Lampung- Instalasi Bubu, alat tradisional menangkap ikan, berdiri kokoh tepat sekitar lima puluh meter menjelang pintu masuk Taman Budaya Ulluan Nughik,di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Dipajangnya bubu bukan tanpa alasan. Sebab, bubu tak lain sebagai representasi pengetahuan tradisional nenek moyang yang telah lama hidup dan bersemayam di desa-desa Tulang Bawang Barat (Tubaba).
Jauh sebelum Tubaba International Bamboo Festival digelar, Ld. Abd. Shalim Tehupelasury beserta rekan-rekan lainnya menelusuri dari satu kampung ke kampung lainnya. Mereka mengumpulkan serpihan-serpihan cerita akan bambu hingga akhirnya menemukan sebuah bubu besar di masing-masing tiyuh (desa). Tak hanya itu, banyak juga warga desa di Tubaba menggunakan anyaman bambu sebagai peranti masak.
“Ketika kami masuk ke rumah warga, kami menemukan alat-alat dapur dan penangkap ikan yang menggunakan (bahan baku) bambu. Menariknya, di luar jangkauan kami, bubu yang kami lihat di Tubaba itu adalah yang terbesar,” ujar pria yang kerap disapa Shalim ini, saat ditemui di Ullan Nughik (6/11/20).
Shalim bercerita, penggunaan bubu pada masyarakat ialah karena Tubaba dialiri dua Sungai Way kanan dan kiri yang mengitari 11 tiyuh di dalamnya. Bubu menjadi alat utama mata pencarian yang kuat akan adat dan tradisi kebudayaan masyarakat sekitar. Dan bambu yang menjadi bahan dasar pembuatan bubu dan peranti dapur menjadi bukti adanya pemanfataan alam untuk kehidupan sehari-hari.
“Artinya, nenek moyang kita secara puncak pengetahuan sudah tinggi levelnya. Ketika kita berbondng-bondong menggunakan teknologi yang merusak alam, di sisi lain ada pengetahuan yang tidak pernah tersorot. Salah satunya bagaimana mereka menggunakan bambu sebagai produk pengetahuan. Pengetahuan ini punya lompatan dampak secara ekologis. Kami menyebutnya sebagai kebijaksanaan,” tambahnya.
Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, pengetahuan tradisional masyarakat tentang bambu kian hari kian menurun. Menurut Shalim, masing-masing tiyuh hanya menyisakan satu sampai 3 orang tetua yang mampu membuat bubu. Putusnya transfer pengetahuan ke anak muda ini didasari oleh berbagai faktor. Salah satunya distraksi informasi yang menyebabkan bambu tak banyak dilirik.
“Kita dicekoki dengan pengetahuan yang cukup modern, sehingga tentunya ini menjadi pengaruh besar. Bambu tidak lagi menjdi menarik karena orang melihat bangunan industrial seperti beton. Diagungkan tapi memiliki daya rusak yang cukup besar,” ungkapnya.
Layaknya Filosofi Bambu
Atas dasar itulah Shalim dan beberapa tim inisiator bergerak untuk menyelenggarakan Tubaba International Bamboo Festival. Festival ini digelar sejak 6 November 2020 hingga 8 November 2020 yang bertujuan untuk mendistribusikan pengetahuan bambu dengan spektrum yang lebih luas, yakni dalam bentuk arsitektur, seni kriya, pertunjukan, kuliner hingga pengetahuan tradisional.
Festival ini juga tergabung dalam program Fasilitasi Bidang Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang juga didukung oleh pemerintah daerah setempat. Dikemas dalam sejumlah agenda yakni penerbitan buku, pameran, lokakarya, pementasan dan penanaman bambu, baik secara daring ataupun luring.
Adapun dalam festival ini setidaknya menggunakan ribuan bambu yang diolah dan diukir menjadi berbagai produk dan instalansi. Shalim dan tim menggunakan pendekatan materi lokal ke warga sekitar untuk memenuhi pasokan bambu yang akan digunakan. Menariknya. Festival ini juga mengangkat Bambu Cacing, jenis bambu yang hanya ditemukan di Tubaba.
Bambu cacing ini dimodifikasi sedemikian rupa menjadi instalasi menarik, salah satunya ialah instalansi Tiara Tubaba. Instalansi ini terinspirasi dari bentuk mahkota siger yang dikenal sebagai lambang kebanggaan masyarakat Lampung. Instalasi Tiara Tubaba ini juga dibuat lebih kontemporer dan terbentuk dari susunan bambu cacing secara parametik tiga dimensional.
“Di Tubaba ada salah satu jenis bambu yang hari ini hanya ditemukan di Tubaba, yaitu Bambu Cacing. Ini sudah ada justifikasi dari Elizabeth A. Widjaja, ahli taksonomi bambu. Sepanjang perjalanan beliau dan ratusan jenis bambu yang ia justifikasi, Bambu Cacing belum pernah ada selain di Tubaba. Inilah yang kami angkat,” ucap Shalim yang juga berperan sebagai Direktur Festival.
Tak hanya itu, festival ini juga melakukan penulisan buku berjudul Pesan Menjaga Bambu Nusantara dari Tubaba yang ditulis dari berbagai kalangan, baik akademisi hingga seniman. Rencananya buku tersebut akan didistribusikan ke kampus-kampus untuk memperkaya literasi bambu di satuan Pendidikan.
Ke depan, Shalim berharap masyarakat Tubaba menjadi lebih dekat dengan bambu, yang secara ekologis tanaman ini juga menjadi habitat di Tubaba selain karet, sawit dan singkong yang saat ini mendominasi lahan-lahan di Tubaba. Dengan adanya kolaborasi anak muda di dalamnya, ia berharap ini menjadi trigger untuk membawa pulang pengetahuan baru akan bambu Tubaba.
“Target kita lima tahun setidaknya masyarakat aware dan progresif dengan bambu. Seperti filosofi bambu, yang layak panen ketika sudah lima tahun,” tutupnya.