Merawat Deposit Budaya

0
1163

Penulis: Undri (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Apa yang kita bangakan sebagai anak bangsa dewasa ini. Kekayaan alam sudah mulai terkuras habis begitu juga dengan sumberdaya manusia jauh tertinggal dari negara lain. Disigi dari sumberdaya alam, keanekaragaman jenis tambang yang ada di perut bumi seperti gas alam, minyak bumi, batubara, bauksit, timah, emas, tembaga dan banyak lagi, cepat atau lambat kekayaan itu akan habis jua. Namun kita boleh berbanga, kita punya budaya yang amat luhur dan dikagumi oleh negara lain-sebuah deposit yang takkan pernah habis-habisnya bila dirawat dengan baik.

Sebagai sebuah deposit yang penting kita rawat, maka perlu kiranya merubah paradigma yang selama ini kita pakai. Sampai hari ini kita banyak yang salah memahami tentang kebudayaan itu sendiri. Masalah budaya itu amatlah sangat luas, bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu, mulai dari lahir sampai meninggal dunia-budaya akan selalu menghiasinya. Bahkan konsep budaya itu luas dan dinamis-berubah. Irama hidup kita yang makin cepat tentu saja mempengaruhi perubahan tersebut. Tetapi ada faktor-faktor lain lagi yang turut menghasilkan perubahan ini. Dulu budaya dipandang sesuatu yang bersangkutan dengan sekelompok kecil ahli-ahli saja, sedangkan oleh rakyat banyak budaya itu dialami sebagai semacam takdir yang tak terelakkan ; sama seperti hujan atau cuaca terang. Tetapi kini setiap orang ingin mencampuri atau menangani kekuatan-kekuatan yang turut membentuk kebudayaan secara umum dan budaya khususnya. Bahkan C.A van Peursen (1998) mengungkapkan bahwa budaya itu sendiri merupakan endapan-endapan dari kegiatan dan karya manusia.

Disinilah pentingnya roh strategi merawat deposit budaya itu sendiri- tidak sekadar pengelolaan cara berpikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bereaksi dan bertindak yang menjadikannya mampu menjadi daya produktivitas sebuah bangsa. Di sinilai diperlukan strategi budaya. Strategi budaya adalah pola reaksi dan tindakan agar kerja pemerintah tersosialisasi menjadi pelayanan dan pengawasan publik, sekaligus menumbuhkan proses emansi­patoris. Pada gilirannya, mewujudkan proses pembentukan kehendak bersama antara pemerintah dengan komunitas dan individu kreatif lewat perbincangan yang mewujudkan tindakan (Garin Nugroho, Kompas, Rabu 10 Januari 2007).

Persoalan kecil saja, yang sering kita jumpai bagaimana kita lemah dalam merawat deposit budaya kita sendiri. Kita jumpai begitu banyaknya  budaya tradisional yang ada tidak diketahui dengan baik dan dilestarikan oleh pendukung kebudayaan itu sendiri. Kadang kala sudah terkikis bahkan punah. Pada hal itu merupakan budaya khas yang ada pada daerah tersebut. Berbagai alasan muncul penyebab terkikis dan kepunahannya. Mulai dari persoalan arus global yang tak terbendung yang menelan budaya tradisional itu sendiri sampai kepada perihal dukungan pendanaan yang minim bahkan tidak ada sama sekali dari pemerintah. Walaupun itu perihal klasik namun itulah faktanya dilapangan.

Sebagai konsekuensi logis dari semua itu adalah budaya yang ada akhirnya menjadi “patung” yang tak punya makna apa-apa bagi masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Namun ironinya, budaya tradisional yang seharusnya berkembang di daerah kita malahan berkembang di negara tetangga, di Malaysia misalnya. Beberapa budaya kita malahan hidup dan lestari di negara jiran tersebut. Sesuatu yang kontradiktif, kalau kita berbicara masalah pelestarian budaya tradisional daerah. Serta sebuah keironian ketika kita ingin melestarikan budaya daerah kita sendiri.

Inilah pentingnya kedepan database secara tertulis mengenai budaya tradisional yang ada pada setiap nagari mestinya dipunyai dan diwujudkan. Bagi orang tua-tua tidaklah merasa enggan untuk mewariskan dan mengajarinya perihal budaya tradisional yang ia ketahui kepada generasi muda. Begitu pula dengan generasi muda, janganlah merasa rendah diri dan enggan bila mempelajari budaya kita sendiri. Bukan orang lain yang akan mempelajari dan melestarikan budaya kita namun kita sendirilah yang sebetulnya punya andil untuk mempelajari dan melestarikannya.

Menurut penulis ada beberapa langkah untuk merawat deposit budaya. Pertama, melakukan pencatatan dan inventarisasi. Usaha ini dapat dilakukan sebagai bagian upaya perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya takbenda dapat memantapkan jatidiri bangsa, dan juga dapat memperjelas asal-usul  karya budaya ada.

Kedua, perlunya pembangunan dalam bidang kebudayaan. Pembangunan dalam bidang kebudayaan umumnya sampai saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat.

Ketiga, dalam ruang lingkup inilah maka perlu dilakukan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelktual) terhadap semua produk budaya yang ada dalam masyarakat yang bersifat unik dan mencerminkan ciri identitas bangsa Indonesia. Tujuannya untuk  menggali, memahami, melindungi, merawat serta memeilihara asset budaya agar tidak punah dan rusak. Hasil yang diharapkan dari  kegiatan adalah  dapat melestarikan budaya bangsa agar tetap eksis dan diakui oleh negara lain.

Seiring dengan itu, kita menyadari keragaman budaya rupanya belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan khasanah nasional yang dapat memberi nilai tambah, melainkan lebih sering dianggap sebagai rongrongan yang mengancam otoritas atau keutuhan negara atau hegemoni tertentu. Seharusnya manusia Indonesia tidak gentar dengan keanekaragaman, karena jati diri Indonesia adalah kebinekaan yang meliputi bahasa, sastra, adat-istiadat, dan segala sesuatu yang hidup di dalam alam Indonesia.

Perihal merawat deposit budaya maka penting media sebagai wadahnya penyampaian informasi, yakni pertama pendidikan formal. Dimana hakekat dari pendidikan itu adalah pewarisan nilai-nilai, baik nilai budaya, sejarah dan sebagainya. Didalamnya berfungsilah sekolah, dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitter dari culture hiratage sebagai instrument for transforming culture. Pengalaman menunjukkan bahwa penanaman nilai termasuk pelestarian nilai, apa yang berharga dan bernilai yang diinginkan oleh generasi muda khususnya dapat dilakukan secara formal melalui berbagai media. Dalam domain ini, adapaun langkah yang diambil dalam pelestarian dan pengelolaan kekayaan budaya dapat dilakukan terutama dalam materi bahan ajar (kurikulum) disekolah-sekolah, terutama kurikulum muatan lokal. Kedua, pendidikan informal. Adapun lewat jalur ini bisa dilakukan sosialisasi langsung kelapangan, kegiatan yang menyentuh langsung kemasyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelamatan kekayaan budaya yang bersifat mandiri. Hal ini tidak terlepas dari apa yang menjadi landasan semangat yang terkandung pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Masyarakat secara sadar membangun dirinya menjadi manusia yang amanah dan mampu memanfaatkan sumberdaya, baik manusia dan alam untuk kemaslahatan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan budaya tersebut.

Jadi, merawat deposit budaya sebetunya merupakan cara kita bagaimana budaya itu bisa kita pahami, kita lindungi dan lestarikan. Hal ini terkait dengan citra, harkat, dan martabat bangsa. Ketika kita dapat merawat deposit budaya ini,  maka akan muncul suatu keterjaminan dan kelestarian akan budaya kita sendiri. Dan inilah yang kita harapkan kedepannya. Wassalam.

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 22 Agustus 2017