Oleh: Sefiani Rozalina
Maandugh anak adalah sebuah tradisi lisan yang unik yang berasal dari Muara Paiti, Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Tradisi ini adalah suatu kegiatan untuk menidurkan atau meninabobokkan (kelonan) anak di atas boyan atau ayunan sambil didendangkan. Anak bayi atau anak yang masih kecil ditidurkan disebuah ayunan rotan atau ayunan kain. Kemudian ayunan tersebut diayun – ayunkan oleh sang Ibu sambil didendangkan.
Dendangan tersebut terdengar seperti syair – syair lagu, dendangan yang disuarakan oleh si ibu kebanyakan berisi tentang nasehat – nasehat untuk sang anak. Kadang-kala, dendangan tersebut juga berisikan tentang pahit manisnya hidup. Tidak jarang juga sang ibu maandugh anaknya sambil meratap sedih menceritakan susahnya hidup yang sedang dijalani.
Dendangan ini dinyanyikan dengan menggunakan bahasa asli Muaro Paiti yaitu bahasa Minang. Umur anak yang biasanya ditidurkan di ayunan tersebut berkisar 1 bulan sampai dengan 2 tahun. Pada dahulunya, karena susahnya kehidupan, kebanyakan perempuan Muaro Paiti bekerja di ladang. Sambil bekerja, mereka juga menjaga sang anak. Agar sang anak tidak rewel, si ibu maandugh anaknya di sebuah ayunan yang dipasangkan kesebuah pohon. Ketika si anak sudah tidur, si ibu bisa melanjutkan kerjanya di ladang. Sesekali si anak menangis, si ibu akan maandugh anaknya lagi sampai si anak tenang. Tidak hanya di ladang, kegiatan maandugh anak ini juga dilakukan oleh Ibu – Ibu Muara Paiti di rumah mereka.
Contoh isi dendangan maandugh anak yang diambil dari rekaman narasumber yaitu Ibu Yusmatati pada tanggal 27 Februari 2020 :
Babuai nak…Babuai…..
Tidughlah mu nak bujang den, n’tidugh saying
Usah manangih khanianglah nak ghang bujang
Mamak nak oi
Manangih bujang suak nak bongihnyo
Oi ughang saying
Elok laku do nyo nak oi nan kadis
Dibuek sayang
TIdugh daulu muah nak rang bujang …
Mamak nak oi
Sajak kociak nyo nak den cilak padi nak oi
Nan lah godang coyang barobah
padang sayang oi
Sajak kociak suaknyo bujang duduak omah mangaji
Nan lah godang duduak nak togaksi
sumbayang saying
Godang lah rueh muah nak godanglah…lah godang
Jan manangih sayang..elok laku buek mu yang..mak banyak kojo
Loloklah lolok nak rang bujang mamak nak oi
Sarikayo suaknyo nak makan jo tapai
Makanan anak suak punai tanah nak oi
Duo nyo anak suak nak tiuang lampai
Urang kayo dunia nak makosuik sampai saying
Awak miskin suaknyo bujang karambia ditonga nak oi
Tidugh jang den dunia ndak mahalok
Lolokkan sayang
Kegiatan maandugh anak ini merupakan sebuah kegiatan untuk mewariskan dan menanamkan pendidikan nilai karakter dari seorang ibu kepada anaknya. Hal itu bisa dilihat dari syair dendangan yang dinyanyikan si Ibu ketika meninabobokkan anaknya. Syair lagu dalam dendangan maandugh anak ini mengandung banyak arti. Pendidikan karakter tentang kasih sayang terlihat jelas dari bagaimana sang Ibu memberikan nasehat kepada sang anak untuk tidak cengeng, harus menjadi manusia yang kuat dan berbudi baik.
Cerita tentang ketangguhan seorang ibu untuk mencari nafkah dan bekerja keras untuk membesarkan anaknya juga tergambarkan dalam syair diatas. Pendidikan karakter tentang keimanan kepada Tuhan YME juga tersirat dalam syair maandugh anak ini (Sajak kociak suaknyo bujang duduak omah mangaji, Nan lah godang duduak nak togaksi, sumbayang sayang). Dalam penggalan syair ini mengajarkan bahwa sang anak sejak kecil dituntun untuk membaca Al-qur’an dan melaksanakan Sholat. Mandugh anak tidak hanya bermanfaat bagi anak yang ditidurkan, tetapi juga bermanfaat bagi anggota keluarga yang lain yang mendengarkan senandung syairnya. Maandugh anak dengan melantunkan dendangan yang berisi syair – syair lagu menjadi media untuk menyampaikan pesan – pesan kehidupan kepada seseorang atau kelompok dengan cara yang berbeda. Syair maandugh anak diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dan tradisional. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi maandugh anak ini sudah sangat jarang ditemukan sekarang karena para pelaku maandugh anak ini adalah orang orang tua/ibu – ibu yang sudah tua [Pamong Budaya Muda di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]