Penulis: Firdaus Marbun
Salah satu kesenian tradisional Sumatera Barat yang eksis hingga kini adalah Ronggeng Pasaman. Kesenian ini merupakan kegiatan berbalas pantun dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik dan tarian. Alat musik pendukung kesenian ini diantaranya biola, gitar, rebana, dan tamburin. Seperti namanya, kesenian ini berkembang di sekitar Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat.
Ronggeng Pasaman dimainkan oleh minimal sembilan orang yang terdiri dari satu orang ronggeng, tiga orang penampil pria dan lima pemain musik. Seorang ronggeng berperan mendendangkan pantun-pantun dalam pertunjukan. Sehingga, seorang ronggeng adalah orang yang mahir dan ahli dalam berpantun. Selain itu, dia juga harus bersedia berpenampilan seperti perempuan dan biasanya memiliki paga diri (ilmu batin penjaga diri). Paga diri diperlukan untuk memastikan keamanan ketika sedang tampil dimanapun.
Dalam pertunjukannya, seorang ronggeng didampingi setidaknya tiga penampil pria. Satu dari tiga penampil bertugas membalas pantun yang dilontarkan ronggeng, sementara dua orang lainnya mendampingi sambil menari. Penampil pria ini bebas dari mana saja, termasuk dari kalangan penonton, tidak harus ahli dalam berpantun dan biasanya bertugas secara bergiliran. Bahkan, seorang penampil tidak masalah ketika harus bertanya ke orang lain bahkan ke penonton untuk dapat membalas pantun-pantung ronggeng.
Pemain musik terdiri dari lima orang yakni satu orang pemain biola, dua orang pemain gitar, satu orang pemain rebana dan satu orang pemain tamburin. Pemain musik bertanggung jawab pada iringan musik selama pertunjukan berlangsung.
Kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan pelipur lara. Rongggeng termasuk tradisi lisan (Pratama, 2015). Pantun-pantun yang didendangkan dalam ronggeng pasaman umumnya bebas dan lepas dan tidak membentuk suatu kesatuan cerita (Takari dan Zafar, 2014). Beberapa nyanyian yang kerap didendangkan dalam kesenian ronggeng adalah pantun yang berisi sindiran, nasehat, kritik yang seringkali ide-idenya muncul secara spontan kala pertunjukan. Percintaan, kesedihan, harapan dan kerinduan. Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi seperti cerai kasih, kaparinyo, buah sempaya, tari payung, mainang, alah sayang, sinambang, di kambang baruih.
Pertunjukan ronggeng pasaman biasanya dimainkan pada malam hari hingga pagi menjelang subuh dalam pesta perkawinan maupun acara-acara keagamaan. Kesenian ini dilakukan dengan berpasangan atau berkelompok. Suasana pertunjukan berlangsung cair dimana antar pelaku dan penonton tidak berjarak. Penonton senantiasa diajak terlibat selama pertunjukan berlangsung secara spontan seperti berdialog.
Sejarah Ronggeng Pasaman
Kesenian ronggeng adalah kesenian nusantara yang telah eksis sejak zaman kerajaan. Kesenian ini hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia walau dengan nama yang berbeda. Beberapa contoh seperti lengger di Jogya, ronggeng/topeng babakan, doger, taledek, di Sunda, dendang sayang di Aceh, dondang sayang di Melaka, Kapri di Barus, Tarian Ronggeng di Pasaman, Katumbak di Pariaman dan Gamat di Kota Padang, Pelanduk di Palembang, gandot di kalimantan, Pajoge di Sulawesi.
Pada masa lalu, kesenian ini ditampilkan di istana-istana kerajaan untuk menghibur raja dan keluarganya. Bahkan, pada abad ke-20 penari ronggeng biasa dikirim ke keraton-keraton khusus untuk menghibur. Sementara di desa-desa, ronggeng digunakan sebagai media penyampaian pesan dalam berbagai ritual sebagai ucapan syukur atas hasil panen.
Munculnya ronggeng di Pasaman tidak lepas dari migrasi penduduk pada masa lalu. Beberapa dugaan menyatakan bahwa ronggeng pasaman berasal dari masyarakat Jawa yang migrasi ke Pasaman. Masyarakat Jawa ini dibawa oleh penjajah Jepang untuk memenuhi tenaga kerja pada perkebunan karet disana. Kedatangan orang Jawa sekaligus membawa adat kebiasaan mereka, termasuk kesenian ronggeng.
Perkembangan ronggeng di pasaman juga tidak lepas dari adanya kelonggaran pertunjukan ronggeng pada waktu itu. Walau sedikit dibatasi, namun pertunjukan tidak dilarang untuk kalangan masyarakat pemiliknya. Sehingga lama-kelamaan ronggeng juga diminati oleh masyarakat asli. Seiring berjalannya waktu, ronggeng kemudian diadaptasi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang ada di Pasaman.
Ronggengpun kemudian mengalami modifikasi sesuai adat masyarakat setempat seperti bahasa syair yang umum menggunakan bahasa Minangkabau dan Mandailing, pemainnya yang berganti menjadi pria yang didandani seperti perempuan dan pertunjukannya hanya dimaksudkan sebagai hiburan. Kesenian ini juga menjadi marak ditampilkan pada acara-acara adat dan agama.
Perpaduan Beda Budaya
Ronggeng pasaman merupakan salah satu bentuk ronggeng yang berkembang di Sumatera yang berbeda dengan daerah lain. Pemakaian kata ‘ronggeng’ mengindikasikan bahwa kesenian ini bukan produk asli, tapi berasal dari daerah lain. Jika kita merujuk pada nama tersebut, besar kemungkinan bahwa rongggeng dari daerah jawa. Migrasi orang jawa ke sumatera telah berperan sebagai awal kemunculan ronggeng pasaman.
Ronggeng pasaman merupakan adaptasi seni sesuai kekhasan daerah pasaman yang mayoritas dihuni oleh suku Minangkabau dan Mandailing. Pertama dari pantun-pantun yang seringkali menggunakan bahasa minangkabau dan bahasa Mandailing. Ronggeng yang ditampilkan juga adalah pria yang dimake up seperti layaknya perempuan. Hal itu untuk menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat yang beragama Islam. Dimana tidak menampilkan perempuan di muka umum.
Tujuan penampilan ronggeng juga diperluas. Walau sifatnya hanya hiburan, tapi dilaksanakan tidak hanya pada acara-acara pesta saja, tapi juga pada acara-acara keagamaan. Ronggeng ini juga telah sering ditampilkan pada acara-acara adat lainnya seperti acara turun mandi dengan tetap menampilkannya sebagai hiburan semata.
Berkembangnya kesenian ronggeng di Pasaman jelas menunjukkan adanya toleransi antara budaya yang berbeda di daerah Pasaman. Sehingga ronggeng yang pada awalnya hanya terbatas dipertontonkan pada komunitas pemiliknya, kemudian berkembang ke masyarakat asli. Selanjutnya keberadaan ronggeng pasaman menjadi tradisi yang dimiliki bersama dengan mengadaptasi adat kebiasaan masyarakat setempat.
Keberadaan ronggeng pasaman pada masa kini sesungguhnya tidak lagi sebagaimana jayanya pada masa lampau. Namun nilai toleransi yang diwariskan telah memberikan kita pencerahan yang penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 3 Februari 2019