Mengenalkan Makanan Tradisional dalam Bingkai Kekinian

Festival Kuliner Makanan Tradisional, Penguatan Identitas Budaya Melalui Pengenalan Makanan Tradisional, Atrium Jogja City Mall, 26 s.d. 28 September 2019

0
15274
Festival Kuliner Makanan Tradisional

 

BPNB DIY, September 2018 – Kita sudah tidak mungkin lagi menghambat laju modernitas, yang kita bisa lakukan sekarang adalah mencoba bersahabat dan sejalan dengannya, namun tanpa meninggalkan identitas kita sebagai bangsa yang berbudaya. Makanan tradisional yang mulai ditinggalkan atau tidak dikenal dan digemari lagi, khususnya oleh para generasi muda, menjadi permasalahan yang menarik untuk diperhatikan. Pengenalan makanan tradisional kepada generasi muda diharapkan dapat menjadi penguatan identitas budaya lokal. Oleh karena itu, kegiatan Festival Makanan Tradisional DIY Tahun 2018 perlu diselenggarakan, dan pada kali ini dilaksanakan di pusat perbelanjaan modern/mal di Jogja City Mall. Hal ini menjadi pilihan BPNB DIY agar dapat mengenalkan makanan tradisional dalam bingkai kekinian, diselenggarakan di mall, di tempat yang kekinian di mana banyak anak muda yang datang, dan bila tidak mengunjungipun setidaknya mereka sedikit bertanya dalam hati, “ada acara apa sih itu..?”, di mana hal ini dapat memicu ketertarikan yang bertahap untuk berkunjung ke acara festival kuliner tersebut.

Dewasa ini, pengaruh modernitas makin melingkupi banyak hal dalam kehidupan. Dari mulai kita bangun tidur hingga kita tidur kembali, tidak ada hal yang tidak kita lakukan tanpa adanya pengaruh modernitas yang ada. Termasuk pula di dalam hal makanan. Makanan modern yang cepat dibuat dan cepat disajikan begitu banyak dan mudah kita dapatkan di banyak tempat seperti kafe, restoran, maupun di pusat-pusat perbelanjaan seperti mal. Makanannya modern, tempatnya pun juga di mal yang sudah pasti modern. Makanan dari negara lain seperti negara-negara di amerika, eropa, maupun negara tetangga seperti asia sudah sangat mudah kita dapatkan di mal. Mengeja namanya saja mungkin agak sulit, namun sudah menjadi tren zaman sekarang untuk tau agar dianggap kekinian oleh khalayak baik tua maupun muda. Untuk itu, agar dapat memberikan edukasi kepada masyarakat umum dan generasi muda pada khususnya dalam waktu yang bersamaan, maka festival ini diadakan di mal, agar kelak makanan tradisional dapat bersanding dengan makanan-makanan dari luar negeri, dan menjadi tren di berbagai kalangan di Indonesia, atau bahkan dunia.

Makanan tradisional Indonesia, banyak memiliki nilai filosofi di dalamnya, baik dari muasal pembuatan maupun makna dan sifatnya yang bersahabat dengan alam, didapat dari hasil alam, diperuntukkan bagi keberlangsungan alam, dan kembali lagi pada alam. Seperti di daerah Gunungkidul di mana ketersediaan singkong/ketela yang melimpah, dengan kearifan lokal masyarakatnya, bahan alam tersebut diolah menjadi berbagai jenis makanan untuk menjaga ketahanan pangan mereka sehingga tidak terlalu bergantung pada beras, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya yang hingga pada saat ini kurang memungkinkan untuk memproduksi beras dengan jumlah yang banyak. Atau mungkin seperti di daerah Papua dan Maluku, di mana sagu melimpah, mereka mengolahnya menjadi makanan pokok dalam bentuk papeda.

Hal tersebut di atas baru dari satu sisi, sisi lainnya adalah banyak makanan tradisional yang memiliki makna filosofi kehidupan, seperti misalnya sayur lodeh, yang pada intinya memiliki makna menolak bala, yang semua itu terangkum dari bahan-bahan dalam sayur lodeh yang terdiri dari 12 bahan penyusun di mana dapat dimaknai 1+2 = 3, angka 3 dapat bermakna sebuah usaha untuk meraih kehidupan yang sejahtera dari modal yang diberi Tuhan YME yaitu cipta, rasa dan karsa. Kemudian dari bahan intinya yaitu labu yang dalam bahasa Jawa disebut waluh, “wal” bermakna membuang, dan “luh” bermakna air mata, yang memiliki pengharapan agar jauh dari kesedihan atau bala (kesialan/malapetaka/kemalangan), sehingga sayur lodeh memiliki makna manusia harus berusaha untuk keberlangsungan hidup di alam dan berharap hal buruk/sial dapat dibuang, namun tetap semuanya kembali kepada kehendak Tuhan YME di mana kita tetap harus bersyukur yang diwujudkan dalam penggunaan bahan alam yang sudah diberikan Tuhan menjadi sebuah bentuk makanan yang lezat dan dapat berguna bagi kita hambanya.

Mungkin sebagian atau banyak orang mengatakan itu hanya ilmu “gotak gatik gatuk” orang Jawa saja, hanya “ngepas-ngepasin”, namun dibalik itu semua, hal tersebut sebenarnya adalah bentuk pengharapan atau doa yang diwujudkan dalam penerapan di kehidupan sehari-hari, bahkan hingga dalam proses pembuatan makanan, karena dahulu pada umumnya Masyarakat Jawa mampu dan terbiasa membaca gejala-gejala yang ada di alam (tanda/pertanda) hingga menjadi hafal karena mempelajari/mencermati kejadian yang berulang secara terus menerus (“titen” (kata dasar) / “niteni” (kata kerja) dalam bahasa Jawa) dan bermuara menjadi pedoman mereka dalam menjalani kehidupan yang serasi dan selaras dengan alam. Hal tersebut baru dari Suku Jawa, belum lagi dari suku-suku lain yang ada banyak di Indonesia yang sudah barang tentu memiliki banyak budaya maupun tradisi, khususnya dalam hal makanan, yang tidak menutup kemungkinan juga memiliki banyak filosofi kehidupan di dalam proses pembuatannya hingga sampai menjadi makanan.

Kegiatan Festival Makanan Tradisional DIY Tahun 2018 ini dibuka secara resmi oleh Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Dra. Christriyati Ariani, M.Hum., yang juga menyampaikan bahwa pada makanan tradisional banyak nilai kehidupan yang dapat diambil, salah satunya adalah tersiratnya keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan berujung pada manusia dengan Tuhannya. Hadir dan turut pula memberi sambutan beliau Wakil Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Singgih Raharjo, S.H., M.Ed., yang turut menyampaikan perlunya makanan tradisional mendapatkan tempat termasuk misal apabila rapat diadakan menjadi salah satu makanan sajiannya, beliau juga mengingatkan perlunya sinergi seluruh pihak agar makanan tradisional menjadi terkenal setidaknya di tingkat ASEAN.

Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I. Yogyakarta, Dra. Zaimul Azzah, MHum., sebagai penanggung jawab Festival Kuliner Makanan Tradisional juga menyampaikan pentingnya makanan tradisional diberikan tempat untuk tampil di tempat-tempat yang strategis seperti mal, agar keberadaannya semakin dikenal dengan harapan agar tetap ada dan kelak dapat mendunia, seperti misal rendang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dari negara luar. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari 5 daerah Kabupaten dan Kota di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang kesemuanya menyajikan makanan tradisional khas dan andalan daerah mereka masing-masing. Turut hadir dalam pembukaan para pejabat di lingkungan UPT Ditjen Kebudayaan wilayah DIY dan Jateng, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi, Prof. Dr. Ir. Umar Santoso, M.Sc., serta masyarakat umum lintas generasi. Pada malam pembukaan kemarin malam, acara turut dimeriahkan oleh Sanggar Pringgondani yang menyajikan gending Jawa dengan perangkat gamelannya, yang mampu menarik perhatian pengunjung yang datang ke Jogja City Mall pada malam tadi. Kegiatan ini akan berlangsung hingga hari Jumat tanggal 28 September 2018, yang juga akan menyajikan talkshow, bazar, serta pertunjukan kesenian tradisional serta pameran BPNB D.I. Yogyakarta. Masyarakat umum yang hadir boleh mencicipi makanan dan sangat boleh untuk membeli makanan tradisional yang ditampilkan pada bazaar.

Mari bersama kita lestarikan makanan tradisional agar keberlangsungannya akan selalu ada dan kelak akan mendunia. Cintailah budayamu.

#strategikebudayaan
#pemajuankebudayaan
#budayasaya
Lestari Budayaku Lestari Negeriku,
Salam Budaya ??
(bpw)