Silek, Lahienyo Mancari Kawan Batinnyo Mancari Tuhan (1)

0
5492

Bagi kita kata silek tidaklah asing, apalagi bagi orang Minangkabau. Sebab sejak dahulu  adat Minangkabau menjadikan silek  sebagai warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya-berfungsi sebagai membela diri-parik paga nagari.  Silek  Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, sebab filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan -lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan. Begitulah esensi sarat dengan nilai yang terkandung dalam silek Minangkabau tersebut.

Disigi dari ajarannya, ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahiriah, silik adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri batiniah, dan suluk adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahir batin. Bahkan lebih jauh, beberapa pelaku- tuo silek mencoba mengaitkan “silat” (silek) dengan “salat” (sholat) dan “silat-urrahim” (hubungan baik dengan sesama manusia). Ketiga kata tersebut memiliki akar yang sama, terdiri atas tiga huruf Arab, yakni: sim-lam-ta.

Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar, menuntut kesungguhan, keterampilan fisik dan lidah serta kematangan psikologis. Silek dalam pengunaannya memiliki konsekuensi yang besar, yakni menciderai dan dapat mematikan. Oleh sebab itu, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesak membela diri. Namun bila terdesak gerakan silek bisa digunakan pula- munculah ungkapan musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan.

Sebagai sebuah keterampilan, silek melahirkan kreatifitas seni gerak yang disebut pancak. Pancak terekspresi pada berbagai aktifitas gerak seperti langkah balega, silek atau tari galombang, sipak rago, randai, tari manari, dan keterampilan berburu. Jadi, yang dipertunjukkan sebagai permainan atau kreatifitas seni adalah pancak.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/mahakarya-silek-minangkabau/

Perihal ini sesuai dengan ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman bersilat di rumah gadang, kok mancak yo di halaman’. Pancak merupakan salah satu bungo silek, yaitu representasi silek dalam bentuk gerak fisik. Oleh karena silek meliputi silik dan suluk, maka bungo silik adalah gayuang atau parmayo (gerak tubuh atau batiniah) dan bungo suluk adalah magrifatullah yakni suatu gerak spiritual berupa makrifat Allah SWT.

Silek Minangkabau tradisional adalah bagian dari tradisi lisan Minangkabau yang diajarkan secara lisan dan disertai peragaan laku dan peralatan. Sebagai tradisi lisan, sejarah kelahiran dan silsilah perkembangannya relatif sulit dilacak. Hal itu disebabkan karena penciptaannya bersifat anonymous dan kolektif. Itu sebabnya, penamaan aliran Silek Minangkabau didasarkan kepada sumber inspirasi dan pola gerakan serta nama nagari asal pengembang atau pengembangan awalnya. Sebut saja misalnya, Silek Usali atau Silek Tuo (penamaan berdasarkan ketuaan atau keawalan), Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, Silek Alang Babega (penamaan berdasarkan sumber inspirasi dan pola gerakan), Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Paninjauan, Silek Balubuih (penamaan berdasarkan nama nagari asal pengembang atau pengembangannya), dan lain sebagainya.

Perspektif wujud, silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud yakni silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri). Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah. Keterampilan silat lidah menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk tampil di depan umum mengutarakan pendapat, mengeluarkan ide-ide kreatif, mempertahankan argumentasi, dan kemampuan diplomasi. Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana- tahu di ereang dengan gendeang, tahu di angin nan bakisa, tahu di bayang kato sampai ‘tahu dengan ungkapan berkias, tahu dengan angin yang beralih, tahu dengan tujuan kiasan’.

Kemudian Silek tagak atau disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (amar makruf nahi mungkar). Silek tagak menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri di hadapan khalayak untuk menyatakan kebenaran dan keadilan.

Baik silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri) pada prinsipnya mengutamakan atau mengandalkan kecerdasan intelektual (ajaran falsafah alam terkembang jadi guru), kecerdasan emosional (ajaran budi), dan kecerdasan spiritual ajaran tauhid.

Itupula sebabnya silek pada dasarnya seni bela diri dengan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Prinsip demikian bermakna bahwa silek adalah keterampilan yang mampu menciderai bahkan mematikan lawan, karena itu silek mengehendaki pelakunya adalah orang yang telah dewasa dan matang, yang siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek itu, baik di dunia dan akhirat.

Keterampilan bersilek dalam silek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau mencari musuh namun memperbanyak kawan. Sifat perkawanan dan silaturahmi yang hakiki dibingkai oleh silek itu sendiri.

Memperbanyak teman dan mengurangi lawan dalam kehidupan bermasyarakat bisa menjadi hal ikhwal yang bisa diambil dalam prinsip silek itu sendiri. Kemudian secara bathiniah diri kita dekatkan pada yang maha kuasa- lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan. Bersambung.

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspres pada 12 September 2018