanlah seperti diajukan antropolog Indonesia Koentjaraningrat atau sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Semua itu merujuk pada usaha manusia untuk bertahan dan memuliakan dirinya. Dengan akalnya, manusia terus-menerus menemukan, mengolah, dan mengembangkan berbagai hal untuk kepentingan hidupnya.

Dalam sejarah, manusia melahirkan berbagai produk kebudayaan, baik tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi), seperti dari tradisi, ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan teknologi. Kebudayaan tumbuh dengan unsur-unsurnya, mulai dari nilai (prinsip yang diakui sekelompok manusia), norma (sekumpulan nilai yang diterima komunitas), moralitas (konsensus atas baik-buruk), etika (panduan moral dalam tatanan pikiran masyarakat), sampai estetika (kemampuan mengapresiasi produk komunitas lain)

Dengan berbagai anasirnya itu, kebudayaan memiliki sifat dinamis, selalu beradaptasi dengan perubahan. Kebudayaan adalah kata kerja yang meniscayakan ada proses terbuka, interaktif, dan tak pernah berakhir.

Kebudayaan menghajatkan ruang dan waktu untuk berkembang demi memuliakan kehidupan manusia. Kebudayaan adalah gambaran identitas, proses berpikir, dan mental manusia. Semua itu terus bergeser seiring pergerakan kehidupan manusia. Tabiat kebudayaan adalah hasratnya untuk berproses menjadi. Itu bukanlah sesuatu yang seluruhnya utuh dan matang, melainkan mengandung berbagai pertentangan, pertandingan, dan belum tersimpulkan.

Dengan pengertian, anasir, tabiat, dan produk yang demikian luas dan beragam, maka kebudayaan akan sangat sulit untuk diringkus dalam satu perundangan. Kebudayaan terlalu licin untuk ditangkap dan dikendalikan oleh satu UU. Demikian dinamis dan kompleksnya kebudayaan sehingga tak bisa diundang-undangkan. Keinginan untuk mengikat kebudayaan dalam UU justru mempertontonkan sesat pikir, bahkan absurditas.

AKTOR KEBUDAYAAN

Dengan logika dasar yang sesat, banyak pasal dalam draf RUU Kebudayaan yang bermasalah. Pasal 8 dan 11, misalnya, menyebutkan bahwa aktor yang bertanggung jawab mengendalikan kebudayaan adalah pemerintah (menteri) dan pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota). Padahal, mereka meraih jabatan itu karena proses politik. Mereka bukanlah orang yang memiliki otoritas dalam mengendalikan kebudayaan. Apalagi, dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada ratusan pejabat publik yang terlibat dalam korupsi.

Mungkinkan kebudayaan dikendalikan mereka? Menyerahkan pengelolaa kebudayaan bulat-bulat ke tangan birokrasi pemerintah justru memicu birokratisasi kebudayaan. Ini rentan membatasi dinamika kebudayaan, termasuk merampas ruang-ruang kebudayaan dalam masyarakat, komunitas, dan individu yang dinamis.

KENAPA “NGOTOT”?

Dalam sejarah, rasanya hampir tidak ada negara modern demokratis yang memiliki perundangan sejenis UU Kebudayan. UU semacam itu rentan melahirkan nergara yang otoriter karena merebut proses kebudayaan dari rakyat dan menggenggamnya sendiri.

Lantas, kenapa DPR ngotot untuk meneruskan proses legilasi RUU Kebudayaan meski drafnya banyak dikritik lantaran bermasalah? Padahal, jika nanti disahkan menjadi UU, pasal-pasal di dalamnya bakal memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melaksanakan, sekaligus mengikat setiap warga negara terkait hal-hal yang diatur. Logika dasar yang sesat pikir dan pasal-pasal bermasalah, jika disahkan sebagai UU, memiliki konsekuensi legal yang membahayakan perkembangan kebudayan itu sendiri.

Kita ikuti, Komisi X DPR mengajukan RUU Kebudayaan sebagai pelaksanaan fungsi legislasi (membuat undang-undang). Setelah disepakati di Komisi X, diajukan ke Badan Legislasi, nanti draf itu bakal dibawa ke Sidang Paripurna DPR. Jika disetujui, RUU itu akan dijadikan sebagai inisiatif DPR, dan selanjutnya dibahas bersama pemerintah.

Pada titik ini, penyusunan RUU Kebudayaan lebih terlihat sebagai kerja politik dengan target tertentu. Samar-samar juga tercium, inisiatif DPR itu juga disusupi niat untuk membuka celah yang legal uuntuk mengucurkan dana APBN atau APBD bagi berbagai kegiatan di masyarakat. Padahal, pola semacam itu rentan dipolitisasi untuk kepentingan pragmatis.

Mengingat semua itu, kita mendesak DPR agar membuka diri dan berpikir ulang untuk meneruskan pembahasan RUU Kebudayaan. Kita berharap draf yang penuh kerancuan, bahkan mulai dasar logikanya itu, ditarik kembali, dibedah ulang, diperbaiki berbagai kerancuan dan sesat pikirnya sebelum kemudian diajukan ke Sidang Paripurna. Masih ada kesempatan untuk membenahinya.

Sumber: Kompas cetak (19 Oktober 2015)