Beranda blog Halaman 25

Penukal Abab Lematang Ilir dalam Perjalanan Sejarah

0
Seno

Proses pembentukan Kabupaten PALI akan dikaji oleh Seno dan tim, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat. PALI merupakan singkatan dari Penukal Abab Lematang Ilir adalah salah satu kabupaten baru di Provinsi Sumatera Selatan yang terbentuk pada tahun 2013 melalui UU Nomor 7 Tahun 2013. Sebelum menjadi kabupaten baru,  PALI merupakan bagian dari beberapa kecamatan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Muara Enim.

Ide pembentukan Kabupaten Pali dilandasi beberapa faktor seperti perkembangan pembangunan Kabupaten Muara Enim dan adanya aspirasi yang berkembang di masyarakat yang memandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, ketersediaan sumberdaya alam, kemampuan ekonomi serta kemampuan sumber daya manusia di daerah Pali juga menjadi faktor penting pendorong ide pemekaran.

Pada tahun 2004, tokoh-tokoh masyarakat, putra-putri daerah kabupaten muara enim dalam zona Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) mulai memikirkan untuk memajukan daerah tanah kelahiran dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat. Proses panjang dilalui dan menghasilkan mufakat tokoh-tokoh pembentukan Forum Komunikasi Keluarga Besar Penukal Abab Lematang Ilir.

Perjuangan FKKB-PALI ini menjadi cikal-bakal berbagai proses perjuangan yang lebih intens mengenai ide pembentukan kabupaten baru. Mulai dari membentuk Presidium PALI, membentuk panitia kecil Kecamatan Talang Ubi sebagai pelaksana deklarasi presidium, membentuk Dewan Presidium Pembentukan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilur serta merumuskan dan mengkaji ulang wilayah eks pemerintahan marga.

Tentu saja upaya pembentukan Kabupaten PALI tidak mudah. Banyak hal pendukung yang harus disiapkan dan dibenahi. Banyak juga rintangan yang harus dihadapi seperti adanya moratorium presiden RI, masalah finansial, integritas anggota dewan presidium, jaringan informasi, komunikasi politik ke pemerintah pusat dan sebagainya. Namun dengan tekad yang bulat, semangat juang yang tinggi dan pantang menyerah dengan semboyan ‘sekali layar terkembang pantang putar haluan’ sampailah pada akhir perjuangan yang membuahkan hasil.

Dinamika dan pasang surut perjuangan dalam pembentukan Kabupaten PALI mendorong Seno dan anggota tim yang terdiri dari Zusneli Zubir, Erricsyah dan Firdaus Marbun untuk mengkaji lebih dalam mengenai proses pembentukan Kabupaten PALI. Apa yang melatarbelakangi perjuangan, usaha-usaha serta perkembangan yang sudah terjadi sejak berdirinya Kabupaten PAli menjadi pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini.

Dengan adanya kajian ini diharapkan ada dokumentasi sejarah yang valid mengenai proses pembentukan Kabupaten PALI. Selain itu bisa menjadi referensi dalam hal perjuangan dalam meningkatkan kesejahteraan suatu wilayah khususnya melalui pemekaran wilayah.

Orang Rejang di Taba Penanjung

0
Ajisman

Suku bangsa Rejang menurut Abdullah Sidik (1980, 21) sudah ada di Taba Penanjung sejak tahun 1961. Taba Penanjung sendiri merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Suku bangsa Rejang menempati beberapa desa seperti Taba Penanjung, Karang Tinggi, dan Desa Pematang Tiga. Umumnya mereka berbahasa Melayu Bengkulu dan Bahasa Indonesia.

Walau diduga Suku Rejang berasal dari Lebong, namun telah diakui sebagai penduduk asli karena memang merupakan suku paling dominan di Taba Penanjung. Orang Rejang di Taba Penanjung membentuk tradisi sesuai budaya yang diembannya dan berinteraksi dengan masyarakat lain.

Ajisman berencana mengkaji bagaimana hubungan sosial yang terbangun antara orang Rejang di Taba Penanjung dengan suku bangsa lainnya seperti Jawa, Sunda, Batak, Serawai dan Minangkabau. Satu hal yang menarik perhatian Ajisman dan tim mengenai hubungan tersebut adalah bahwa sejak Suku Rejang ada dan berinteraksi dengan pendatang tidak pernah ada konflik antar suku yang terjadi.

Bagaimana masyarakat yang multi etnis bisa meramu hubungan baik tersebut menjadi suatu pertanyaan penelitian yang layak untuk dikaji. Namun demikian, fokus kajian dalam hal ini adalah mengenai budaya Suku Rejang. Bagaimana Suku Rejang membangun hubungan dengan orang luar atau pendatang dan sejauh mana keberadaan Suku Rejang diakui Taba Penanjung.

Tim peneliti yang terdiri dari Ajisman, Refisrul, Hasanadi dan Silvia Devi mengambil batasan temporal pada 1961-2015. Penentuan batasan temporal ini berkaitan dengan migrasi yang terjadi pada 1961 ke daerah Bengkulu Tengah sementara proses itu masih berlangsung hingga sekarang.

Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi salah satu aspek sosial tentang keberadaan Suku Rejang di Bengkulu Tengah. Ini juga diharapkan memberi manfaat bagi pengambil kebijakan di Bengkulu Tengah dalam memberdayakan kehidupan sosial kemasyarakatannya.

Surat-surat Dayang Kuala

0
Hasanadi/Foto.Reza

Surat-surat Dayang Kuala (SSDK) merupakan naskah kuno koleksi museum Negeri Bengkulu. Naskah ini ditulis dengan bahasa daerah milik sukubangsa Serawai dengan aksara Ka-Ga-Nga di atas bilah bambu atau dalam istilah setempat disebut gelumpai. Naskah ini juga memuat pola hubungan antara mertua perempuan (Dayang Kuala) dengan menantu laki-lakinya. Seorang mertua menyiratkan harapan kepada menantu laki-lakinya karena pengalaman hidup yang dia alami sepanjang membesarkan putrinya.

Menurut Hasanadi, peneliti BPNB Sumatera Barat menyatakan bahwa naskah SSDK memiliki informasi penting terkait kearifan lokal (local wisdom) dalam konteks sistem kekerabatan masyarakat sukubangsa Serawai di Bengkulu Selatan. Dia juga menambahkan bahwa nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalam naskah SSDK penting untuk digali serta dijelaskan. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memahami serta menjadikannya sebagai perbandingan kehidupan kebudayaan di masa sekarang.

Sementara itu ada satu masalah yang dihadapi naskah beraksara ka-ga-nga dalam periode terakhir ini. Kuat dugaan bahwa aksara ka-ga-nga akan semakin hilang ketika masyarakat yang mampu membaca dan memahami semakin berkurang karena usia. Hal itu akan  menghambat keberlangsungan transformasi serta transmisi ilmu pengetahuan tentang naskah ka-ga-nga kepada masyarakat. jadi dengan adanya kajian ini akan menyediakan teks yang accessible, yaitu teks yang dapat dibaca serta diakses secara menyeluruh oleh masyarakat luas.

Di samping itu, masyarakat dan generasi muda Bengkulu perlu menemukenali nilai-nilai kearifan lokal (local Wisdom) masyarakatnya sebagaimana terdapat dalam teks naskah SSDK.

Tim yang dipimpin Hasanadi dan beranggotakan Ajisman dan Mutiara Al Husna melalui Kajian ini mencoba membuktikan kandungan pengetahuan dalam khasanah budaya lokal, terutama terkait pola hubungan mertua-menantu dalam sistem kekerabatan masyarakat Bengkulu Selatan. Bahwa sesungguhnya pengetahuan berbasis budaya lokal tersebut sangat mungkin masih relevan dengan kebutuhan masyarakat pada zaman sekarang.

Kajian ini akan dilangsungkan pada semester II tahun 2017 dengan tujuan mendeskripsikan bentuk dan isi teks naskah SSDK dan menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Bengkulu Selatan dalam naskah SSDK.

BPNB Sumatera Barat Mengkaji Tradisi Pengobatan dalam Naskah

0
Zusneli Zubir/Foto. Reza

Naskah kuno memang menjadi sumber pengetahuan yang tidak kalah penting. Itu merupakan perasan pengetahuan dan pengalaman praktek pada masa lampau ketika manusia berjuang untuk hidup dalam berbagai keterbatasan. Naskah kuno memuat berbagai aspek kehidupan manusia seperti tentang tata aturan hidup pada masa lalu. Mulai dari cara-cara bermasyarakat, kebudayaan, politik dan kehidupan sosial lainnya.

Salah satu yang diyakini terdapat dalam naskah kuno adalah tentang aspek-aspek kesehatan. Mulai dari jenis-jenis penyakit, cara pengobatan hingga ramuan obat-obatnya. Sebagaimana diketahui bahwa pengobatan tradisional sendiri diduga telah berkembang di nusantara sejak masa berburu dalam kurun prasejarah. Ketika manusia masih mengandalkan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhannya, manusia sudah mengenal pemanfaatan obat-obatan tradisional yang juga berasal dari alam untuk mengobati penyakit yang mereka derita.

Secara sederhana masyarakat pada masa lalu percaya bahwa penyakit yang muncul di tengah mereka merupakan akibat kutukan, melanggar aturan atau karena kerasukan roh jahat. Dalam proses penyembuhan, pemimpin kelompok bertugas untuk mengusir roh jahat yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ketika dia melakukan pengobatan, dia juga akan meramu dan memberikan obat-obatan kepada si sakit. Ramuan-ramuan ini berasal dari alam sekitar yang telah diuji secara praktek pada penyakit-penyakit sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut Zusneli Zubir bersama tim yang terdiri dari Ernatip dan Mutiara Al Husna, peneliti BPNB Sumatera Barat berniat untuk melakukan kajian tentang naskah khusus mengenai pengobatan tradisional. Dia menyatakan bahwa di Sumatera Barat terdapat banyak naskah kuno dan naskah kuno yang ada tersebut tidak hanya berbicara mengenai ramuan obat dan cara pengobatan tradisional, tetapi juga tentang sakit dalam kosmologi masyarakat Minangkabau. Walau demikian, keterangan terhadap pengobatan tradisional tidak selalu utuh ditemukan dalam satu naskah. Kebanyakan informasi tersebut tergabung dengan informasi lain seperti tasawuf, fikih dan lainnya.

Zusnelli juga menyatakan bahwa kajian tentang naskah yang memfokuskan pada pengobatan tradsiional belum ditemukan sehingga penting untuk melakukan kajian. Kajian ini sendiri akan dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Lima Puluh Kota diketahui merupakan salah satu sumber kekayaan intelektual tentang obat-obatan tradisional. Penelitian ini sendiri akan dilakukan pada Semester II tahun 2017. Diharapkan kajian ini akan menghasilkan satu referensi yang bernas mengenai pengobatan tradisional yang belum tergali lewat naskah kuno.

Mengkaji Tradisi Pertanian Masyarakat Basemah Lewat Naskah Kuno

0
Rois L. Arios

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tradisional tidak terlepas dari interaksi dengan sesama, alam dan tuhannya. Interaksi tersebut melahirkan berbagai banyak tata aturan, norma dan tradisi sebagai tuntunan panduan dalam menciptakan hubungan yang konsisten dan saling mendukung. Aturan-aturan, norma dan tradisi tersebut umumnya diciptakan dari perasan pengalaman sehari-hari.

Tata aturan, norma dan tradisi tersebut kemudian diwariskan turun temurun secara lisan dan tindakan. Khusus bagi masyarakat yang telah mengenal tulisan atau memiliki tulisan tersendiri, beberapa aturan tersebut dituliskan pada berbagai media dengan alat tulis yang beragam. Tulisan dalam berbagai media tersebut dikenal dengan istilah naskah/manuskrip atau prasasti.

Beberapa media tulis yang umum dijumpai adalah kulit kayu, daun lontar, rotan, bambu, tanduk kerbau dan kulit hewan. Tulisan yang menggunakan media tersebut disebut sebagai naskah (script/manuscript). Sedangkan tulisan di atas batu dan logam merupakan prasasti (inscription).

Rois L. Arios, peneliti di BPNB Sumatera Barat akan mengkaji tentang naskah kuno. Dia bersama timnya yang beranggotakan Refisrul dan Rahma Dona akan mengkaji tentang teks yang berkaitan dengan tradisi pertanian Basemah di Kabupaten Pagaralam. Alasan pemilihan Pagaralam karena menurutnya salah satu daerah sebaran surat ulu yang menyimpan banyak manuskrip adalah Kota Pagaralam Provinsi Sumatera Selatan.

“Di Kota Pagaralam ada beberapa manuskrip yang masih tersimpan antara lain berisi tentang sosial politik kemasyarakatan, tradisi pertanian, praktek kesehatan dan pengobatan, ilmu falak dan jaye talu atau kesuksesan dan kegagalan” jelas Rois

Selain itu, Rois juga menyatakan bahwa kajian naskah kuno ini akan fokus tentang manuskrip yang berkaitan dengan tradisi pertanian. Mulai dari pola tanam padi, mengusir hama dll. Hal ini penting mengingat bahwa sistem pertanian sekarang di Kota Pagaralam sudah jauh berbeda dengan masa lalu. Umumnya pertanian mereka sudah menggunakan peralatan modern yang lebih mengandalkan mesin baik dalam mengolah tanah dan mengusir hama. Hal ini tentu akan berakibat juga pada perubahan kondisi sosial budaya Basemah di Kota Pagaralam.

Lebih lanjut Rois ingin mengungkap keterkaitan antara perubahan sosial budaya Basemah di Kota Pagaralam dengan pola pertanian yang mereka kembangkan sekarang. Sehingga beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan Rois adalah selain mengungkap isi naskah tradisi pertanian, nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah juga akan mengungkap bagaimana isi naskah tersebut dijadikan sebagai referensi dalam mengembangkan pertanian sekarang.

Seringkali naskah kuno dianggap tidak penting di era modern tanpa mencoba menggali lebih dalam nilai-nilai yang mungkin saja relevan dengan kondisi sekarang. Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat terkait pengungkapan kearifan lokal Basemah dan juga dapat menyumbang pemikiran dalam perumusan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

Kajian ini sendiri akan berlangsung selama semester II tahun 2017 dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka, wawancara mendalam dan observasi. Penelitian akan dilaksanakan di Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan.

BPNB Sumatera Barat Adakan Seminar Proposal Kajian

0
Seminar proposal/Foto. Reza

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat mengadakan seminar proposal kajian sejarah dan budaya. Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu, 12 Juli 2017 di Ruang Sidang BPNB Sumatera Barat. Seluruh fungsional peneliti terlibat baik sebagai ketua maupun anggota mempresentasikan 11 proposal kajian. Ke 11 proposal kajian tersebut terbagi ke dalam kajian naskah kuno, kajian sejarah dan budaya serta kearifan tradisional.

Seminar proposal/Foto. Reza

Seminar proposal kajian ini dibuka pada pukul 08.30 wib, secara resmi dibuka dan ditutup oleh kepala BPNB Sumatera Barat Suarman.  Turut hadir sebagai narasumber tiga orang akademisi yang kompeten di bidangnya masing-masing. Ke tiga orang tersebut terdiri dari Dr. Pramono, M.Si, Dr. M. Nur, M.S, serta Dr. Zainal Arifin, M.Hum. Panitia juga mengundang peserta dari berbagai kampus yang berhubungan dengan tema-tema kajian untuk aktif memberikan saran dan masukan untuk semakin berkualitasnya proposal penelitian tersebut.

Seminar proposal/Foto. Reza

Kepala BPNB Sumatera Barat Suarman pada saat membuka acara menyampaikan bahwa kajian harus menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan pelestarian budaya. Dalam hal itu BPNB Sumatera Barat khususnya melalui fungsional peneliti harus mampu menghasilkan penelitian yang berkualitas dan berkontribusi dalam memberi rekomendasi solusi pelestarian budaya.

“sesungguhnya pelestarian budaya harus diawali kajian ilmiah karena merupakan dasar kebijakan strategis dalam pelestarian. BPNB Sumatera Barat dalam kajiannya harus memberikan kontribusi pada pembangunan dengan memberikan rekomendasi atas hasil penelitian mereka” jelas Suarman.

Suarman menambahkan bahwa hasil penelitian ke depan tidak lagi ditumpuk dalam perpustakaan tapi akan disebarluaskan ke khalayak masyarakat untuk bisa dibaca dan dipahami.

“Untuk itu setiap hasil-hasil penelitian nantinya harus informatif dan bernas. Kita juga selalu berupaya untuk meningkatkan mutu penelitian” harapnya.

Seminar proposal/Foto. Reza

Seminar berlangsung dalam tiga sesi. Satu sesi menyajikan tiga proposal. Selama seminar berlangsung terdapat banyak masukan dari peserta khususnya dari narasumber. Itu diakui Suarman dalam pernyataannya ketika menutup acara yang antara lain menyampaikan bahwa pencerahan luar biasa bahwa penelitian sesunggunya tidak rumit tapi sederhana yakni untuk mencari ‘apa’ dan ‘mengapa’. Semoga dengan adanya sumbang saran penelitian yang akan dilakukan juga lebih berkualitas dan bermanfaat.

‘Rumah Gadang’ dan ‘Rendang’ Menjadi ‘Magnet’ Pameran BPNB Sumbar

0
Pengunjung sedang asyik membaca buku Mahakarya Rumah Gadang, Foto. Budi

Padang – Buku ‘Mahakarya Rumah Gadang’ dan buku ‘Rendang’ menjadi ‘magnet’ yang cukup menarik perhatian pengunjung dalam Pameran Sejarah dan Budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat di Nagari Sumpur. Banyak orang yang mencari sekaligus ingin memiliki buku tersebut baik dari tingkat mahasiswa hingga orang tua dan tokoh masyarakat. Mereka beralasan bahwa buku tersebut sangat penting sebagai sumber ilmu yang menggambarkan kekayaan intelektual masyarakat Minangkabau.

Dihubungi terpisah, ketua panitia pameran BPNB Sumbar Agustinawarni menyatakan bahwa buku yang berjudul rumah gadang dan rendang sangat banyak dicari pengunjung.

‘kebanyakan pengunjung mencari buku rumah gadang dan rendang, dari yang tua hingga mahasiswa, kalau bisa kantor kita mencetak ulang buku tersebut’ demikian harapnyanya.

Pengunjung pameran, Foto. Dok. Tim

Pameran Sejarah dan Budaya ini dilaksanakan sebagai bentuk partisipasi BPNB Sumatera Barat dalam acara Festival Danau Singkarak 2017. Festival ini digelar oleh pemerintah Kabupaten Tanah Datar dengan tema ‘Pesona Sumpur’ dan ditempatkan di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan. Nagari Sumpur juga dikenal dengan nagari rumah gadang. Hal ini karena hingga saat ini masih banyak rumah gadang yang masih bertahan dan terpelihara. Festival dilaksanakan pada 1–2 Juli 2017 dengan berbagai rangkaian acara seperti pagelaran seni budaya, pacu biduak, dekorasi biduak, lomba manjalo, pawai perahu, silat dalam air, lomba kuliner serta loma fotografi.

Anggota DPR Betty Shadiq Pasadigoe, sedang mengisi buku tamu pameran, Foto. Budi

Acara yang diadakan di tepi danau singkarak ini dibuka secara langsung oleh Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi. Turut hadir dalam acara tersebut anggota DPR RI Betty Shadiq Pasadigoe, anggota DPRD dan banyak kalangan dari mahasiswa, akademisi, pemerintah daerah, serta tokoh masyarakat.

Pameran merupakan salah satu media yang dimanfaatkan BPNB Sumatera Barat untuk mensosialisasikan hasil-hasil kajian, inventarisasi dan perekaman mengenai aspek-aspek sejarah dan budaya. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPNB Sumatera Barat telah menerbitkan banyak buku dan memproduksi film-film dokumenter tentang aspek-aspek sejarah dan budaya tersebut. Berbagai fokus kajiannya antara lain kuliner, arsitektur, kain dan pakaian tradisional, permainan tradisional, kesenian, tradisi dan sebagainya.

Pengunjung pameran, Foto. Dok. Tim

Buku berjudul ‘Mahakarya Rumah Gadang’ yang ditulis oleh Hasanadi, SS dkk, terbit pada tahun 2012 dan ‘Rendang’ yang ditulis oleh Hariadi, dkk, juga terbit tahun 2012 merupakan sebagian kecil dari hasil kajian BPNB Sumatera Barat. Salah satu yang mungkin menarik dari Buku ‘Mahakarya Rumah Gadang’ tersebut adalah penelitiannya diadakan di Nagari Sumpur, sehingga berkaitan erat dengan tema festival yaitu Pesona Sumpur.

Wisata Halal; Potensi dan Tantangan*

0
Efrianto

Penulis : Efrianto, peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Sumatera Barat mengukuhkan diri sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia 2016 di ajang World Halal Tourism Award 2016 setelah menjadi pemenang di kategori World’s Best Halal Culinary Destination dan World’s Best Halal Destination. Penetapan ini sesungguhnya mendatangkan energi tambahan bagi pemerintah, masyarakat dan seluruh stekholder untuk membangun kesadaran bahwa pariwisata di Sumatera Barat sudah saatnya untuk bangkit dan sejajar dengan daerah lain di Indonesia.

Berbicara dalam konteks potensi, hampir seluruh orang mengakui bahwa Sumatera Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki nilai jual lebih. Ditinjau dari aspek keindahan alam, banyak daerah-daerah yang layak untuk dijual seperti keindahan danau kembar di Kabupaten Solok yang sepanjang jalan dari Kota Padang menunjuk ke lokasi wisatawan akan  disungguhkan jalan berliku dan keindahan perkebunan teh dengan suhu udara yang sejuk. Beranjak ke daerah Tanah Datar, ada sebuah nagari yan telah diakui juga oleh dunia sebagai salah satu nagari terindah di dunia. Sebagai orang yang hidup dan besar di Sumatera Barat, banyak tempat daerah yang bisa diceritakan dan digambarkan tentang keindahan dan keelokan alamnya yang bisa dijadikan komoditi wisata.

Di lihat dari aspek sejarah dan budaya Sumatera Barat juga dianugrahkan oleh sang pencipta sebagai kawasan yang di pernah diami oleh orang-orang yang kreaktif dan inovatif di zamannya. Hasil karya merekalah yang sampai hari ini masih bisa dinikmati sebagai sebuah kekayaan budaya yang dibanggakan. Keindahan rumah gadang yang penuh dengan ukiran serta antraksi kesenian randai yang kaya dengan keindahan gerak merupakan bagian kecil dari kekayaan budaya yang bisa dikemas dan di jual kepada wisatawan.

Sejujurnya semua orang mengakui bahwa Sumatera Barat, bukanlah daerah yang kaya akan sumber daya alam yang bisa diekspoltasi untuk meningkatan taraf kehidupan masyarakatnya. Selama ini salah satu sumber utama yang menopang kehidupan ekonomi masyarakatnya adalah hubungan baik antara orang di kampung dengan masyarakat di rantau. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa rantau tidak lagi “sehat” untuk dijadikan sumber penopang kehidupan masyarakat di Sumatera Barat.

Dalam konteks itulah sudah saatnya semua elemen masyarakat yang ada di Sumatera Barat mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki untuk dijadikan sumber pendapatan yang akan meningkatkan taraf hidupnya. Keindahan alam, kekayaan sejarah dan budaya serta berbagai pengakuian dari dunia luar yang menyatakan bawah Sumatera Barat menarik untuk dikunjungi merupakan titik awal yang bisa dikembangkan untuk memajukan dunia Pariwisata di Sumatera Barat.

Problem mendasar yang dihadapi dalam pengembangan dunia wisata Sumatera Barat adalah  belum diciptakan pola yang baik tentang dunia pariwisata di Sumatera Barat. Hal ini terlihat belum munculnya ikon-ikon pariwisata dari masing-masing kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Secara budaya kabupaten dan kota di Sumatera Barat (kecuali mentawai) memiliki kekayaan budaya yang hampir sama. Namun pemerintah Propinsi harus mendorong masing-masing kota dan kabupaten membuat ikon-ikon tersendiri yang nanti bisa mereka jual dan promosikan kepada para wisatawan baik lokal dan internasional.

Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatkan kualitas layanan dan akomodasi pariwisata. Pelayanan yang baik dan ramah akan membuat wisatawan menjadi senang dan bukan tidak mungkin mereka akan datang berkunjung lagi. Sudah saatnya cerita lama tentang buruknya kwalitas layanan dan fasilitas penunjang ketika berada di destinasi wisata harus tidak lagi menghiasi pemberitaan, kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor yang menghambat kemajuan dunia pariwisata di Sumatera Barat.

Stakeholder dan pihak-pihak terkait harus membangun sebuah konsep yang jelas untuk menghubungkan pola prilaku wisatawan dengan adat dan budaya Sumatera Barat. Di sisi adat dan budaya sulit bagi orang di Sumatera Barat membayangkan daerah mereka berkembang seperti Pulau Bali, yang berkembang menjadi daerah yang “bebas” bagi wisatawan untuk menjalankan tradisi dan kebiasan mereka di negara asal. Dalam pengamatan penulis konsep yang menghubungkan antara adat dan budaya Sumatera Barat dengan “prilaku” wisatawan belum teraktualisasikan dengan baik. Dalam konteks itulah pentingnya ikon pariwisata masing-masing kabupaten dan kota diciptakan setelah itu baru dilanjutkan dengan memberikan nuansa adat dan budaya pada masing-masing ikon tersebut diperkuat dan diperjelas.

Kebijakan pemerintah propinsi mengarahkan dunia pariwisata di Sumatera Barat ditujukan ke dunia Islam merupakan sebuah kebijakan yang cukup tepat, sebab adat dan budaya yang terdapat di Sumatera Barat secara teori lebih bisa menerima wisatawan yang berasal dari negara Islam. Di samping itu wisatawan muslim tentu saja lebih bisa menerima dan mengikuti aturan yang sesuai dengan agama mereka. Semua pelaku wisata mengakui bahwa sifat dasar dari wisatawan adalah mencari hal yang baru yang berbeda dari yang mereka rasakan, namun tidak semua wisatawan bisa melupakan dan meninggalkan  tradisi dan kebiasaan mereka di negara asal ketika mereka berada di daerah. Di sinilah titik persoalan yang mesti dicarikan solusi untuk mengatasinya sehingga antara adat dan budaya serta prilaku wisatawan bisa saling menerima dan tidak bertolak belakang. Akhirnya semua masyarakat berharap potensi alam, sejarah dan budaya yang dimiliki Sumatera Barat mampu mendatangkan manfaat yang lebih optimal bagi kehidupan masyarakat di kawasan ini.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada 18 Juni 2017

Patomuan; Perkampungan Tua di Pasaman*

0
Hariadi

Penulis : Hariadi, peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Basah, awas camera!  terdengar teriakan disela deru air hulu sungai Kampar yang sangat bening. Perahu yang kami tumpangi membelah derasnya air di sela-sela batu batu besar yang terkadang membuat air mengamuk melompat, masuk perahu yang kami tumpangi. Pakaian dan wajah kami di sembur air sungai  bening yang menyejukkan.  Perjalanan menaiki perahu kami mulai dari Muaro Sungai Lolo sebuah nagari di Kabupaten Pasaman, yang merupakan daerah administrasi kecamatan Mapattunggul Selatan. Informasi yang kami terima dari Bapak Yozawardi Sekretaris Dinas Kehutanan Sumatera Barat,  mobil baru bisa sampai ke Muaro Sungai Lolo sekitar lima tahun belakangan.

Nagari Patomuan, Foto. Hariadi

Perjalanan kami kali ini adalah  perjalanan survey penelitian sejarah dan budaya ke perkampungan tua di tengah hutan lindung Pasaman. Perjalanan hanya bisa di tempuh dengan jalan kaki atau menaiki perahu.  Tim memilih untuk menyewa perahu, karena  di sini tidak tersedia perahu yang bisa ditumpangi setiap waktu. Anggota tim  terdiri dari Hariadi, Seno, Yulisman, dan Sivia Devi dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dan Idil Fitrianto dari Dinas kehutanan  Sumatera Barat.

Perjalanan dimulai dengan mengiliri Sungai Lolo, air sungai ini tampak kuning pertanda banyaknya aktivitas masyarakat di dihulunya. Beberapa menit berlayar perahu yang kami tumpangi berbelok arah kekanan, kami memasuki aliran hulu sungai Kampar yang deras, bening dan berbatu. Nahkoda perahu nampak bekerja keras mengarahkan perahu menuju hulu, nahkoda bagian belakang memainkan gas mesin tempel berkekuatan kecil sedangkan nahkoda bagian depan dengan sigap memainkan galah untuk memastikan kapal tidak menabrak batu-batu besar yang bertebaran di sungai.

Sepanjang perjalanan rasa takjub terhadap ciptaan yang maha kuasa menghiasi jiwa.  Pemandangan alam yang amat menakjubkan. diawal pelayaran kami saksikan pondok-pondok kebun masyarakat dan dapur untuk penyulingan nilam. Daun nilam yang akan disuling dijemur di bebatuan dipinggir sungai. Semakin jauh menyusuri hulu sungai suara alam semakin mendominasi, desiran air,kicauan burung dan bunyi binatang hutan lainnya saling bersahutan.

Perjalanan kami cukup beruntung, di pohon pohon rindang di tepi sungai kami menyalksikan berbagai jenis burung warna warni, seperti murai batu, burung Elang dan jenis lainnya yang tidak kami tahu namanya. Di atas bebatuan, beberapa kali kami saksikan biawak ukuran sedang sedang berjemur menikmati cahaya sang surya. Yang tidak kalah menyejukkannya adalah menyaksikan belasan air terjun didinding tebing sungai, ada yang tunggal bahkan ada juga yang bertingkat. Pemandangan yang juga tidak kalah menariknya adalah berbagai jenis dan warna warni kupu-kupu dapat kita jumpai terbang berkelompok di sepanjang aliran sungai.

Beberapa kali kami harus melewati sungai yang berbelok tajam dengan pusaran air cukup deras. Saat seperti inilah kami melihat kesigapan dua orang nahkoda dalam mengendalikan perahu agar tidak terbalik dihantam derasnya air, beberapa kali nahkoda bagian depan   harus bolak-balik kebagian belakang untuk menstabilkan lajunya perahu.

Satu setengah jam kami berlayar ke hulu sungai Kampar, dari kejauhan terlihat jembatan gantung yang menghubungkan dua pemukiman yang dipisahkan oleh sungai, itu lah tempat yang kami tuju, Jorong Patomuan, sebuah perkampungan tua di tengah hutan Lindung Pasaman.

Melihat ada perahu yang datang anak anak seusia TK (Taman Kanak-Kanak) dan SD (Sekolah Dasar), berdatangan ke pelabuhan, sebagian mereka berusaha membantu mengangkat barang yang bisa mereka angkat, nampak sekali rasa kebersamaan dan saling tolong menolong walaupun mereka masih kecil-kecil. Sesuatu yang mereka dapatkan dari kehidupan bersahaja di perkampungan yang belum banyak terpengaruh arus informasi dan modernisasi.

Turun dari sampan, mendaki puluhan anak tangga, sampailah kami di pemukiman.  Pemukiman cenderung menanjak, berdasarkan informasi yang diperoleh perkampungan ini dihuni sekitar 150 kepala keluarga.  Di tengah pemukiman kita disuguhkan pemandangan yang menakjubkan, sekaligus menyedihkan. Belasan rumah adat Minangkabau berukiran masih berdiri memperagakan kerapuhan dan kereotan. Rumah-rumah tersebut diperkirakan berusia ratusan tahun sedang menunggu saat akan roboh bila tidak segera diperbaiki. Dt Bagindo Bosa, pemuka adat di Patomuan mengatakan,  rumah gadang sudah banyak yang runtuh dimakan usia dan digantikan dengan rumah semi permanen.

Rumah gadang yang  ada dimiliki oleh lima suku  yaitu suku Pitopang Dt Bagindo Bosa, Suku Pitopang Dt Bagindo Jelo, Suku Pitopang Dt Panglimo Rajo, Suku Caniago Dt Bagindo Sutan dan Suku Piliang. Masing masing suku yang ada memfungsikan rumah gadang untuk pertemuan dan musyawarah suku, pengangkatan pengulu suku, dan kegiatan adat lainnya.

Berdasarkan informasi dari pemuka adat di patomuan  nenek moyang masyarakat Patomuan berasal dari Pagaruyung, melalui dan kapan mereka sampai di Patomuan ini belum didapatkan waktu pastinya. Menurut pemuka adat Patomuan, berdasarkan tutua nan bajawek bahwa daerah Patomun ini lebih dulu didiami dibandingkan daerah Lubuk Sikaping, lebih lanjut dijelaskan bahwa penduduk di daerah Jambak Lubuk Sikaping dulunya berasal dari Patomuan.

Sebagai nagari yang sudah lama didiami masyarakat Patomuan mempunyai adat tradisi salingka nagari yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya seperti tardisi mandian Mamak  sebelum memasuki puasa. Dalam pelaksanaan tradisi ini, tapian pemandian perempuan  terpisah dari laki-laki.  Tradisi ini dilaksanakan sebelum matahari tenggelam di akhir bulan sya’ban.  Mamak atau penghulu suku datang ke pemandian dengan pakaian kebesarannya sebagai penghulu, sesampai di tepian pakaian diganti dan dilakanakan tradisi mamandikan mamak oleh kemenakan dengan air limau. Prosesi ini berlangsung sampai mata hari terbenam. Mamak yang dimandikan kembali mengenakan pakaian kebesarannya, berwuduk dan langsung menuju masjid untuk melaksanakan shalat magrib, isya tarawih.

Masyarakat Patomuan juga melaksanakan tarawih adat.  Delapan belas hari semenjak awal ramadhan setiap malam secara bergantian penghulu dan petugas syarak  menjadi penanggung jawab pelaksanaan tarwih, dan setelah tarwih para jamaah dibawa ke rumah untuk dihidangkan berbagai makanan. Apa yang dipaparkan di atas baru sekelumit tetang eksotis alam dan kekayaan budaya yang dimiliki patomuan, sebuah nagari yang oleh Bapak Yozawardi, dipopulerkan  sebagai nagari” tambah ongkos seribu, sampai kelangit. Hal itu karena begitu sulit dan beratnya medan yang dilalui beberapa tahun yang lalu.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada April 2017

Tradisi Potang Balimau di Pangkalan*

0
Silvia Devi

Penulis : Silvia Devi, peneliti di BPNB Sumatera Barat

Banyak cara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, salah satu yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau yakni balimau. Masyarakat Pangkalan Limopuluah Kota menyebutnya dengan potang balimau.

Kegiatan ini sudah merupakan tradisi turun temurun dalam “menyucikan diri” yang dilakukan oleh anak nagari disepanjang aliran sungai Batang Maek Kecamatan Pangkalan Koto Baru di Kabupaten Limapuluh Kota. Tradisi menyambut bulan suci Ramadhan ini dilaksanakan sesuadah shalat Zhuhur. Selain untuk mensucikan diri, sekaligus sebagai tempat bersilaturahmi antar anak nagari di kampung halaman maupun dari perantauan. Setelah selesai, pada sore harinya para pengunjung pulang ke rumah masing-masing untuk mandi balimau dengan ramuan khusus yang dipersiapkan oleh kaum perempuan di Pangkalan.

Tradisi ini walau masih banyak yang pro dan kontra dalam pelaksanaanya, akan tetapi sampai sekarang tetap dilestarikan oleh anak nagari. Kegiatan ini dianggap sebagai sebuah ajang bersilaturahmi bagi masyarakat Pangkalan Koto Baru, yang selain itu juga merupakan sebuah momen dalam upaya mengenang sejarah kejayaan para saudagar dari Pangkalan Koto Baru. saudagar-saudagar pada waktu itu (konon sekitar tahun 1800an)  membeli dua mimbar masjid, yang satu dibawa ke kampung untuk membangun masjid di Muaro, dan yang satu lagi diarak beramai-ramai ke Mesjid Raya Pasar Bawah di Pekanbaru yang merupakan lokasi pemukiman saudagar dari Pangkalan. Cerita tersebut sampai sekarang masih diceritakan kepada anak cucu. Selain itu untuk mengenang dari sejarah tersebut maka dilestarikanlah tradisi potang balimau yang diselenggarakan menyambut bulan Ramadhan tersebut.

Mesjid Raya Pangkaan Koto Baru terletak di tepi jalan raya Sumatera Barat   Riau yang merupakan mesjid kebanggan bagi masyarakat Pangkalan Koto Baru karena di areal mesjid inilah pusat kegitan prosesi potang balimau diselenggarakan di tiap tahunnya.

Potang balimau merupakan tradisi turun temurun untuk mensucikan diri bagi anak nagari di sepanjang sepanjang aliran sungai Batang Maek Kecamatan Pangkalan Koto Baru. Potong balimau terdiri dari dua kata yang diambil dari bahasa Minangkabau dengan dialek Pangkalan, yakni potang yang memiiki arti petang atau senja hari, dan balimau yakni sebuah kegiatan membersihkan diri dengan menggunakan perasan air jeruk nipis dicampur dengan bunga rampai yang beraroma khas.

Jadi, potang balimau adalah suatu kegiatan mensucikan diri dengan menyiramkan tubuh dengan  perasan air jeruk nipis bercampur bunga rampai beraroma khas yang pelaksanaannya dilakukan di sore hari. Tradisi menyambut bulan suci Ramdhan ini, dilaksanakan sesudah shalat Zuhur dan berakhir sore hari menjelang shalat Magrib tiba.

Tradisi potang balimau masih tetap saja ada kontroversi dalam pelaksanaannya, tetapi tetap saja diyakini masyarakat bahwa kegiatan ini memiliki makna. Salah satu maknanya adalah selain untuk mensucikan diri, sekaligus juga sebagai tempat silaturahmi. Silaturahmi diantara anak nagari di kampung halaman maupun dari perantauan sebelum pelaksanaan puasa Ramadhan dimulai.

Konon kabarnya, sekitar tahun 1800-an masyarakat yang tinggal di sekitar Pangakalan Koto Baru, sudah termasyur sebagai saudagar sukses. Bahkan ada yang berniaga sampai ke Sambas, propinsi Kalimantan Barat.

Tatkala berniaga ke Sambas, saudagar-saudagar dari Pangkalan Koto Baru, yakni seorang alim-ulama dan cerdik pandai dari Pangkalan, membeli dua buah mimbar mesjid. Penyebutan mimbar pada dialek masyarakat Pangkalan adalah mimbau. Satu mimbau dibawa ke kampung halaman, guna membangun mesjid di kawasan bernama Muaro. Sedangkan mumbau yang satu lagi, diarak ke Mesjid Raya Pasar Bawah Pekanbaru, tempat dimana saudagar asal Pangkalan banyak bermukim.

Ketika para saudagar membawa mimbau dari Sambas menuju Pangkalan, melewati Nagari Taratak Buluah. Masyarakat Pangkalan yang sibuk membangun mesjid, sedang bersiap-siap menyambut datangnya bulan puasa. Makanya, begitu mendengar ada dua buah mimbau yang dibawa, mereka langsung berduyun-duyun menantinya di pinggir Batang Maek.

Oleh karena itulah warga Pangkalan Koto Baru selalu melaksanakan kegiatan potang balimau sebagai cara mengenang sejarah panjang tersebut. Dalam memeriahkan acara potang balimau diselenggarakan juga pertandingan mimbau/sampan hias baik berbentuk mimbar, kubah mesjid atau rumah adat.

Untuk memeriahkan kegiatan potang balimau biasanya terdapat tim kesenian yang mengiringi perjalanan mimbau di aliran Batang Maek. Mereka duduk di dalam mimbau tersebut sambil memainkan alat keseniannya.Sebelum itu nampak dari tim kesenian tersebut berlatih bersama-sama dengan para samuji sambil bersenda gurau. Ini adalah bagian persiapan yang dilakukan oleh samuji dari jorong Koto Panjang.

 Rangkaian kegiatan

Kegiatan potang balimau dimeriahkan dengan pertandingan membuat mimbau antar jorong. Masing-masing jorong mempersiapkan mimbau yang akan dipertandingkan tersebut (sepuluh) 10 hari menjelang hari pelaksanaan. Mereka melakukannya dengan cara bergotong royong.

Dari pembuatan kerangka mimbau sampai memberi pakaian dilakukan secara bersama-sama. Biasanya, proses pembuatan kerangka dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara pada saat menghias dan memberi pakaian dilakukan secara bersama-sama baik laki-laki dan perempuan, dari yang muda sampai yang tua berbaur menjadi satu. Mereka bersama-sama membuat mimbau dari daerah mereka menjadi yang paling bagus. Mimbau atau sampan hias di jorong Koto Panjang dibuat menyerupai bentuk rumah adat. Kerangka mimbau berbahan dasar kayu dan bambu yang dibuat di darat kemudian diteruskan penyelesaiannya di atas sampan di tepi sungai.

Biaya untuk membuat mimbau lumayan besar berkisar 6 sampai 8 juta. Dana tersebut didapat dari donatur dan sponsor serta sumbangan masyarakat dari kampung juga perantauan. Biaya yang dikeluarkan tergantung dengan besar kecilnya biaya bahan yang dibuat untuk sebuah mimbau.

Tak berbeda dengan mimbau di jorong Koto Panjang. Bahan dasar untuk membuat mimbau di Lubuk Nago pun berbahan dasar kayu dan bambu, yang dibuat sedemikian rupa, agar terlihat bagus dan menarik. Mimbau di jorong Lubuak Nago dibuat sebanyak dua buah yakni satu menyerupai rumah adat, dan yang satu lagi menyerupai mimbar berukuran kecil.

Setelah kerangka mimbau siap dibuat di darat, maka untuk menyelesaikan hiasan mimbau dilaksanakan di atas sampan di tepi sungai. Para samuji bersama-sama membawa kerangka mimbau ke atas sampan di tepi sungai. Dengan sebagian pemuda lain yang menahan sampan agar kedudukan mimbau menjadi seimbang. Setelah itu barulah kaum perempuan dibantu kaum laki-laki yang lainnya untuk menyelesaikan mimbau mereka dengan memberikan pakaian dan hiasan-hiasan pelaminan. Tak lupa setiap masing-masing mimbau dilengkapi dengan seperangkat alat musik tradisional yakni musik talempong dan gondang boguang.

Setelah mimbau siap berpakaian maka para samuji bersama-sama menarik mimbau ini dari tepi sungai ke tengah aliran sungai yang dalam agar mimbau mudah diarak sampai lokasi utama yakni dekat masjid Raya Pangkalan Baru. Selama mimbau diarak di sungai, bunyi-bunyian alat musik ini terus mengiringi perjalanan mimbau dari jorong masing-masing melewati airan Batang Maek. Selama mimbau diarak itu pula banyak anak-anak yang mandi-mandi di aliran Batang Maek sambil bersenda gurau dan menolong samuji mearak mimbaunya.

Sesampainya mimbau dari jorong Koto Panjang, sudah banyak masyarakat yang menanti di lokasi utama kegiatan yakni dekat Mesjid Raya Pangkalan Koto Baru. Tampak dari kejauahan keramaian tersebut membentuk lautan manusia. Mereka sangat antusias melaksanakan acara potang balimau ini.

Kegiatan potang balimau yang sudah mentradisi ini memang selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat Pangkalan Koto Baru khususnya baik dari kampung maupun yang dari perantauan. Bisa dikatakan acara ini adalah alek nagari masyarakat Pangkalan, sehingga mereka yang diperantauan berbondong-bondong pulang ke kampung untuk memeriahkan acara ini sekaligus mereka bersilaturahmi.

Yang hadir pada acara potang balimau ini adalah Pitopang ampek ninik, mamak nan limo suku, penghulu nan duobaleh, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, pemuda, masyarakat di Pangkalan maupun di perantauan, serta Bupati Limopuluh kota serta instansi terkait dan di setiap tahunnya dihadiri oleh beberapa mentri RI.

Prosesi balimau bakasai ditandai dengan penyiraman air balimau yang terdiri dari perasan air balimau yang terdiri dari perasan air jeruk nipis yang dicampur dengan bunga rampai kemudian bakasai yakni bedak beras yang dicampur dengan air perasan jeruk nipis. Bahan balimau bakasai ini kemudian dipasangkan kepada dua orang anak nagari sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat Pangkalan yang melaksanakan  tradisi balimau. Ini menandakan tradisi potang balimau telah dibuka oleh salah satu mentri yang hadir yang pelaksanaanya dipandu oleh bundo kanduang dan diawali dengan membaca doa ambil air wudhu.

Sungai Mek pada saat acara potang balimau ini menjadi lautan manusia. Selain pertandingan mimbau hias ada juga pacu sampan yang diikuti oleh para pemuda dan juga orangtua. Mereka sangat bersemangat demi memeriahkan acara potang balimau yang diselenggarakan satu kali dalam setahun menyambut bulan suci Ramadhan.

Pada masa lalu pacu sampan dilaksanakan selain untuk memeriahkan acara, mereka yang menang juga mendapatkan hadiah. Hadiah yang diperoleh adalah minyak tanah sebanyak satu kaleng. Kemudian minyak tanah tersebut diwakafkan ke surau-surau. Ini mencerminkan dekatnya hubungan masyarakat Pangkalan dengan Allah sebagai sang Pencipta. Pada saat sekarang ini pacu sampan tetap dilaksanakan, tetapi yang menang tidak lagi diberi hadiah. Semua diikuti untuk menambah kemeriahan acara potang balimau ini.

Kegiatan potang balimau di Pangkalan Koto Baru ini diharapkan terus dapat ditingkatkan pelaksanaanya. Bahkan kalau mungkin pemerintah bisa memasukkannya ke dalam event nasional. Selain itu kegiatan ini banyak mengandung makna di dalamnya, karena selain untuk ajang bersilaturahmi, juga merupakan sebuah kegembiraan mempersiapkan diri dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Diketahui bahwa Allah sangat mencintai hamba-hambanya yang menyambut dengan riang datangnya bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh ampunan dan magfirah di dalamnya. Acara potang balimau biasanya diakhiri menjelang magrib. Para pengunjung pulang ke rumah masing-masing kemudian mandi balimau dan bakasai di rumah masing-masing sambil mempersiapkan diri untuk melaksanakan tarawih pertamanya di bulan Ramadhan.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada 11 Juni 2017