Salawat Dulang, Tradisi Lisan Minangkabau

0
1091

image: google.com
image: google.com
Salawat dulang atau Salawaik Dulang adalah sastra lisan Minangkabau bertemakan Islam. Sesuai dengan namanya, Salawat dulang berasal dari dua kata yaitu salawat yang berarti salawat atau doa untuk nabi Muhammad SAW, dan dulang atau talam, yaitu piring besar dari Loyang atau logam yang biasa digunakan untuk makan bersama. Dipertunjukkan oleh minimal dua klub diiringi tabuhan pada ‘dulang’, yaitu nampan kuningan yang bergaris tengah sekitar 65 cm. Dalam bahasa sehari-hari, sastra lisan ini hanya disebut ‘salawat’ ataupun ‘salawek’ saja. Di beberapa tempat, salawat dulang disebut juga salawat talam.

Dalam sastra rakyat Minangkabau, salawat dulang adalah penceritaan kehidupan nabi Muhammad, cerita yang memuji nabi, atau cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar itu. (Djamaris, 2002: 150).

Pertunjukan salawat dulang biasanya dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam dan ‘alek nagari’. Pertunjukan ini tidak dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka. Biasanya hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat seperti mesjid, surau. Pertunjukan juga biasanya dimulai selepas isya. Sifat pertunjukan yang bertanya jawab, saling serang dan saling berusaha mempertahankan diri. Dalam pertunjukannya, kedua tukang salawat duduk bersisisian dan menabuh talam secara bersamaan. Keduanya berdendang secara bersamaan atau saling menyambung larik-lariknya. Larik-larik itu berbentuk syair.

Tradisi ini berkembang di hampir seluruh wilayah Minangkabau, baik ‘darek’ maupun ‘pasisia’. Hampir di semua wilayah Minangkabau tradisi ini bisa ditemukan seperti Luhak Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Koto, bahkan pasisia atau Rantau. Satu-satunya daerah yang tidak ada penutur salawat dulang adalah di pasaman. Masing-masing daerah mengklaim kalau tradisi ini adalah tradisi mereka.

Sejarah

Salawat dulang berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar ke Aceh, diantaranya adalah Syeh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau. Saat berdakwah, beliau teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya adalah menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu tim rebana. Beliau kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.

Ada juga yang menyatakan bahwa salawat dulang berasal dari tanah datar oleh kelompok tarekat syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, teks salawat dulang itu lebih cenderung berisi ajaran tasawuf.
Ada juga yang menghubungkan bahwa Salawat Dulang ditanah datar tidak lepas dari tiga tokoh tanah datar yaitu Tuanku Musajik (1730-1930), Tuanku Limopuluh (1730-1930) dan Katik Rajo (1880-1960).

Pertunjukan Salawat Talam baru dapat dilaksanakan jika ada paling tidak dua klub, karena teksnya mengandung tanya jawab. Artinya, pertunjukan sastra lisan ini juga merupakan sebuah kompetisi. Penampilan satu teks tersebut disebut salabuahan atau satanggak ataupun satunggak; memakan waktu 25-40 menit.

Teks salabuahan terdiri dari pambukaan, batang, dan panutuik. Bagian batang berisi kaji, yaitu bagian inti salabuahan penampilan Salawaik Dulang. Teks tersebut dihapal oleh tukang salawat kata demi kata. Umumnya, ia merupakan tafsiran dari ayat Al-quran atau pun Hadist. Bagian berikutnya adalah bagian penutup, yang dimulai dengan pertanyaan, lalu memberi pertanyaan. Bagian penutup ini juga dapat disisipi dengan pesan-pesan pemerintah, seperti keluarga berencana, supra insus, bahkan pemilihan umum; atau sekedar hiburan dengan syair-syair lagu yang tengah populer.

Tradisi ini masih berkembang hingga sekarang, hal ini bisa dilihat dari banyaknya tukang salawat, semakin sering dipertunjukkan dan irama pendendangnya semakin terbuka yaitu mengikuti perkembangan irama lagu-lagu yang telah populer di tengah masyarakat. Salawat Dulang adalah tradisi minangkabau yang bersidat terbuka karena memiliki daya adaptif baik dari segi tema maupun irama, dapat diimprovisasi sesuai dengan hal-hal yang disenangi masyarakat baik dari segi isi maupun irama.

Pada awalnya tradisi lisan ini berfungsi sebagai sarana dakwah dan hanya dipertunjukkan dalam perayaan-perayaan agama Islam. Saat ini fungsi tradisi lisan ini tidak hanya dakwah saja, namun juga sebagai sarana hiburan serta sarana menarik perhatian penonton untuk mengikuti suatu aktivitas, seperti penggalangan dana.

Tradisi salawat dulang ini telah diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.

Sumber:
Meigalia, Eka. Keberlanjutan Tradisi Lisan Minangkabau Salawat Dulang. Tesis S-2. 2009