WARISAN BUDAYA TAK BENDA DAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (KOMUNAL)

0
2984

Oleh : Ferawati

Pamong Budaya Ahli Muda

Selasa malam, 7 Desember 2021, Direktur Jenderal Kebudayaan-Kemendikbudristek, Hilmar Farid, kembali menyerahkan secara langsung sertifikat penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kepada Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala Dinas bidang kebudayaan tingkat provinsi yang mengusulkan. Prosesi penyerahan berlangsung di Gedung Plasa Insan Berprestasi Kemendikbudristek, Jakarta.Malam itu telah resmi ditetapkan 289 WBTB dari 28 provinsi di Indonesia.Sampai saat itu, Indonesia sudah memiliki 1.528 WBTB yang disertifikasi atau diakui (kompas.com).Kamis, 15 Desember 2021, Komite Konvensi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Paris juga telah menetapkan gamelan sebagai WBTB UNESCOke-12 bagi Indonesia.Hal ini membuktikan upaya inventarisasi dan pencatatan WBTB perlu terus digiatkan dan dikembangkan.Akan tetapi, persoalannya tidak banyak WBTBNasional dan UNESCO yang telah ditetapkan apalagi baru dicatat itu mengantongi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Komunal dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham).Lantas, apadan bagaimana fungsi strategis penetapan WBTB dan HAKIitu?

WBTB merupakan karya budaya yang masih hidup dalam mentalitas dan ingatan manusianya, diwariskan dan diakui oleh komunitas/masyarakat saat ini,menjadi bagian dari budaya komunal pendukungnya, disebutjuga “living heritage” (Direktorat PTLK, 2021).Jadilah WBTB itu dilindungi UU. Tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU PK), yang menekankan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan ekosistem kebudayaan.OPK itulah yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional dan UNESCO hingga tahun ini (2021).

WBTB sebelum sampai di tahap penetapan yang diamanatkan UU PK, banyak aspek yang dibanguntermasuk sarana dan prasarananya, termasuk untuk tahap pencatatan dan penginventarisan.Sebelum penetapan UUPK 2017, unit-unit pelaksana teknis bidang kebudayaan yang selama ini di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, sekarang Kemendikbudristek).Kemendikbudmerancang form atau borang untuk pencatatan dan inventarisasi budaya yang pada awalnya masih konvensional. Aplikasi WBTB sebagai media representatif dan modern pun dibangun secara struktural dari daerah/wilayah kerja ke pusat/direktorat.Sembari menyempurnakan fitur aplikasinya, Kemendikbud kemudian meningkatkan sumber daya manusia (SDM) WBTB dengan menyediakan suatu wadah bernama Fungsional Pamong Budaya (FPB) sejak tahun 2019/2020.FPB serupa ternyata juga ada di Kementerian Dalam Negeri sebagaimana di dinas-dinas kebudayaan, maupun di Kementerian Luar Negeri.SDM ini dibekali dengan sejumlah pengetahuan dan pelatihan di bidang WBTB, dan sebagian kecil mengikutsertakan masyarakat komunal.Masalah muncul, ketika terjadi tumpang tindih pencatatan dan penginventarisan.Namun, selain ketiga kementerian itu juga ada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) maupun Kementerian KoordinatorBidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang turut tergabung langsung dalam ekosistem kebudayaan.

Penetapan WBTB terpilih sebagai WBTB Nasional dilakukan melalui proses dan jalur tersendiri di institusi yang ada pada Kemendikbudristek dengan melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Menggaet Tim Ahli dari akademisi dan peneliti, hasil penetapan WBTB Nasional diusulkan menjadi nominasi WBTB UNESCO.Jumlah yang diusulkan belasan atau puluhan. Namun negara lain, seperti India pada pengusulan 2019 saja, jumlahnya puluhan untuk UNESCO dan ratusan untuk skala nasional.Secara ekosistem dan strategi kebudayaan, mereka juga memiliki institusi khusus menangani bidang ini, termasuk penetapan HAKI.Mereka sudah terlebih dulu memiliki “Akademi UNESCO” yang dipimpin oleh seorang direktur dari kalangan arkeolog.Strategi kebudayaan itumasih lebih unggul dari Indonesia.

Sebagaimana diketahui, WBTB yang ditetapkan berdasar 10 OPK di dalam UU PK dan merupakan hasil pengembangan dari domain WBTB yang menjadi pakem UNESCO.Kelima domain itu adalah tradisi lisan dan ekspresi; seni pertunjukan; adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.Domain-domain itu berasal dari tiga (3) bentuk heritage, yaitu alam, manusia, dan buatan manusia.Ketiganya menjadi benang merah WBTB dengan HAKI Komunal.

Lantas, bagaimanakah warisan budaya bagi HAKI Komunal (terdapat kekayaan intelektual komunal [KIK] dan indikasi geografis [IG])yang menjadi tugas dan tanggungjawab Kemenkumham?Masalah penetapan WBTB di Kemenkumham, masih menjadi pekerjaan rumah yang berat.Tidak banyak kiranya WBTB Nasional dan UNESCO yang telah dicatat itu mengantongi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Komunal dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham). Kalaupun sudah ditetapkan hingga ke UNESCO namun jika komunalnya tidak merawat dengan baik, maka sertifikat WBTB UNESCO maupun Nasional akan dicabut. Posisi suatu WBTB menjadi rentan dicaplok daerah lain atau bangsa lain untuk kepentingan ekonomi dan sebagainya.

Pada November 2021, Kemenkumham telah memberikan semacam sosialisasi dan termasuk ke dinas-dinas di Sumatera Barat.Dalam kesempatan itu dijelaskan tentang definisi KIKmenurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik IndonesiaNomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Komunal.KIK adalah kekayaan intelektual berupa pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, sumber daya genetik, dan potensi indikasi geografis”.Jelaslah bahwa posisi KIK antara hak kebudayaan dan hak intelektual yang mencakup kepemilikan komunaldan wajib dilindungi.Bentuk kepemilikan komunal dalam KIK ituberupa pengetahuan tradisional (PT),ekspresi budaya tradisional (EBT), dan indikasi geografis/indikasi asal.

Cakupan KIKyaitu seputar sumber daya genetic, PT, dan EBT yang mendorong perlindungan dan kepemilikan pengetahuan di bidang terkait.PT adalah pengetahuan yang bersumber dari masyarakat komunal dengan sifat dinamis, terus berkembang dari hasil aktivitas intelektual, pengalaman spiritual, pengalaman, dan pemahaman menurut konteks tradisi yang terkait dengan tanah dan lingkungan, tidak terkecuali pengetahuan praktis, keahlian, inovasi, praktik, pengajaran, dan pembelajaran. EBT termasuk hasil aktivitas intelektual, pengalaman, atau pemahaman yang diekspresikan oleh masyarakat komunal/adat menurut konteks tradisi, yang dinamis, terus berkembang, dan tidak terkecuali ekspresi bentuk-bentuk benda dan tidak benda, maupun gabungan dari berbagai bentuk yang ada.Indikasi geografis yaitu semacam tanda penunjuk daerah asal menurut faktor lingkungan geografis, seperti alam, manusia, atau kombinasi kedua faktor itu yang menyumbang reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu suatu barang dan/atau produk yang dihasilkan.Berdasarkan pemahaman singkat ini, KIK lebih cenderung menitikberatkan pada tujuan-tujuan prakmatis, langsung, dan terukur terutama perlindungan kepentingan ekonomi dan kedaulatan komunal.

Penetapan WBTB dan HAKI Komunal sesungguhnya saling melengkapi.Akan tetapi, dalam perjalanannya yang masih tergolong baru, keduanya masih terkesan saling mengenal.Instansinya belum saling menginisiasi untuk saling melengkapi.Pendataan, inventarisasi, dan pencatatan WBTB bagaimanapun juga menjadi tugas pokok dan fungsi unit-unit kerja di Kemendikbudmaupun di Kemenkumham.WBTB sebagai data bahan dan faliditas data bagi Kemenkumham dalam menetapkan HAKI sedangkan HAKI menjadi salah satu pendukung dan penguat WBTB selain sertifikasi WBTB Nasional dan UNESCO. Tujuan-tujuan ini tercapai terkait dengan kepakaran masing-masing pengampu, karena pakar KIK lebih banyak bersumber dari instansi dan sarjana hukum, sedangkan WBTB mayoritas digarap oleh instansi dan sarjana ilmu sosial-humaniora yang dibekali dengan berbagai teori dan matode terkait.

Tujuan Kemenkumham menginisiasi instansi-instansi terkait yang mengolah WBTB adalah mendorong ekosistem kebudayaan untuk mendaftarkan hasil pencatatan dan penetapan WBTB ke Kemenkumham untuk diberikan kekuatan hukum sebagai HAKI.Sasaran perolehan penetapan HAKI bagi WBTB yaitu agar karya komunal tidakterlanjur dicaplok oleh bangsa lain, padahal sudah menjadi warisan masyakat Indonesia. Hal itu bila terjadi, sangat merugikan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri karena berimplikasi pada ekonomi lokal dan nasional.Contoh yang masih hangat adalah ketika ajang Paris Fashion Week di Perancismemamerkan kain tradisional Endek Bali-Indonesia yang melanggar HAKI.Namun beruntung kain itu berhasil dipatenkan oleh KemenkumhamIndonesia pada September 2020,sebagaimanamasyarakat Bali yang menjadi pemilik asli WBTB itu.Namun sejak itu pula baru terbuka mata masyarakat dengan kain Endek asal Bali, karena sempat masuk ajang bergengsi di surganya fashion show Perancis. Sejak itu pula perekonomian Bali ikutan terawat dengan adanya pengakuan kain Endek sebagai karya WBTB sekaligus HAKI.

Melihat peristiwa yang menimpa kain Endek Bali di Parencis, maka dapat disimpulkan bahwa WBTB dan HAKI Komunal masih butuh perhatian khusus, perlu kerja sama yang solid antarlembaga dan kementerian, perlu pengawasan dari masyarakat dan media, serta yang lebih utama adalah tetap menjaga ekosistem kebudayaan sebagaimana diamanatkan UU PK. Manakah yang lebih dulu dilakukan, pencatatan dan penetapan WBTB atau HAKI, hanyalah persoalan seperti ayam dan telurnya. Banyaknya data yang digali, persoalan tata kelola data kebudayaan di kementerian terkait, peran aktif serta pengawasan masyarakat, menjadi ujung tombak dari permasalahan itu.Prioritas adalah kata kuncinya, dengan menyeleksi antara domain dan mata budaya yang sudah sangat terancam dari kepunahan maupun terancam menjadi incaran bisnis pihak lain yang merugikan bangsa Indonesia. WBTB untuk perlindungan identitas bangsa.HAKI Komunal demi menjaga manfaat ekonominya. Kedua ranah itu hadir untuk menjaga dan memelihara kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dari bangsa lain.

Artikel ini telah diterbitkan di Harian Singgalang Minggu 9 Januari 2022