Demikianlah yang apa yang termaktub dan tertuliskan dalam piagam pengakuan, bentuk penghormatan dunia terhadap Situs Sangiran sebagai cagar budaya, juga situs bagi kebudayaan dan kemanusiaan yang menandai sejarah panjang peradaban bangsa. Sangiran yang terletak di antara kegagahan Lawu di timur, dan keserasian Merapi-Merbabu di langit barat, situs ini menjadi ladang penemuan fosil-fosil kehidupan purba yang di kelak kemudian hari, bahkan detik ini, senantiasa menjadi gerbang pengetahuan atas sejarah-sejarah kemanusiaan dan kebudayaan di Indonesia. Lewat tangan tulus van Koenigswald dan Toto Marsono-lah, bentangan lahan perbukitan ini terus berkembang dan mengalami perubahan yang besar lewat temuan-temuan fosil yang diabadikan pada museum kecilnya (kini Balai Desa Krikilan).
Lantas, Sangiran telah membersamai kita mengarungi berbagai lintas zaman yang penuh akan wacana kebudayaan. Sangiran masih bertahan di tengah deru gelombang dan tantangan yang menghegemonikan budaya-budaya tandingan. Adapun jika mental budaya kita rapuh, maka ingatan dan perhatian terhadap Sangiran niscaya akan luruh. Maka, saya teringat sebuah adagium menarik dari Prof. van Peursen, bahwa manusia semestinya tidak perlu meromantisi masa lalu begitu berlebihan, tetapi jangan pula terlalu reaktif mendambakan masa depan. Pernyataan ini menarik sebagai sebuah refleksi kebudayaan dalam memandang dan menempatkan Situs Sangiran dalam kerangka perjalanan bangsa.
Kita telah tiba pada suatu pertanyaan reflektif, yaitu apakah kita sedang dan akan terus meromantisi Sangiran sebagai belenggu masa lalu? Pertanyaan ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Apabila kita meneropong apa yang telah lama terjadi, Sangiran begitu menarik hati para peneliti, budayawan, arkeolog, antropolog, atau pemerhati peninggalan sejarah, baik dari lingkungan domestik, maupun mancanegara. Mereka menggali, menemukan, dan merekonstruksi baik temuan artefak maupun nonartefak. Kegiatan ini bukan hanya persoalan menggali dan meromantisi masa lalu. Para peneliti sedang menggali pembelajaran kebudayaan dan peradaban bangsa kita di masa depan.
Rekonstruksi temuan-temuan manusia purba, sejak Meganthropus paleojavanicus hingga Pithecanthropus erectus, temuan fosil hewan purba, benda-benda purbakala pendukung aktivitas dan tindakan manusia pada masa itu, juga fosil tumbuh-tumbuhan, merupakan refleksi perjalanan intelektual kebudayaan manusia-manusia purba yang begitu kompleks dan saling terkait. Temuan-temuan itu menunjukkan bahwa pada masanya mereka telah memiliki kesadaran reflektif dan kontekstual untuk bersinergi dengan alam demi mencapai pemapanan dan kebertahanan hidup. Situs Sangiran telah mengajarkan itu semua melalui pertumbuhan dan perkembangannya yang—sejatinya—dapat kita sebut begitu masif dan menggembirakan.
Dengan memaknai perjalanan peradaban bangsa kita di masa lampau, tentu itu memberikan kesadaran kontemplatif betapa para manusia purba atau pendukung kebudayaan pada masa itu telah meninggalkan sebuah legasi kultural sebagai keabadian simbolik. Ialah dia, Situs Sangiran. Saya tidak bermaksud menafikan situs-situs manusia purba yang juga tidak kalah kayanya dengan berbagai peninggalan. Namun, persoalan Situs Sangiran semestinya menyadarkan pada kita bahwa manusia dan kebudayaannya pada masa lampau telah memiliki sebuah upaya untuk meninggalkan warisan bagi pelaku kebudayaan atau manusia di masa depan. Lantas, warisan itu lah, Situs Sangiran, yang kini kita miliki. Situs yang tiap saat didatangi sebagai objek studi dari banyak peneliti dan ahli sejarah, geologi, geografi, biologi, paleoantropologi, dan sejenisnya. Demikian pula dengan masyarakat umum yang tak habis-habisnya berkunjung untuk sekadar mengingat warisan masa purba, lalu memetik pelajaran darinya.
Dalam situasi kebudayaan semacam ini, adagium Prof. van Peursen begitu relevan dalam menyikapi persoalan dan dinamika gemuruh zaman. Refleksi kebudayaan pada akhirnya menunjukkan bahwa kita tidak bisa sekadar mengheningkan Sangiran sebagai peninggalan, pun kita juga tidak bisa memberangusnya dalam disrupsi zaman yang dapat membakar nilai-nilai kebudayaan itu. Kita meromantisi agar sejenak melihat warisan peradaban masa lalu. Pada saatnya kita pun memaknai agar tak terjebak pada romantisme semu. Tentu saja, ini adalah tantangan kita sebagai pewaris Sangiran.(Riqko Nur Ardi Windayanto)