Penulis: Mardoni
Mari kita lirik tentang penerapan hukum adat era sekarang. Hukum adat di negeri kita, baik eksistensinya dan penerapannya dalam masyarakat hampir terkalahkan oleh hukum formal. Sebut saja hukum adat di Minangkabau. Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum (pidana) adat, yang terdapat dalam Undang-Undang Nan Duopuluah. Undang-Undang Nan Duopuluah ini terbagi atas dua bagian, yaitu Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda bukti yang melanggar Undang-Undang Nan Salapan. Terdapat 8 (delapan) bentuk perilaku yang disebutkan sebagai delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan, yakni: 1. dago-dagi; 2. sumbang-salah; 3. samun-sakal; 4. maling-curi; 5. tikam-bunuh; 6. kicuh-kecong dan tipu-tepok; 7. upeh-racun; dan 8. siar-bakar. Dari kedelapan bentuk delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan itu, yang cenderung masih mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan “dago dagi”(Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau, Bukit Tinggi : Penerbit Pustaka Indonesia, 1956).
Dalam Undang-Undang Nan Salapan mengatur delapan jenis perbuatan yang melanggar hukum. Pertama dago-dagi, Dago ialah perbuatan pengacauan dengan desas-desus sehingga terjadi kehebohan, sedangkan dagi ialah perbuatan menyebarkan fitnah sehingga merugikan orang lain. Kedua, sumbang-salah, Sumbang ialah perbuatan yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya atau bersalahan menurut pandangan mata orang banyak, sedangkan salah ialah perbuatan yang melakukan zina. Sumbah-salah masih banyak terjadi di masyarakat. Baik anak muda, dewasa bahkan yang tua juga melakukannya. Zina dalam islam tidak sekedar diartikan sebagai ‘hubungan seksual’ saja. Akan tetapi lebih sempit dari itu perbuatan mendekatinya saja juga disebut zina, seperti zina mata, zina hati, zina tangan , dan sebagainya. Contohnya perbuatan yang banyak dilakukan oleh muda mudi sekarang yang tidak malu lagi naik motor berduaan sambil berangkulan, dan sebagian orang tuanya, atau ‘mamak-nya pun’ tak sanggup untuk melarangnya. Apalagi memberi sanksi kepadanya.
Ketiga, samun-sakal, Samun ialah perbuatan merampok milik orang dengan cara melakukan pembunuhan, sedangkan yang dimaksud dengan sakal ialah perbuatan merampok milik orang dengan kekerasan atau aniaya. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni rabuik rampeh. Rabuik (rebut) adalah perbuatan mengambil barang yang dipegang pemiliknya lalu melarikannya, sedangkan rampeh (rampas) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan cara melakukan ancaman. Contoh perbuatan ini yang banyak terjadi adalah begal, pencopetan, penodongan, dan sebagainya.
Keempat, maliang-curi. Maliang (maling) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat menyimpanannya, sedangkan curi ialah perbuatan mengambil milik orang lain pada waktu pemiliknya sedang lengah. Kelima, tikam-bunuh, Tikam ialah perbuatan yang melukai orang dan bunuh ialah perbutan yang menghilangkan nyawa orang dengan menggunakan kekerasan.
Keenam, kicuh-kecong dan tipu-tepok, kicuah ialah perbuatan penipuan yang mengakibatkan kerugian orang lain, sedangkan kicang ialah perbuatan pemalsuan yang dapat merugikan orang lain. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni umbuak umbai, umbuak ialah perbuatan penyuapan pada seseorang yang dapat merugikan orang lain, sedangkan umbai ialah perbuatan membujuk seseorang agar sama-sama melakukan kejahatan.
Ketujuh, upeh-racun, Upeh ialah perbuatan yang menyebabkan seseorang menderita sakit setelah menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan yang berbisa atau beracun, sedangkan racun adalah sejenis obat makanan atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau beracun yang bisa menyebabkan orang menderita sakit atau bisa sampai meninggal.
Kedelapan, siar-bakar, Siar adalah perbuatan membuat api yang mengakibatkan milik orang lain sampai terbakar, sedangkan baka adalah perbuatan membakar barang orang yang sampai hangus dan habis dengan api yang besar.
Pertanyaannya dimanakah hukum adat ini berlaku sekarang, dan bagaimana pengadilan adatnya dijalankan? Pada hakikatnya hukum adat dan pengadilan adat dilaksanakan dibawah Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga paling rendah. Namun persoalannya masyarakat kekinian (modern) ada yang kurang yakin dengan penyelesaian secara hukum adat. Sehingga persoalan tersebut telah diambil alih penyelesaiannnya oleh Kepolisian dan hukum formal melalui pengadilan negeri.
Lantas bagaiman eksistensi hukum adat Kita? Seharusnya kedua hukum itu saling mendukung satu sama lainnya. Setelah diberi sanksi hukum formal, maka hukum adat juga dilaksanakan. Seyogyanya, kedelapan macam perbuatan yang diatur oleh UU Nansalapan hendaknya berperan memberikan sanksinya terhadap pelakunya. Sanksi ini merupakan sebuah bentuk eksistensi hukum dan pengadilan adat tersebut bisa dikatakan masih bertahan. Namun jika hukum adat sudah mengalah demi pelaksanaan hukum formal, maka eksistensinya akan dipertanyakan. Seseorang yang sudah mendapatkan sanksi pada hukum formal, maka ada baiknya masih mendapatkan sanksi hukum adat. Sehingga tujuan pemberian sanksi untuk menimbulkan efek jera tercapai.
Secara Sosiologis, sanksi dikenal dengan berbagai bentuk, seperti dicemooh, dicela, dikucilkan, didenda, dan diusir, bahkan ada sebagian masyarakat memakai hukum cambuk, dan pancung (misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam). Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, pertama sekali yang berhak memberi hukuman kepada seseorang adalah kaum atau sukunya. Jadi setiap suku harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya.
Apabila salah seorang anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama memikul hukuman adalah kaum kerabatnya sendiri, sedangkan sipelaku kejahatan diberi hukuman oleh kaum kerabatnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasarkan kemufakatan anggota kaum secara bersama (Navis, 1984). Sanksi setelah pelaksanaan hukum formal dapat berupa sanksi yang paling ringan (dicemooh) sampai sanksi yang paling berat (diusir) tergantung jenis pelanggarannya.
Bersatunya hukum formal dan hukum adat dalam hal pencegahan perbuatan yang melanggar hukum tersebut, berefek positif kepada keharmonisan hidup dalam masyarakat. Bagaimana tidak, seseorang akan takut dan enggan untuk melawan (melanggar) hukum. Baik melawan hukum formal maupun hukum adat. Sebab ada hukum yang berlapis yang akan menindak pelangar tersebut. Jika ini dilaksnakan kemungkinan keharmonisasn dalam nagari akan terjaga. Pepatah adat mengatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso”Semoga saja ini terwujud [Penulis adalah staf di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 Mei 2019