Pencatatan dan Penetapan Warisan Budaya Tak Benda sebagai Upaya Pemajuan Kebudayaan

0
2325

Oleh : Rois Leonard Arios

Pamong Budaya Ahli Madya

KEKAYAAN BUDAYA : Tradisi Temat Kajing di Kabupaten Mukomuko ditetapkan sebagai WBTB Indonesia Tahun 2021

UNDANG-UNDANG No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2017. Kemudian ditindakanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 87 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.

Undang-undang (UU) ini menjelaskan tentang empat upaya dalam usaha pemajuan kebudayaan. Yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Pelindungan adalah upaya menjaga keberlanjutan kebudayaan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi. Dalam konteks pelindungan bisa dilakukan dalam bentuk penelitian (kajian), inventarisasi, pendokumentasian (visual dan atau adiovisual).

Lalu, pengembangan adalah upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan serta meningkatkan, memperkaya, dan menyebarluaskan kebudayaan. Kemudian, pemanfaatan adalah upaya pendayagunaan objek pemajuan kebudayaan untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Sedangkan, pembinaan merupakan upaya pemberdayaan sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan dalam meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat.

Dalam pengelolaannya kebudayaan yang bersifat intangible (tak benda) dikelompokkan dalam 10 objek pemajuan kebudayaan (OPK), yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, Bahasa, permainan tradisional, dan olah raga tradisional.

Salah satu program pelindungan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pencatatan dan penetapatan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pencatatan WBTB dilakukan pemerintah daerah di tingkat kabupaten, kota, provinsi, atau pribadi/lembaga lain. Sedangkan pengusulan penetapan WBTB menjadi WBTB Indonesia dilakukan pemerintah provinsi melalui dinas yang membidangi kebudayaan. Penilaian dan penetapan dilakukan tim ahli WBTB yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Secara konseptual Warisan Budaya Takbenda (intangible cultural heritage) bersifat tak dapat dipegang (intangible/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain (Edi Sedyawati,2002).

Menurut Konvensi 2003 UNESCO Pasal 2 ayat 2, WBTB adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan –serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya- bahwa masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa kasus, perorangan, merupakan bagian dari warisan budaya tersebut. WBTB ini diwariskan dari generasi ke generasi yang secara terus menerus diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan diberikan hanya kepada WBTB yang kompatibel dengan instrumen hak asasi manusia internasional yang ada, serta dengan persyaratan saling menghormati antar berbagai komunitas, kelompok dan individu, dalam upaya pembangunan berkelanjutan.

Direktorat Pelindungan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan menegaskan, WBTB yang akan ditetapkan menjadi WBTB Indonesia harus memperhatikan beberapa hal. Yaitu merupakan identitas budaya dari satu atau lebih komunitas budaya, memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jati diri (pengampu budaya dan masyarakat Indonesia) dan persatuan bangsa (inter relasi antar bangsa).

Lalu memiliki kekhasan/keunikan/langka dari suatu suku bangsa yang memperkuat jati diri bangsa Indonesia dan merupakan bagian dari komunitas. Serta merupakan living tradition dan collective memory yang berkaitan dengan pelestarian alam, lingkungan, pengarusutamaan gender, pemuda, anak, perdamaian, keamanan serta berguna bagi manusia dan kehidupan.

WBTB juga harus memberikan dampak sosial, budaya, ekonomi, dan politik dan mempunyai daya untuk berkembang, mendesak untuk dilestarikan (unsur/karya budaya dan pelaku) karena peristiwa alam, bencana alam, krisis sosial, krisis budaya, krisis politik, dan krisis ekonomi.

Lalu, menjadi sarana dan penjamin untuk pembangunan yang berkelanjutan, wilayah geografis persebaran diketahui, mengutamakan warisan budaya yang keberadaannya terancam punah. Selain itu WBTB sudah diwariskan lebih dari dua generasi (50 tahun atau lebih). Kemudian didukung komunitas yang harus didefinisikan dan diidentifikasikan secara jelas, tidak bertentangan dengan nilai-nilai HAM, isu kesehatan serta peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tidak juga bertentangan dengan konvensi-konvensi yang ada di dunia, dan mendukung keberagaman budaya dan lingkungan alam.

Pencatatan WBTB adalah upaya pelindungan melalui perekaman data secara tertulis. Sedangkan penetapan WBTB adalah pemberian status budaya tak benda menjadi WBTB Indonesia oleh menteri yang membidangi kebudayaan.

Dalam proses pencatatan maupun penetapan, WBTB dikelompokkan dalam lima domain. Pertama, tradisi lisan dan ekspresi. Terdiri dari bahasa, puisi dan pantun, cerita rakyat, mantra (pengaruh dari budaya lokal), doa (pengaruh dari agama), nyanyian rakyat, peribahasa, teka-teki rakyat).

Kedua, seni pertunjukan yang terdiri dari seni tari, seni suara, dan seni teater. Ketiga, adat Istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan. Terdiri dari upacara tradisional: daur hidup individu dari kelahiran, inisiasi, perkawinan, kematian dan daur hidup kolektif (contoh : bersih desa, nyadran, kesuburan), hukum adat, sistem organisasi sosial: kepemimpinan, struktur, aturan-aturan adat (pantangan dan anjuran), dan wilayah organisasi sosial; sistem kekerabatan tradisional; dan sistem ekonomi tradisional; perayaan tradisional.

Keempat, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta. Terdiri dari pengetahuan mengenai alam, kosmologi, kearifan lokal, dan pengobatan tradisional. Lima, keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional yang terdiri dari proses pembuatan, rancang bangun, cara kerja alat, tujuan, pentingnya teknologi bagi masyarakat sekitar; arsitektur tradisional, pakaian tradisional, kerajinan tradisional, kuliner tradisional, transportasi tradisional dan senjata tradisional.

Berdasarkan data pada laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, jumlah WBTB yang telah ditetapkan hingga tahun 2021 di wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Sumatera Barat yaitu di Provinsi Sumatera Barat sebanyak 55, Bengkulu (17), dan Sumatera Selatan (43). Hal ini tentu masih sangat sedikit jika dibandingkan provinsi lainnya dan pentingnya pencatatan dan penetapan WBTB sebagai upaya pemajuan kebudayaan.

Pada tahun 2022 ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kembali melakukan  proses penetapan WBTB. Namun ada yang harus diperhatikan oleh pengusul, berdasarkan  surat Direktur Pelindungan Ditjen Kebudayaan Nomor 0072/F4/KB.04.04/2022 tanggal 24 Januari 2022, yaitu salah satunya menyebutkan pengusul harus menjelaskan pengelolaan yang telah dilakukan tiga tahun sebelum ditetapkan, serta rencana aksi yang akan dilakukan tiga tahun setelah ditetapkan dengan rencana anggaran. Hal ini bertujuan agar penetapan WBTB tidak hanya sebatas pada aspek pelindungan tetapi harus ditindaklanjuti dengan upaya pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Artinya WBTB yang telah ditetapkan harus ada upaya menjadikannya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat baik di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Demikian juga harus ada upaya pembinaan terhadap para pelaku budaya (maestro) sehingga tujuan pemajuan kebudayaan untuk mencapai ketahanan budaya dapat tercapai. (***)

Artikel ini telah diterbitkan di Harian Padang Ekspress pada hari Minggu, 6 Februari 2022