JAKARTA, KOMPAS – Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kebudayaan Komisi X DPR RI memilih tetap dengan judul Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Selama ini judul rancangan undang-undang justru menimbulkan kontroversi.
“Kami cenderung mengatasnamakan RUU Kebudayaan. Kita sudah punya UU Cagar Budaya, UU Perfilman, dan UU Pariwisata. Bisa dibilang, anaknya sudah ada, tetapi induknya belum ada,” kata Ketua Panja RUU Kebudayaan Komisi X DPR Ridwan Hisyam dalam rapat pleno dengan Badan Legislasi (Baleg), Senin (31/8) di Jakarta. Menurut Ridwan, RUU Kebudayaan akan dapat menjadi induk dari undang-undang lainnya tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya (Kompas, 15/8), judul RUU Kebudayaan diusulkan untuk diganti menjadi RUU Pengelolaan Produk Kebudayaan sehingga akan lebih fokus untuk mengatur hasil-hasil budaya. Budayawan Radhar Panca Dahana berpendapat, jika namanya RUU Kebudayaan, kebudayaan yang diatur dan diurus. Padahal, kebudayaan tak perlu diurusi, serahkan kepada masyarakat bagaimana mereka berkebudayaan.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, mengatakan, judul RUU Kebudayaan memang terlalu ambisius. Seakan-akan judul itu ingin mencakup segalanya karena memang definisi kebudayaan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Bab 1 tentang Ketentuan Umum dalam RUU Kebudayaan mencakup gagasan, perilaku, dan hasil karya.
Meskipun demikian, Ridwan menjelaskan RUU Kebudayaan nantinya tidak akan mengatur detail kebudayaan, tetapi hanya mengelola. UU itu tidak mengekang daya cipta para budayawan, yang diatur hanya produk-produk dari kebudayan.
STRATEGI KEBUDAYAAN
Guna menentukan arah pertumbuhan bangsa ini dibutuhkan strategi kebudayaan yang jelas dan dimengerti sepenuhnya oleh masyarakat. Untuk itu diusulkan RUU Kebudayaan yang sedang dibahas di DPR menjadi lebih kongkret jika diubah sebagai RUU Strategi Kebudayaan untuk payung hukum di bidang kebudayaan.
“Kebudayaan dapat dilihat sebagai sistem nilai atau hasil ekonomisasi kebudayaan menjadi berbagai produk kebudayaan. Tentu kebudayaan ini sulit dirumuskan menjadi sebuah undang-undang, tetapi berbeda halnya dengan strategi kebudayaan yang lebih kongkret,” kata Mudji Sutrisno, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Senin (31/8).
Perumusan RUU Kebudayaan bercampur aduk diantara tiga hal, meliputi perlindungan hak cipta atas suatu ekspresi kebudayaan, persoalan ruang kegeniusan local, dan ekonomisasi kebudayaan. Menurut Mudji, ketiga persoalan tersebut dapat dipayungi ke dalam kerangka strategi kebudayaan yang diterapkan sebagai undang-undang payung hukum. “UU Strategi Kebudayaan lebih konkret,” kata Mudji.
Secara terpisah, Haryatmoko, pengajar Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan, kebudayaan merupakan hal abstrak yang tidak mudah dirumuskan. (B03/NAW)
Sumber: Kompas cetak (1 September 2015)