Penulis: Ferawati (Staf BPNB Sumatera Barat)
Sejarah bukan sekedar menghafal atau menuliskan angka tahun, nama tempat, dan nama orang. Ia mengandung makna yang melampaui batas-batas semua itu. Sejarah, karenanya, bukan hanya melihat, mendengar, dan merasakan peristiwa sejarah, melainkan juga kisah dan filsafatnya. Sejarah itu bak Ibu Pertiwi. Ia terus mengandung anak-anak bangsa, melahirkan dan membiarkannya tumbuh-kembang hingga terbentuk jiwa-jiwa pendukung yang membelanya kelak. Ia juga menyediakan semua kebutuhan mereka dan mengetahui segala bidang. Ia ibarat ibu yang serakah demi kebaikan anak-anaknya. Ilmu sejarah membahas segala bidang sepanjang terkait dengan manusianya. Bagaimana mungkin anak bangsa mengabaikan apalagi mengingkari sejarah dan membenci ilmu sejarah yang telah melahirkan jati dirinya?
Dosa Bersama
Jawaban atas semua keraguan itu, sangat mungkin. Sekelumit pengalaman miris yang mencerminkan anak-anak bangsa mengabaikan dan tidak menyukai sejarah terlihat dari sikap siswa/i dan mahasiswa/i dalam proses belajar-mengajar di sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini. Kejadiannya sudah berlangsung selama berpuluh tahun, justru setelah negeri ini bebas dari penjajah. Sebagian besar murid sekolah tidak menghormati sejarah dan terjadi hampir di seluruh jenjang pendidikan. Mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SLTP), dan sekolah menengah atas (SLTA) yang sederajat hingga jenjang perguruan tinggi. Mereka sebagian besar hampir meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan selama belajar sejarah. Sikap itu juga dapat dilihat dan rasakan dari pengalaman kita masing-masing selama menempuh pendidikan atau merayakan hari-hari bersejarah, seperti ketika menyambut Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus. Mengabaikan dan meminggirkan sejarah sudah menjadi dosa bersama. Merayakan Hari Kemerdekaan terasa masih sebatas kewajiban ketimbang rasa cinta Tanah Air.
Banyak gejala yang ditunjukkan oleh siswa/i dan mahasiswa/i yang tidak respek pada sejarah dan pelajaran sejarah. Beberapa contoh konkrit yaitu terlihat dari caranya memperlakukan buku-buku dan sumber-sumber sejarah, tingkah-lakunya selama memperingati hari besar bersejarah, dan minat mengikuti jam pelajaran sejarah. Tidak hanya itu, yang lebih memilukan lagi yaitu cara siswa/i bersikap kepada guru-guru pendidik mata ajar sejarah yang cenderung tidak respek. Gejalanya terjadi hampir merata di seluruh sekolah, seperti cara ‘aneh’ mereka menyebut dan memanggil nama-nama guru sejarah. Mereka tidak segan-segan melabeli guru sejarah sebagai “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Homo Sapiens”, dan sebutan lainnya yang bukan nama diri. Sebutan ini padahal hanya dipakai untuk mengidentifikasi jenis-jenis dan periodefikasi manusia purba, yang diyakini ilmuan Darwin berasal dari kera. Sikap dan perilaku mereka sebagai sasaran pendidik dan pelajaran sejarah berbanding lurus dengan kualitas pengetahuan mereka yang relatif rendah terkait bidang ini. Semakin mereka tidak menghargai guru sejarah semakin sulit mereka memahami, menyukai apalagi mencintai sejarah. Setidaknya gambaran ini pernah disampaikan bukan hanya oleh satu atau dua orang guru saja, melainkan hampir dirasakan oleh seluruh guru mata ajar sejarah, sebagaimana di Sumatera Barat. Sungguh miris kedengarannya, namun itulah fakta dewasa ini. Masih adakah rasa mencintai sejarah yang tersisa di sanubari generasi muda bangsa ini?
Suatu Perbandingan
Bandingkan dengan disiplin ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi yang hampir selalu dinomorsatukan dan dianggap sebagai kunci keberhasilan peradaban unggul. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu, yang perlu diubah adalah pola pikir masyarakat kita. Bandingkan juga dengan generasi pendahulu yang ikut membangun jati diri bangsa Indonesia di pentas lokal, nasional, bahkan internasional. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, tokoh-tokoh nasional yang mendalami ilmu eksakta dipastikan menguasai pengetahuan sejarah dari buku-buku sejarah lokal, nasional dan sejarah dunia yang mereka baca, seperti yang ditunjukkan oleh Ir. Soekarno. Tidak terkecuali tokoh-tokoh asal Minangkabau-Sumatera Barat, seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, M. Yamin, dan H. Agus Salim, juga mampu menguasai secara luas dan mendalam pengetahuan, pelajaran, dan filsafat sejarah dari segala sumber. Mereka, padahal, ada yang tidak mengecap pendidikan formal di sekolah-sekolah melainkan secara otodidak melalui buku-buku bacaan yang berbobot. Tidak peduli dengan karya sosialis-komunis atau materialis-kapitalis, religius atau atheis, pengarang muslim atau non-muslim, dan filsafat Barat atau Timur, buku karangan lokal dengan sejarah lokal, atau buku-buku nasional maupun internasional. Semuanya mereka lahap dan serius menjiwainya.
Mereka sangat menghargai dan mencintai sejarah sebagaimana mereka mencintai bangsa dan negara yang mereka perjuangkan, sembari menciptakan sejarah zamannya sendiri untuk generasi seterusnya. Berkat kecintaan mereka pada perwujudan kemerdekaan bangsa sebanding dengan kecintaannya pada sejarah, maka tidak heran mereka unggul sebagai tokoh di tingkat nasional dan global. Tersebab itu pulalah daerah asal tokoh-tokoh Minang-Sumatera Barat itu dikenal dan dikenang sebagai “industri otak”. Kiprah mereka yang menonjol, tidak ternafikan, berawal dari penguasaan mereka atas pengetahuan dan pelajaran sejarah. Kondisi seperti ini pula yang relatif sama dengan perkembangan minat masyarakat di negara-negara maju seperti di Eropa Barat yang semakin menggandrungi sejarah. Kendala apakah yang membuat generasi muda bangsa dewasa ini sulit keluar dari masalah serius ini, yang sedemikian berbeda dengan generasi pergerakan kemerdekaan maupun dengan bangsa di negara-negara maju?
Kumpulan Pengalaman
Kendalanya hampir selalu menyangkut kebutuhan sezaman dan perhatian dari berbagai pihak terkait. Adapun pengalaman miris yang dirasakan oleh guru-guru sejarah, di antaranya, mengemuka dalam “Workshop Guru Sejarah Tingkat SMA/MK Sederajat” dengan tema “Sejarah Lokal” di aula SMKN 2 Padang, Sumatera Barat pada 11 s/d 17 Juli 2017. Mereka yang hadir merupakan undangan dan perwakilan seluruh kabupaten/kota di propinsi ini, tidak terkecuali sekolah-sekolah terjauh dari kota Padang, seperti Mentawai dan Pasaman. Kegiatan workshop di propinsi ini salah satu dari beberapa saja kegiatan serupa yang terealisasi di seluruh Indonesia pada tahun 2017 oleh Ditjen Kebudayaan. Kegiatan itu berlangsung berkat kerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah, Dinas Pendidikan, dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat (BPNB Sumbar). Kegiatan itu sebelumnya terancam batal setelah terjadi pemotongan anggaran besar-besaran dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Kegiatan itu kemungkinan juga terancam akan dihapus dari mata anggaran Ditjen di masa-masa mendatang, hanya oleh karena kesulitan anggaran. Wacana ini sempat disampaikan oleh ketua panitia pusat (Direktorat Sejarah Kemdikbud). Jikapun ada pemikiran ulang untuk menyelenggarakan kegiatan serupa, kemungkinan dialihkan kepada instansi lain yang mampu mengalokasikan dan mencukupi anggarannya. Namun adakah jaminannya?
Persoalan ini masih seputar pola pikir terhadap sejarah. Sekalipun demikian, gejala peminggiran terhadap sejarah dan pegiatnya (pengajar dan pendidik) terus bermunculan, dan sangat disayangkan justru datang dari pemerintah sendiri. Sejarawan, apapun almamaternya, sangat disayangkan jika sampai kecolongan apalagi jika bersikap nafsi-nafsi.
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 20 Agustus 2017