Runciang Jan Mancucuak, Sandiang Jan Maluko

0
3893

Penulis: Kadril

Saat sekarang ditilik dalam kehidupan sehari-hari ada sebagian remaja di Minangkabau ketika berbicara dalam acara formal dan informal sudah jarang memikirkan dengan siapa mereka berbicara dan boleh dikatakan tidak mempergunakan kata – kata yang santun dan baik di dengar oleh lawan berbicaranya.

Seperti ungakapan runciang jan mancucuk, sandiang jan maluko, (runcing jangan menusuk, sanding jangan melukai) artinya adalah suatu perkataan yang melukai atau menyakiti hati seseorang.

Ironisnya lagi seorang anak yang sudah dewasa memaki-maki orang tua dengan kata-kata yang kasar dan kemanakan leluasa berkata kasar kepada mamaknya seperti perkataan, guno mamak tu indak adoh, kini lai doh, nan jadi mamak tu kini pitih (mamak sekarang tidak berfungsi yang berfungsi sekarang itu uang).

Salah-satu makna yang tersirat dari ungkapan tradisional ini adalah  : jika seseorang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicara pelihara mulut dan berkata peliharalah lidah. Sehingga seseorang yang mempunyai ilmu dapat mempergunakan dengan ilmu dengan baik dan membawa keuntungan atau kemaslahatan bagi khalayak ramai dan masyarakat.

Sebagai obat yang mujarab untuk menyikapi fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sebagian remaja-remaja di masyarakat, ini, kita perlu kembali memahami norma adat dan  nilai etika atau sopan santun dalam berbicara, serperti ungkapan tradisional : harimau dalam paruik kambing juo nan musti kalua, (sungguhpun harimau dalam perut kambing juga yang mesti di keluarkan). Biasanya ungkapan ini sering diucapkan oleh orang tua-tua dulu kepada anak dan kemanakannya, bagi yang tidak tahu sopan santun dalam berbicara.

Disamping itu, tidak kalah pentingnya perlu kita mengingat kembali pada norma adat sopan santun ketika berbicara. Norma adat atau sopan santun inilah sebagai sendi-sendi nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur kepada kita seperti kato nan ampek (kata yang empat).  Kato nan ampek merupakan adat berbicara di Minangkabau.

Setiap orang dituntut paham perbedaan cara berbicara dengan orang berbeda. Indak ka pernah samo datanyo sawah jo pamatang, (tidak akan sama datar sawah dengan pematang). Maksunya setiap orang punya tingkatan-tingkatan tertentu di masyarakat.

Kato mandaki

Kato mandaki merupakan adat berbicara dengan orang yang lebih dituakan, misalnya dengan ayah dan ibu, mamak dan lain sebagainya. Berbicara dengan orang yang lebih tua haruslah dengan lemah lembut dan penuh sopan santun. Tidak boleh memotong pembicaraan orang lain, apalagi membantah.

Selagi yang dikatannya benar dan demi kebaikan, kita tidak boleh melawan perkataan orang yang lebih dituakan. Sedangkan untuk kata sapaan sendiri juga di bedakan, biasanya mengunakan awak, ambo.

Kato manurun

Kato manurun digunakan saat berbicara dengan lawan bicara yang lebih kecil, misalnya dengan adik. Sebagai saudara yang lebih tua hendaknya berbicara dengan kasih sayang, mengajarkan dengan baik. Bukan membentak-bentak, atau menyuruh dengan kata kasar dan biasakan dengan mengunakan kata tolong dan terimakasih. Sedangkan untuk kata panggilan terhadap diri sendiri mengunakan kata uda, uwan, atau uni, dan lain sebagainya.

Kato mandata

Kata mendata biasanya digunakan untuk berkelakar dengan teman seumuran. Biasanya kata yang digunakan lebih bebas dan kadang juga kasar. Apalagi dalam pertemanan anak laki-laki.  Dengan demikian justru pertemanan mereka nampak lebih akrab dan tidak kaku. Aden,deyen biasa digunakan untuk panggilan diri sendiri. Sedangkan untuk panggilan orang lain digunakan waang,angkau,mandan,andan,ndan dan sebagainya.

Kato malereng

Kato malereng biasanya digunakan untuk berbicara antara orang yang segan menyegani. Misalnya antara mertua dan menantu, sumando,ipa jo bisan. Pembicaraan mengunakan kata kiasan yang sifatnya tidak langsung.  Kok lai dapek mancari bareh dek sutan sagantang sahari, ambo ndak baa sajo anak ambo sutan pabini. Secara logika  mungkin tidak masuk akal, bagaimana mungkin dengan sagantang beras bisa cukup untuk dimakan sekeluarga.

Tentulah harus ada lauk pauk, sayur, dan lain-lain. Jadi maksud mertua adalah orang tersebut haruslah memiliki mata pencarian sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tidak hanya makan tapi juga nafkah lainnya.

Oleh karena itu bagi kita generasi muda yang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicaralah dengan sopan santun dan berpegang kepada kato nan ampek, pertama kato mandata, kedua kato manurunn ketiga kato mandaki dan keempat malereng. Jadi, hendaknya perkataan-perkataan yang keluar dari mulut seseorang terpelihara dan membawa berkah atau kemaslahatan bagi masyarakat [Penulis adalah Pengelola Data Budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 10 Februari 2019