Belajar dari Sangiran

0
631

Masih terngiang kiranya seruan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” yang disampaikan Bung Karno dalam pidato terakhirnya pada HUT Republik Indonesia yang ke-21 tahun 1966. Namun hari ini, judul pidato yang disingkat menjadi “Jas merah” oleh mahasiswa Kesatuan Aksi 66 tersebut mulai pudar seiring berjalannya zaman. Sejarah kini hanya menjadi sekedar hafalan mantra untuk lulus ujian. Bukan hanya itu, sejarah pun disalahgunakan oleh mereka yang menang untuk melegitimasi kekuasaan dan mempermainkan wewenang. Sehingga siapa saja yang mempelajari sejarah tak lagi mendapatkan esensi serta makna dari sejarah itu sendiri. Dengan demikian sejarah pun perlahan ditinggalkan, padahal sejarah sendirilah guru terbaik yang pernah ada bagi umat manusia.

Dari Alexander Agung kita belajar bagaimana seorang mampu menyatukan Eropa dengan Asia dan lewat Adolf Hitler pula kita belajar bagaimana seorang dapat memecah belah saudara sebangsa. Melalui sejarah kita bisa memetik hikmah, belajar menjadi teladan dan membuang jauh amarah. Inilah kiranya esensi yang dipetik dari mempelajari sejarah, yaitu mempelajari dan menanyakan kepada diri kita sendiri apa arti menjadi manusia. Pertanyaan serta jawabannya dapat kita temukan di Sangiran. Sebagian orang mungkin merasa masa lalu tak perlu dipikirkan lagi, padahal masa lalu adalah jawaban dari teka-teki yang ada di dalam hidup ini. Masa prasejarah menyimpan banyak jawaban atas semua yang terjadi hari ini, mulai dari asal usul api hingga identitas diri kita sendiri. Menepis kabut takhayul dan mistis, Sangiran hadir lewat cerita dari para Hominid memberikan bukti empiris.

Setidaknya dua kebaruan yang dapat saya rangkum yang mana telah Sangiran tawarkan. Pertama, Sangiran merupakan ladang ilmu pengetahuan. Situs ini membuat kita memahami bahwa segala sesuatu di muka bumi ini selalu dalam proses dan perubahan. Hal ini membuka kembali semangat kajian dan diskusi dalam rangka memecahkan teka-teki. Dengan melimpahnya peninggalan prasejarah di Sangiran membuat beberapa kajian studi yang selama ini terlupakan menjadi signifikan. Kajian studi tersebut merupakan arkeologi dan antropologi. Ditemukannya fosil Homo erectus oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald di awal abad ke-20 merupakan langkah kemajuan kita sebagai umat manusia untuk mempelajari bahwa pernah ada suatu masa yang terbentang panjang di bumi ini sebelum kita para Homo sapiens mendiaminya. Ini membuat kita semua mawas diri dan ingat untuk menjaga bumi. Kajian mengenai kesejarahan Sangiran menjadikan kita terbiasa berpikir secara teoritis lewat kerangka ilmu pengetahuan serta pembuktian secara akademik dalam menjawab setiap tantangan hari ini.

Oleh karena itu kebaruan kedua yang ditawarkan Sangiran, selain teori, yaitu tentang praktik. Ilmu pengetahuan senantiasa merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Ilmu pengetahuan merupakan sarana pembebas manusia dari keterbatasan dan pendukung utama kehidupan. Dengan demikian ilmu tanpa amal sesungguhnya sia-sia, amal ini tentu saja mesti direalisasikan lewat praktik. Siapa saja yang mendapatkan keistimewaan untuk menimba ilmu pengetahuan mesti mengabdikan dirinya bagi kemaslahatan masyarakat. Lantas bagaimana dengan kita yang mempelajari prasejarah dari Sangiran? Apa yang bisa kita berikan bagi sesama kita?

Tentu saja kajian lintas bidang studi yang hasilnya dapat bermanfaat dalam memecahkan permasalahan masa kini menjadi alternatifnya. Karena dari yang selama ini pernah saya ketahui, hampir semua hal ihwal perkembangan alam di muka bumi hari ini dapat ditelusuri asal usulnya dalam sejarah lewat paleontologi. Kepunahan spesies tak akan terulang kembali apabila sejak awal kita telah mempelajari faktor yang memungkinkan punahnya mahkluk hidup. Dengan ini kita dapat mengurangi polusi serta kerusakan lingkungan. Selain itu hal ihwal sosial budaya pun dapat ditelusuri melalui kajian paleo-antropologi. Konflik-konflik horizontal tak perlu terjadi apabila kita menyadari kita semua memiliki satu leluhur dan tidak ada di antara mereka yang asli pribumi atau asli pendatang. Lewat studi ini kita dapat membangun jembatan di tengah jurang pemisah kebudayaan serta latar belakang sosial dan ekonomi.

Namun teori dan praktik ini terkadang tak berjalan seiringan. Karena melakukan studi serta mengaplikasikannya tak semudah memindahkan tangan. Ia membutuhkan kemauan dan pengorbanan. Maka cara yang paling memungkinkan saat ini yaitu mewartakan kebenaran sains dengan bukti empiris yang ditawarkan oleh Sangiran kepada kita lewat edukasi. Dalam hal edukasi pun kita mesti jujur dan objektif. Satu hal yang paling penting yaitu seorang mesti memahami tujuan utama dari mempelajari sesuatu. Tugas dari kita yang mempelajari masa lalu yaitu tidak terjebak oleh mesin waktu dan mulai kini mesti mencoba mencari cara edukasi yang baru. Langkah awal ini telah dipijak oleh Sangiran, adalah tugas kita untuk melanjutkan pijakan ke depan dengan selalu menyematkan “Jas merah” di pundak kita. (Francesco Hugo)