Kompas (22 Oktober 2015)
Kompas (7 September 2015)

TANGERANG, KOMPAS – Kekayaan khazanah keagamaan di Indonesia belum dimanfaatkan untuk memperkuat persatuan bangsa. Agama masih merupakan isu sensitif. Oleh karena itu, jaringan lembaga keagamaan, organisasi masyarakat, dan akademisi perlu membentuk jaringan untuk menghasilkan penelitian dan dakwah positif.

Khazanah merupakan peninggalan ataupun warisan dari generasi sebelumnya kepada generasi sekarang, baik berbentuk benda maupun non-bendawi, seperti pemikiran, bahasa dan kesenian. “Masyarakat belum sepenuhnya menyadari, khazanah keagamaan di Indonesia erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.,” kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Keagamaan (Kemenag) Choirul Fuad Yusuf kepada rapat kerja nasional Kemenag bertajuk “Memperkokoh Integrasi Bangsa Melalui Revitalisasi Khazanah Keagamaan” di Tangerang Selatan, Sabtu (5/9).

Berbagai bentuk pemikiran, perilaku, dan kesenian di Indonesia memiliki khazanah keagamaan yang kuat. Khazanah itu pun terpengaruh berbagai aspek, seperti budaya lokal dan budaya asing. Salah satu contoh adalah Masjid Kudus di Jawa Tengah yang arsitekturnya terpengaruh kebudayaan Hindu Jawa.

“Ini membuktikan, dengan kekayaan keragaman khazanah keagamaan, masyarakat Indonesia pada dasarnya harmonis, “ tutur Choirul.

Ia menyayangkan kesadaran atas khazanah keagamaan tersebut terkikis dengan semakin derasnya budaya global masuk ke Indonesia. Bahkan, masyarakat mulai saling merasa asing dan mengeksklusifkan diri.

Dalam pidato sambutannya, Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Pelatihan Kemenag Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan, pada sejarah kemerdekaan Indonesia, tidak ada dikotomi antara kaum nasionalis dan agamis. Demokrasi di Indonesia tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan organisasi-organisai agama yang mendukung keharmonisan bangsa.

Pakar kajian etnik dari Institut Seni Budaya Indonesia, Cahya Hedy, yang hadir sebagai pengagap mengutarakan, keterlibatan praktisi budaya harus semakin digalakkan. Tanpa informasi mengenai fakta dan realitas lapangan yang solid, kebijakan mengenai revitalisasi budaya keagaman tak bisa mengakomodasi permasalahan nyata. (DNE)

Sumber: Kompas Cetak (7 Sepember 2015)