Maanta Pabukoan: Tradisi yang Makin Ditinggalkan

0
3260
Hariadi

Penulis: Hariadi

Sholat Zuhur baru saja selesai. beberapa orang ibu-ibu mulai sibuk di dapur mempersiapkan beberapa jenis makanan. Masing masing ibu-ibu dalam pekerjaannya masing masing.  Kejadian itu tidak biasanya dilakukan dalam bulan Ramadhan. Seorang anak berumur belasan tahun melihat kejadian tersebut bertanya kepada ibunya “mak,kamanga awak” sambil menoleh kepada anaknya, ibu itu menjawab” awak kamaanta  pabukoan, beko kawani uni maantakan ka rumah mamak”. Sepenggal dialog itu telah terjadi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu di Nagari Simalanggang, Kabupaten Limopuluh Koto, Sumatera Barat.

Maanta pabukoan adalah tradisi yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan di Nagari Simalanggang, sebuah nagari dalam wilayah administratif Kabupaten Lima Puluh Kota. Belum di ketahui kapan tradisi ini bermula. Bentuk tradisinya adalah  mengantar menu berbuka ke rumah penghulu suku dan mamak oleh  kemenakan dalam bulan Ramadhan.

Prosesi  tradisi maanta pabukoan ini dimulai dengan menyiapkan pabukoan oleh sebuah keluarga besar dalam sebuah suku, umumya oleh perempuan adik beradik. Pabukoan yang disiapkan terdiri dari nasi, samba (lauk pauk) dan makanan untuk berbuka seperti kolak, silamak, sarikayo, agar agar dan makanan sejenisnya.

Makanan yang telah disiapkan tersebut ditempatkan di dalam satu rantang jinjing bertingkat. masyarakat Simalanggang menyebutnya siya. Bagian paling bawah diisi nasi, tingkat kedua samba (lauk pauk) adakalanya gulai, gorengan atau rending,  tingkat ketiga adalah kolak atau konji, biasanya kolak pisang, sarikayo atau jenis kolak lainnya. Tingkat keempat diisi dengan silamak atau lamang dan  rantang paling atas biasanya diisi dengan surabi atau agar agar atau onde onde atau makanan sejenisnya.

Pabukoan tersebut diantarkan ke rumah penghulu suku dan mamak. Waktu mengantarkannya umumnya setelah waktu Sholat Ashar sampai menjelang waktu berbuka. Pengantar pabukoan adalah kemenakan yang masih gadis dan biasanya ditemani oleh kemenakan perempuan yang masih anak-anak. Pabukoan diserahkan kepada istri mamak. Rantang disalin terkadang rantang tersebut diisi oleh istri mamak dengan makanan atau kue. Pengantar pabukoan  kembali pulang, dengan demikian prosesi tradisi mengantar pabukoan selesai.

Seiring berjalannya waktu tradisi maanta pabukoan semakin ditinggalkan. Berbagai faktor penyebabnya antara lain: (1) perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di masyarakat, (2) semakin meredupnya  peran penghulu suku dalam sukunya dan peran mamak dalam sebuah keluarga matrilineal, (3) semakin meredupnya rasa bermamak dan berkemenakan dalam kehidupan masyarakat.

Makna yang terkandung

Tradisi maantaan pabukoan ini bukan hanya sekedar mengantar makanan tetapi mempunyai beberapa makna yang terkadung di dalam tradisi ini. Dengan dilaksanakannya tradisi maanta pabukoan ada beberapa nilai positif yang dapat terwujud.

Tradisi maanta pabukoan merupakan pengamalan hadist nabi berkaitan dengan keutamaan orang yang memberikan makan minum  untuk orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad Tirmidzi dan Ibnu Majah  : “Siapa yang memberi perbukaan (makanan dan minuman) bagi orang yang berpuasa, maka  baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sama sekali”. Dengan demikian tradisi maanta pabukoan mempunyai landasan yang kuat dari hadist nabi Muhammad SAW.

Maanta pabukoan adalah bentuk penghormatan kepada penghulu suku dan mamak oleh kemenakan. Dalam adat Minangkabau tanggungjawab penghulu suku dan mamak terbilang berat. Posisi keduanya fungsional dalam sebuah suku dan keluarga matrilineal. Penghulu suku dalam sebuah pesukuan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagaimana diibaratkan “baban barek Singguluang batu”(beban berat singgulung batu). Permasalahan kemenakan di internal sebuah suku atau eksternal merupakan tanggung jawab penghulu suku untuk mencarikan solusinya. Seorang penghulu suku juga mesti mengetahui keadaan kemenakannya sebagaimana diibarat “siang mancaliak caliakkan, malam mandanga dangakan”. Senantiasa memantau keadaan kemenakan sepanjang hari.

Adapun tanggung jawab mamak dalam budaya Minangkabau sebagaimana dalam pantun  adat” kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokkan, bao lalu ka Saruaso, anak di pangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso”. Sebelum datangnya pengaruh Islam tanggung jawab terhadap kemenakan berada pada mamak. Mamak memastikan kebutuhan pokok kemenakannya bisa terpenuhi. Seiring dengan menguatnya pengaruh Islam maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok kemenakan beralih kepada ayah. Walau pun telah terjadi banyak pergeseran tanggung jawab mamak terhadap kemenakan tetap ada walaupun sudah mulai berkurang.

Tradisi maanta pabukoan juga merupakan bentuk rasa terimakasih  kemenakan kepada penghulu suku dan mamak yang telah mencurahkan perhatiannya, waktu, pemikiran   untuk kebaikan kemenakannya. Tradisi maanta pabukoan juga sebagai bentuk memperkuat silaturrahim antara kemenakan dengan keluarga penghulu suku dan keluarga mamak. Dengan datangnya kemenakan ke rumah mamaknya, tentu saja akan bertemu dengan istri dan anak anak mamak (anak pisang). Pertemuan tersebut akan membangun keakraban dan saling mengenal yang akan membuahkan silaturrahim yang semakin kokoh antara kemenakan dan keluarga penghulu suku dan mamak [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 26 Mei 2019