Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3718735/penghayat-masuk-kolom-ktp-mpr-dorong-revisi-uu-adminduk

Rabu 08 November 2017, 15:37 WIB

Gibran Maulana Ibrahim – detikNews

Jakarta – Mahkamah Konstitusi memutuskan memasukkan penghayat kepercayaan ke dalam kolom KTP. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengapresiasi putusan tersebut.

Putusan MK tersebut merupakan tindak lanjut dari gugatan frasa ‘agama’ yang ada dalam Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Ketua Fraksi PPP MPR Arwani Thomafi meminta UU Apminduk segera direvisi menindaklanjuti putusan MK itu.

“Untuk tindak lanjut putusan MK, kami mengusulkan agar putusan MK ini ditindaklanjuti dengan revisi Undang-Undang Adminduk dan undang-undang terkait,” kata Arwani kepada wartawan, Rabu (8/11/2017).

Jika tak diikuti revisi UU Adminduk, Arwani mengatakan, putusan MK ini dapat mendistorsi definisi agama serta spirit konstitusi negara Indonesia sebagai negara berketuhanan. Putusan MK ini juga, kata dia, dapat mengaburkan prinsip negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD Tahun 1945.

“Usulan revisi tersebut harus segera masuk ke Prolegnas dengan kategori Daftar Kumulatif Terbuka Putusan MK (dapat sewaktu-waktu masuk penyusunan RUU Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006). Perubahan ini dimaksudkan untuk mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan merupakan entitas yang berbeda dan memang dilindungi oleh konstitusi,” terang Arwani.

“Hal ini juga sejalan dengan sikap MUI yang menegaskan aliran kepercayaan bukanlah agama,” imbuh Waketum PPP ini.

Arwani menyebut revisi UU Adminduk dapat dilakukan DPR bersama pemerintah.

MK memutuskan hal di atas karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia. Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan yang berlangsung di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11), menganggap, jika tidak boleh mengisi kolom agama di KTP, para penghayat kepercayaan akan mendapatkan perlakuan tidak adil.

“Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif,” ujar Arief dalam pertimbangannya.
(gbr/tor)