Tidak beternak hewan besar: Strategi dan Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Pulo

0
2284

Bus besar pariwisata berjalan pelan membelah jalanan aspal berlobang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Perjalanan ini membawa saya bersama rombongan pegawai Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbud dalam suatu kunjungan ke Desa Adat Kampung Pulo yang berada di Desa Cangkuang. 

Rombongan pegawai Dit. KMA antri untuk pengecekan suhu sebelum ke Kampung Adat Pulo (Foto: Darus Hadi)

Di Desa Cangkuang terdapat suatu situs cagar budaya bernama Candi Cangkuang. Candi ini adalah bangunan peninggalan masa Hindu-Budha yang diperkirakan berasal dari abad VII-VIII Masehi. Pada area Candi Cangkuang  juga terdapat situs komplek rumah adat Kampung Pulo. Kampung Pulo merupakan kampung tradisional peninggalan Embah Dalem Arief Muhammad, tokoh penyebar agama Islam abad ke-17 M. 

Keturunan Embah Dalem Arief Muhammad hingga saat ini masih mendiami rumah adat Kampung Pulo yang tradisi dari 6 rumah dan 1 mushola itu. Pak Atang Sanjaya adalah keturunan Embah Dalem Arief Muhammad sekaligus kepala adat yang menceritakan kepada saya bahwa warga disitu masih menjaga aturan-aturan yang dibuat oleh pendahulunya. Terdapat beberapa aturan dan pamali yang masih dijaga oleh warga Kampung Pulo.

Swafoto bersama kuncen Kampung Adat Pulo dengan latar Candi Cangkuang (Foto: Hananto)

Salah satu aturan yang masih dijaga hingga saat ini adalah tidak boleh memelihara hewan besar berkaki empat. Dalam penjelasannya, Pak Atang menjelaskan alasannya adalah masyarakat Kampung Pulo merupakan masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dengan cara bertani di sawah dan kebun. Memelihara hewan tersebut ditakutkan akan merusak sawah dan kebun mereka. Selain itu, di Kampung Pulo juga terdapat banyak makam, sehingga ada ketakutan bahwa keberadaan hewan tersebut dapat mengotori makam.

Demikianlah masyarakat Kampung Pulo dengan segala kekhasannya. Aturan yang telah ditentukan oleh pendahulu tetap dijaga sebagai suatu kearifan lokal dari masyarakat pemiliknya. Dari masyarakat Kampung Pulo juga kita bisa melihat betapa berwarna dan berbhinneka nya suatu negara yang kita sebut Indonesia. Hentakan batang bambu sebagai dayung rakit mengantar kepergian kami meninggalkan kawasan Candi Cangkuang dan Kampung Pulo. (Wewen Efendi)