Beranda blog Halaman 11

Rajo Adil Disambah, Rajo Zalim Disanggah

0

Bagaimana ketentuan seorang pemimpin dalam adat Minangkabau ?. Orang yang dijadikan pemimpin itu tidaklah pula boleh sembarang orang. Untuk jadi pemimpin seseorang harus memahami syarat-syarat tertentu pula. Pemimpin itu harus tunduk pada alur dan patut (alua jo patuik) dan tidaklah boleh pemimpin itu melakukan kewajibannya sewenang-wenang saja. Malahan secara adat memfatwakan bahwa rajo adil disambah, rajo zalim disanggah. Dari sini nyatalah bahwa pemimpin itu setelah diangkat dapat didaulat dan disanggah.

Bukan itu saja seorang pemimpin menurut adat Minangkabau harus beralam lapang, yaitu berjiwa besar, sebab pemimpin itu adalah pusat jala timbunan kapal, yaitu banyak dan bercorak ragam soal yang dihadapkan padanya yang akan dipecahkan. Tidak ada tempat bagi seorang dictator atau raka absolut-raja mutlak dalam memimpin.

Seorang pemimpin itu harus ditanam oleh rakyat dan sesudah seorang menjadi pemimpin dia harus tunduk pada alur dan patut . Rakyatlah yang akan menentukan alur dan patut itu dan selanjutnya dalam hal ini dalam tangan rakyat berada kekuasaan untuk bertindak terhadap pemimpin itu sebab pemimpin yang demikian itu dapat disanggah dan didaulat.

Dalam proses memimpin seorang pemimpin haruslah merujuk kepada kata mufakat. Mufakat yang dikehendaki disini bukanlah mufakat asal mufakat saja. Mufakat yang harus memenuhi syarat yaitu mufakat harus beraja yaitu tunduk dan berdasarkan pada alur dan patut tadi. Mufakat yang tidak berdasarkan alur dan patut tersebut adalah mufakat yang hampa.

Sejalan dengan itu disini letaknya kebenaran. Kebenaran adalah kata sepakat, kata seiya yang artinya terciptanya persamaan pendapat tanpa ada bantahan dari anggota masyarakat. Yang raja kata mufakat,artinya adalah bahwa yang berkuasa ialah hasil musyawarah, hasil mufakat dari segenap anggota masyarakat. Kemudian setiap anggota masyarakat itu dalam berbuat dan bertindak tidak boleh bertentangan dengan kehendak dan keinginan anggota lainnya, haruslah seiya sekata, sehilir semudik. Muaranya akan terciptalah suasana aman, damai dan tenteram dalam masyarakat.

Di samping itu, bila menjadi seorang penguasa atau seorang raja janganlah berbuat dan bertindak menyimpang dari hasil mufakat atau musyawarah yang telah disepakati bersama. Raja hanya boleh menjalankan hasil musyawarah tidak diizinkan menyimpang dari hasil mufakat bila hal ini terlaksana dan berjalan dengan baik maka suasana rukun dan damai akan tercipta dalam kehidupan rakyat yang dipimpinnya.

Pimpinan itu mempunyai hirarki dan yang tertinggi, yaitu apa yang dinamakan saiyo sakato. Makna yang dikandung dalam istilah saiyo itu disebut baiyo-iyo (beriya-iya =berya-ya) dengan pasangannya batido-tido (bertidak-tidak) atau babukan-bukan (berbukan-bukan), yang lazim diucapkan, baiyo-iyo, batido-tido. Artinya, bermufakat dengan sungguh-sungguh, bukan asal mufakat, bukan mengiya-iya atau menyatakan persetujuan segala apa yang diputuskan pimpinan mereka. Mamangan menyebut dengan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, penghulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka alua jo patuik (kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke alur dan patut (Navis, 1984 : 77).

Lebih lanjut Navis (1984 : 77) menjelaskan bahwa maksud dari mamang itu ialah bahwa pimpinan kemenakan adalah mamak, pimpinan mamak adalah penghulu, pimpinan penghulu adalah mufakat, sedangkan pimpinan mufakat adalah garis hukum dan garis kepatutan atau kepantasan.  Meskipun mufakat telah menutut garis yang pantas untuk dibicarakan bersama, mufakat itu mempunyai rukun, yakni kebulatan pendapat, sebagaimana yang dimaksud petitih bulek aia dek pambuluah, bulek kato de mufakaik (bulat air oleh pembuluh  bulat kata oleh mufakat).

Kebulatan kata itulah yang dimaksud dengan sakato, yang dapat ditafsirkan apa yang diungkapkan mamangan dan diperkuat oleh petitih itu, bahwa mufakat yang juga berarti beriya-iya, melahirkan kata yang bulat karena orang yang beriya-iya itu telah melahirkan kesatuan kata dan juga kesamaan kata. Oleh karena itu pengertian kato disini, bukanlah merupakan ucapan atau kalimat, melainkan merupakan keputusan mufakat, baik berbentuk peraturan, undang-undang maupun hukum.

Jadi jelaslah dasar adat mengenai pemimpin ialah pemimpin itu digadangkan (dibesarkan, ditanam), yaitu pemimpin yang diimamkan dan dia menjalankan tugasnya harus berdasarkan alur dan patut dan dalam hal ini rakyat pulalah yang menentukan isi alur (alua) dan patut (patuik) itu. Seorang pemimpin tidak boleh bertindak semaunya saja sekehendak hati- tidaklah boleh pemimpin itu melakukan kewajibannya sewenang-wenang saja. Hanya pada pemimpin yang diimamkan sajalah para makmum akan mau mengikut dengan sepenuh hati, lahir dan batin. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Baju Kurung Basiba: Cerminan Jati Diri Perempuan Minangkabau

0
Silvia Devi

Penulis: Silvia Devi

Pakaian adalah salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat dimana saja berada. Pakaian dikenakan sesuai dengan kondisi lingkungan dan juga nilai adat, norma dan agama yang memang dipatuhi oleh tiap kelompok masyarakat. Pakaian tidak hanya tidak hanya sebagai penutup tubuh saja melainkan sebagai lambang status seseorang dalam masyarakat dan  merupakan perwujudan “rasa malu”,  sehingga berusaha menutup segala bagian tubuh.

Bagi masyarakat Minangkabau yang memiliki falsafah hidup Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka pakaian harus menutup aurat. Namun sebelum masuk ajaran Islam di Minangkabau maka pakaian yang dikenakan oleh perempuan Minangkabau terlihat seperti pakaian Jawa dan Bali yang dikenal dengan sebutan kemben. Seperti yang diungkapkan oleh Fatimah (2018) bahwa kemudian bentuk pakaian perempuan Minangkabau mengalami perubahan semenjak masa Paderi 1803 (Pembaruan Islam I) akibat adanya akulturasi dengan bangsa India, Timur Tengah, Cina dan Melayu. Bentuk-bentuk pakaian pada masa itu berbentuk jubah, kerudung dan cadar. Barulah pada fase kedua, dikenal sebagai masa Pembaharuan Islam Awal abad ke-20 yang ditandai dengan kepulangan tokoh Islam antara lain Syech Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Syekh Ibrahim Musa. Para tokoh ini kemudian mengembangkan paham pembaharuan yang berbeda dengan Wahabi abad ke-19. Pada awal abad ke-20 pakaian Islam Wahabi berubah menjadi pakaian baju kurung dengan penutup kepala. Model abad ke 20, hampir sama bentuknya dengan pakaian perempuan Minangkabau yang berkembang sekitar tahun 1682. Masih menurut Fatimah (2018) dikatakan bahwa munculnya baju kurung basiba dipopulerkan  Perguruan  Rahmah, tidak lagi mengikuti model Paderi abad ke-19. Bedanya dengan kedatangan Islam pertama  yang dipengaruhi oleh pakaian dari Cina yang biasanya dibuat pendek kini diperpanjang sampai kebawah panggul.

Sebagai masyarakat yang memegang falsafah Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka baju kurung basiba salah satu bentuk perwujudannya. Hal ini dikarenakan baju ini menutup aurat dan longgar. Pakaian ini dikenakan lengkap dengan tingkuluak dan kain jao. Tidak semata-mata longgar melainkan memiliki makna yang sangat terkait dengan kebudayaan Minangkabau.

Adapun makna pada bagian-bagian dari kekhasan baju kurung basiba, seperti yang diungkapkan Fatimah (2018) yakni :1) Bagian siba. Siba batanti  baliak balah, disisiak makau ka amasan. Secara fisik siba menyambung dua kubu dan belakang. Menggambarkan kemampuan perempuan Minangkabau untuk menyambung dua kubu yang bertolak belakang. Perempuan minangkabau harus mampu menjadi mediator, penengah, fasilitator, penyambung lidah dua kaum yang bertolak belakang.2) Bagian kikiek.  disebut juga daun budi merupakan pelindung ketiak agar tidak terlihat (berbeda dengan baju you can see). Kikiek mencerminkan bagaimana seorang perempuan Minangkabau memiliki fungsi menutupi malu. Mamakai raso jo pareso, manaruah malu jo sopan. Yang juga bermakna adat mamakai, dipakai siang jo malam yang berarti dimanapun berada perempuan Minangkabau tetap             berpedoman pada adat basandi syara’, syara’ basandi  kitabullah.3) Baju berbentuk kurung, yakni baju yang longgar berbentuk kurungan yakni kain pandindiang miang, Ameh pandindiang malu.Artinya pakaian bagi orang minang adalah sebagai pelindung tubuh. Pakaian juga sebagai penutup malu. Perempuan Minangkabau  menutup malu dengan  memakai pakaian yang bersifat mengurung tidak menampakkan lekuk tubuh.4). Lengan Lapang. Mengandung pepatah tagak baapuang jo aturan, baukua jangko  jo jangka. Artinya segala tindak tanduk perempuan Minangkabau harus  sesuai dengan aturan, pandai membawa diri dalam kondisi apapun, menjaga sopan santun. Adapun bentuk lengannya dibiarkan lepas sampai pergelangan tangan agar memudahkan perempuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari 5).Leher tanpa krah Lihianyo lapeh tak  bakatuak, babalah sainggo dado.Leher berfungsi untuk menempatkan aksesoris. Bagi permpuan Minangkabau, memakai aksesoris dalam menghadiri acara-acara tertentu akan mencerminkan bagaimana kondisi keluarga dan kaumnya.

Baju kurung basiba dikenal sebagai pakaian adat perempuan Minangkabau. Secara definisi baju kurung basiba menurut Imelda (2016) adalah pakaian adat  khas perempuan Minangkabau yang bentuknya longgar dan panjang sampai ke lutut. Mempunyai siba, kikik pada ketiak dan lengannya panjang sampai pergelangan tangan, leher tanpa kerah dan bagian depan  sedkit dibelah sebatas dada.

Adapun pepatah minang terkait pakaian ini yakni : “babaju kuruang gadamg langan, paapuih miang dalam kampuang, pangipeh angek nak nyo dingin, Siba batanti baliak balah, basisiak makau ka amasan,  Gadang basalo jo nan ketek, Tando rang gadang bapangiriang, Tagak baapuang  jo aturan, Baukua jangko jo jangkau, Duduak baagak bainggoan, lihianyo lapeh tak bakatuak, babalah sainggo dado, Rang gadang pahamnyo lapang, rang cadiak paham salero”.

Fenomena saat ini

Namun yang terjadi pada saat ini adalah banyak perempuan Minangkabau yang tak lagi mengetahui apa itu baju kurung basiba. Besarnya pengaruh model pakaian yang sangat mudah didapatkan dari kemajuan teknologi menyebabkan mereka lebih merasa bangga menggunakan model pakaian di luar daerahnya. Bahkan meski telah tahu bahwa itu menampakkan aurat mereka tetap saja mengenakannya dengan rasa bangga.

Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan karena akan sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Terlebih perempuan Minangkabau adalah limpapeh rumah nan gadang.  Limpapeh adalah tiang tengah sebuah bangunan, pusat segala kekuatan tiang-tiang lainnya. Jadi maknanya bahwa perempuan di Minangkabau merupakan tiang kokoh dalam rumah tangga. Jika tiang itu rusak tergerus oleh kuatnya arus modernisasi zaman, maka hancurlah masyarakat Minangkabau dengan segala adat yang dimilikinya. Padahal nilai-nilaia adat, nilai agama dan norma tercermin dari baju kurung basiba tersebut.

Saat ini baju kurung basiba yang merupakan identitas perempuan Minangkabau  sudah kurang bermakna. Baju kurung basiba sudah dianggap sebagai pakaian kuno, yang dipakai oleh nenek moyang pada masa dahulu. Mereka tidak lagi memahami apa makna dari pakaian tersebut. Baju kurung basiba saat ini hanya dipakai oleh para bundo kanduang. Bahkan meski dipakai pun oleh para bundo kanduang tetap saja mereka sebagian besar belum memahami apa makna dari bagian-bagian khas pakaian tersebut. Sehingga banyak kita lihat mereka memakai baju kurung basiba hanya sebatas nama saja. Pakaian yang dipakai terlihat melekat ketat ke badan sehingga menampakkan lekuk tubuh si pemakai. Padahal seyogyanya baju kurung basiba tersebut longgar dan tidak menampakkan lekuk tubuh si pemakainya, karena sesungguhnya wanita itu adalah aurat.

Saat ini hal biasa kita melihat pakaian tradisional perempuan Minangkabau yang tidak lagi sesuai dengan falsafah yang dianut. Bahkan banyak para desainer yang terlalu berkreasi sehingga melanggar nilai-nilai kesopanan yang dimiliki masyarakat Minangkabau dengan mengatasnamakan seni. Hendaknya hal itu diberi penjelasan pada berbagai forum diskusi dengan melibatkan berbagai lini agar nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam pakaian tersebut tidak luntur. Adanya penjelasan bagaimana pakaian perempuan Minangkabau bisa di kreasi tanpa menghilangkan nilai-nilai di dalamnya. Akhirnya, kedepannya kita dapat melestarikan baju kuruang basiba dalam kehidupan ini [ Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 24 Maret 2019

Manuladan Ka Nan Baiak, Maniru Ka Nan Nyato

0

Penulis: Undri

Mengajari anak dengan pengetahuan adat istiadat mestilah kita lakukan bagi setiap orang tua. Jebakan berbagai pengaruh menjadi hantu yang menakutkan, dan telah menjadi semacam hiasan dinding bagi generasi muda saat ini. Bertolak dari itu, dahulu pengaruh dari luar belum begitu besar, adat istiadat masih kuat dan kokoh. Segenap anggota masyarakat mempelajari tentang adat istiadat kepada yang tua-tua yang memiliki pengetahuan yang banyak tentang hal tersebut. Dengan cara yang demikian pengetahuan seseorang mengenai adat istiadat sudah tidak diragukan lagi, apalagi pemangku adatnya. Meniru dan meneladani sesuatu yang baik, kalau mencontoh hendaklah mencontoh kepada yang nyata. Janganlah menjadikan sesuatu yang belum pernah ada sebagai contoh dan teladan. Sejalan dengan itulah muncul ungkapan manuladan ka nan baiak, maniru ka nan nyato.

Beranjak kearah lebih jauh atas ungkapan tersebut kita juga dikenalkan dengan mandapek urang dahulu, kahilangan urang kudian. Orang dahulu dalam ungkapan di atas menurut adat Minangkabau adalah generasi dahulu atau angkatan orang tua-tua dahulu dan yang disebut dengan orang kemudian ialah angkatan atau generasi berikutnya, generasi yang muncul kemudian generasi yang lebih muda.

Ungkapan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menasehati para remaja generasi masa sekarang, generasi yang telah kehilangan. Pengertian kata kehilangan disini yaitu dalam arti bahwa kecenderungannya mereka sudah tidak lagi mempunyai pengetahuan tentang adat istiadatnya sendiri. Sebaliknya yang dimaksud dengan istilah orang dahulu mendapat tiada lain daripada mereka mendapat, mempunyai dan sepenuhnya memiliki pengetahuan mengenai adat istiadatnya sendiri. Hingga sekarang ungkapan ini masih tetap hidup, dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat Minagkabau dalam kehidupannya.

Agar kita menghargai keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Dengan berteladan kepada  yang lebih maju berarti kita juga ingin maju, ingin mencapai sesuatu yang lebih baik lagi dari pada yang telah sudah-sudah. Kita harus mencontoh kepada yang telah pernah terjadi yang nyata kepada yang telah ada yang kesemuanya itu dapat kita saksikan dan kita lihat dalam kehidupan ini.

Dengan demikian, segala sesuatu itu akan kita temui kebaikan dan keburukannya. Sekalian yang kebaikan kita ambil untuk dijadikan contoh dan teladan, dan segala yang buruk kita buang jauh-jauh sehingga kita akan memperoleh suatu kemajuan sebagaimana yang diharapkan. Ungkapan ini terutama sekali ditujukan kepada kaum remaja agar mau dan suka menghargai pendapat orang lain dalam hidup masyarakat.

Bagi generasi muda perlu juga kita ingatkan akan hal perilaku buruk seseorang yang melupakan orang-orang yang telah berperan dalam hidupnya. Managa karambia condong, pangka diawak, buah jatuah ka parak urang-memagar kelapa condong, pangkal pada kita, buah jatuh ke kebun orang. Manganjurkan agar kita senantiasa berbakti kepada orang tua dan guru, selalu ingat kepada mereka yang berjasa dalam proses keberhasilan kita.

Disamping itu juga penanaman tekat yang kokoh dalam mempertahankan nilai dan kebenaran yang diyakini perlu juga diajarkan kepada anak kita. Walaupun musuh atau bermacam gangguan terus menghadang tetap akan dilawan. Demi kebenaran tersebut tidak takut mati, karena mati mempertahankan keyakinan (membela agama) akan memperoleh ganjaran dari Allah SWT.

Nan ketek indak talendan, nan gadang usah talantuan-yang kecil jangan terlindas, yang besar jangan tersinggung. Perbedaan status sosial di antara anggota masyarakat niscaya ada. Namun janganlah hal itu menyebabkan permusuhan. Syaratnya adalah si kaya jangan suka memaksakan kehendak kepada si miskin. Begitu pula sebaliknya, bawahan jangan suka menyinggung perasaan pemimpin.

Kemudian  manauladan ka nan baiak, maniru ka nan nyato- meleladan kepada yang baik, mencontoh kepada yang nyata. Dan pandai-pandailah hendaknya kita dalam memilih teman agar dapat dijadikan sebagai teladan untuk kebaikan. Kemudian haruslah kita menghargai prestasi orang lain. Jangan iri melainkan harus mengikuti jalan keberhasilannya.

Kita juga tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri dan pekerjaan yang tidak baik untuk dilakukan. Tersirat dalam ungkapan urang ingek pantang takicuah, urang jago pantang kamaliangan, ingek ingek sabalun kanai, kok malantai sabalun lapuak, kalau maminteh sabalun anyuik– orang ingat pantang terkecoh, orang jaga pantang kemalingan. Ingat-ingat sebelum kena, kalau malantai sebelum lapuk, kalau memintai sebelum hanyut. Nasehat agar senantiasa waspada dalam menjalani kehidupan sehingga terluput dari bermacam gangguan.

Begitulah irama hidup yang mesti kita ajarkan buat anak kita, agar lindasan  pengaruh dari luar dapat ditangkal, dan menjadikan sebagai generasi yang andal kedepannya. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Perut punai, Camilan Khas Bengkulu

0

Perut punai merupakan makanan tradisional khas masyarakat Bengkulu. Sesuai namanya, camilan ini berbentuk usus yang dililitkan. Punai sendiri merupakan jenis burung yang hidup di hutan. Walau begitu, perut punai bukan satu-satunya nama untuk kuliner ini. Kudapan ini juga dikenal dengan juada karei, juada keras, dan arai pinangPerut punai biasa dihidangkan sebagai camilan dalam berbagai hajatan seperti perkawinan, lebaran, sunatan dll.

Bahan pembuatan perut punai terdiri dari tepung beras (sekarang diganti dengan tepung sagu), gula, kapur sirih, garam. Pada masa lalu, tepung beras untuk pembuatan bahan perut punai masih diolah secara tradisional yaitu dengan menumbuk beras dan mengeringkannya dengan dijemur. Sementara itu, untuk menambah rasa maka bahan-bahan perasa turut ditambahkan seperti cabai (pedas), gula (manis) dan ebi.

Proses Pembuatan

Proses pembuatan perut punai dilakukan dengan cara menyiapkan bahan terlebih dahulu. Tepung beras dijemur (sekarang cukup digongseng) hingga kering. Sembari mengeringkan tepung, air dipanaskan dengan tambahan garam dan kapur. Setelah tepung kering dan air kapur telah mendidih, selanjutnya air tersebut dimasukkan ke wadah berisi tepung, lalu diadon hingga kental. Adonan kemudian dibentuk seperti batangan bulat dan panjang, kira-kira satu jengkal orang dewasa. Bulatan-bulatan tersebut dililitkan serupa usus.

Baca juga: Maanta Pabukoan, Tradisi yang Makin Ditinggalkan

Di wadah lain minyak telah dipanaskan. Setelah proses membentuk perut punai selesai, pekerjaan selanjutnya adalah menggoreng hingga masak. Tanda bahwa perut punai telah masak adalah dengan melihat perubahan warna dari putih menjadi kecoklatan. Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng kira-kira 15 menit dengan nyala api yang tidak begitu besar. Selanjutnya perut punai diangkat, didinginkan dan dipres hingga kandungan minyaknya semakin hilang.

Setelah proses pengeringan selesai, maka perut punai siap dihidangkan. Pada masa sekarang, perut punai telah dijadikan barang komoditas yang diperjual-belikan. Jika hendak dijual, maka pekerjaan pasca pengeringan adalah mengemasnya. Selain itu, untuk beberapa komoditas perut punai membutuhkan penggulaan yakni pemberian rasa ke dalam perut punai. Ada empat rasa yang telah diperjual-belikan sekarang ini yakni asin, manis, pedas dan ebi.

Proses penggulaan dilakukan dengan cara memanaskan campuran air, vanili dan garam(rasa asin), gula aren dan gula pasir (rasa manis), cabai (rasa pedas) dan ebi (rasa ebi). Campuran bahan-bahan tersebut dipanaskan hingga mengental (tidak terlalu kental ataupun cair). Lalu perut punai dimasukkan ke dalam campuran tersebut hingga merata. Perut punai siap untuk dihidangkan.

Hingga kini, camilan perut punai masih diproduksi oleh masyarakat dan seringkali dijadikan sebagai oleh-oleh dari Bengkulu.(FM)

Dialog Budaya Spritual dan Buka Bersama

0

Padang – Menjelang akhir bulan Ramadhan sekaligus mendekati libur bersama Idul fitri, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat mengadakan Kegiatan Dialog Budaya Spritual. Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu, 29 Mei 2019 di Hotel Grand Zuri Kota Padang. Acara dibuka pada pukul 15.30 oleh Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman. Turut hadir sebagai narasumber dialog ini adalah Ustadz. Dr. Urwatul Wusqa, MA.

Kegiatan ini merupakan kegiatan silaturahmi BPNB Sumatera Barat dengan masyarakat khususnya budayawan yang sering terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kantor. Peserta kegiatan ini yakni seluruh pegawai BPNB Sumbar, budayawan serta mantan-mantan Kepala dan pegawai BPNB Sumbar beserta keluarganya. Panitia juga turut mengundang anak yatim dalam kegiatan ini.

Tema Dialog Budaya Spritual yakni Penyebaran Informasi dalam Pandangan Islam. Tema ini bertujuan mengajak semua orang khususnya pegawai untuk menyebarkan informasi yang  benar sesuai dengan kaidah-kaidah agama Islam. Pemilihan tema ini berkaitan erat dengan keprihatinan akan maraknya penyebaran informasi yang tidak benar (hoax) di masyarakat.

Selain memperdalam pengetahuan, tujuan lebih penting kegiatan ini adalah untuk meningkatkan keimanan umat khususnya di Bulan Ramadhan. Tujuan penting lain dari kegiatan ini adalah  untuk tetap menghidupkan tali silaturahmi di antara pegawai dan masyarakat khususnya mantan pejabat dan pegawai BPNB Sumatera Barat.

Pada akhir acara, diadakan buka puasa bersama dan selanjutnya panitia membagikan bingkisan sebagai bentuk tali asih kepada anak yatim.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Menyambut Hari Raya Idul Fitri. (FM)

Ba Baliak Ka Surau

0
Rismadona

Penulis: Rismadona

Kembali ke surau (ba baliak ka surau)  pada era ini mustahil bagi sebagian banyak orang.  Sebab ada pandangan bahwa surau dulu dengan surau sekarang secara fungsi telah berubah. Surau lebih banyak berfungsi untuk pendidikan agama, seperti mengaji, pertemuan majelis  taqlim, latihan qasidah dan terutama sekali untuk beribadah. Sementara itu penyimpangan sosial di kalangan generasi muda semakin meningkat, seperti narkoba, LGBT, prostitusi, pelaku kriminalitas, dan lainnya jarang lagi dibicarakan di surau-surau.

Penyimpangan sosial merupakan penyakit masyarakat atau istilah lain kuman yang merusak etika dan susila yang berlaku di negeri kita ini. Banyak tempat untuk memberikan pengobatan terhadap penyakit. Penyakit fisik bisa di bawa ke dokter, penyakit bathin bisa di bawa untuk ruqiyah, penyakit masyarakat bisa dibawa ke mesjid atau ke surau. Kenapa demikian?

Sebagaimana kita ketahui, perspektif historis surau memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan nagari, tempat beribadah, tempat pemuda berkumpul dan belajar ilmu bela diri, dan lainnya.  Bisakah untuk memutar waktu? Waktu tak bisa diputar karena terus berjalan, namun tradisi bisa dikembalikan, tinggal kesepakatan masyarakat untuk kembali sehingga melangkah babaliak ka surau. Surau sebagai fungsi pendidikan masih berlanjut, tapi fokus ke pendidikan agama dan akhlak yang bisa ditanamakan pada peserta didik. Surau tempat beribadah  masih tetap berjalan namun peminat beribadah kesurau pasang surut. Dan kekurangan yang dapat dilihat adalah surau tempat perkumpulan para pemuda dalam bertukar pikiran dan beroganisasi serta berlatih untuk bersilat kehilangan fungsi.

Pemuda sebagai pagar nagari, ia akan memagar dari seluruh persoalan dalam nagari, namun kenyataannya pemuda membawa tungkek rebah, pemuda tersandung dalam persoalan narkoba, LGBT, pelaku kriminalitas, pelaku asusila, dan lainnya. Pelaku demikian pemuda kehilangan fungsi tersebut. Organisasi pemuda tidak lagu beranjak dari surau, persoalan-persoalan penyakit masyarakat tidak lagi dibicarakan di surau, pemuda tidak lagi berkontribusi untuk solusi dari persoalan tersebut. Surau sebagai tempat ibadah, begitu salam diucapkan selesai para jamaah pulang kerumah masing-masing, tidak berdiam diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sehingga  jamaah baik dari kalangan pemuda, orang tua tidak lagi berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain untuk saling berbicara tentang persoalan dalam nagari itu sendiri. Penyakit masyarakat tidak lagi terbaca oleh masyarakat itu sendiri akibat tingginya sifat individualistis.,

Fungsi surau bisa dikembalikan dengan program pemerintah serta mengalokasikan dana untuk aktivitas surau itu sendiri. Aktivitas surau seperti pemuda surau bersilat, baik silat ilmu bela diri maupun silat lidah dalam petatah petitih dalam pidato adat masyarakat. Jadi kan surau seperti lembaga dinas pendidikan, adanya kontrol masyarakat yang berpijak dari surau. Pendidikan di surau mungkin saja terbatas tapi ada dalam setiap minggunya. Kita berharap setiap hari Sabtu malam, pemuda berkumpul di surau, tidur di surau dan belajar di surau. Dalam belajar silat, khususnya silat lahir bathin ia tidak saja mengajarkan langkah tapi juga mengajarkan tentang Allah, maka penanaman nilai-nilai agama seiring sejalan lahir dan bathin. Sabtu malam atau istilah lain malam Minggu bisa dimanfaatkan oleh generasi pemuda untuk berkumpul positif, bukan mengincar cewek atau cowok yang mengarah pada perilaku menyimpang dalam masyarakat itu sendiri.

Kembali ka surau kita kebanyakan separuh hati, bukan sepenuh hati, hanya dalam retorika dan batas wacana. Penulis menyaksikan dizaman tahun 80-an, surau tempat beribadah dan tempat berguru baik kalangan generasi muda maupun generasi tua. Generasi tua lebih banyak mengaji tentang tafsiran Al Quran dan tarekat. Dan selesai sholat subuh ke warung bersama untuk menunggu gorengan, dan bercerita tentang sawah, tentang ternak, tentang perilaku anak, tentang kemalingan sebelah tetangga dan begitu matahari bersinar terang mereka berpencar untuk beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Agaknya aktivitas ini juga hilang sesuai dengan perkembangan waktu. Kebiasaan berbagi cerita tentang pengalaman hidup harian tidak terakomodir lagi. Sebab  begitu usai sholat kembali ke rumah, lalu sarapan dan berangkat kerja. Surau bahkan kehilangan jamaah, khususnya sholat Zuhur dan Ashar, dengan alasan warga tidak di tempat dan berada di lokasi kawasan kerja. Surau di wilayah lokasi kerja lebih banyak dikenal dengan istilah mesjid, tidak bisa menerima cerita warga, karena kita hanya mendengar ceramah ustad mengisi waktu menjelang sholat.

Salah satu fungsi surau selain beribadah, berguru silat dan mengaji sesungguhnya penampungan curahan hati masyarakat setempat tentang rutinitas yang terjadi disekitarnya tidak berfungsi, masalah di sekitar tidak dipedulikan. Tokoh agama dengan masyarakat di surau dikondisikan dengan satu arah, bahkan dibatasi waktu untuk memberikan pencerahan. Hal demikian tidak memberikan kontribusi terhadap persoalan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Masalah LGBT, prostitisi dan tindakan kriminal, dan lainnya akan bisa memberikan tindakan preventif beranjak dari surau, dengan memberikan pencegahan, pengawasan dan kontrol serta tindakan keras yang dilakukan oleh pemuda surau. Tentunya bagi pemuda surau perlu kekuatan, baik kekuatan fisik maupun kekuatan mental. Kekuatan fisik tersebut dapat dilakukan untuk menggalakkan kembali belajar bersilat ka surau. Dengan memantapkan iman akan memberikan kekuatan mental untuk berjuang dari tindakan pihak-pihak lain yang menghancurkan generasi itu sendiri.

Jadi intinya dalam solusi untuk kembali ke surau dilakukan oleh masyarakat, pertama dalam beribadah memberikan tempat untuk duduk bersama selesai sholat. Dengan duduk bersama membangun interaksi dan bercerita tentang persoalan yang sedang berlangsung pada masyarakat sekitarnya. Kemudian memanfaatkan malam Minggu untuk pemuda belajar ilmu bela diri dan bermalam di surau selain belajar langkah juga diberi asupan tentang ilmu Allah SWT. Mengarahkan organisasi pemuda dan dilegalitaskan, sehingga semua kegiatan dan aktivitas pemuda dapat dipantau di surau, kenapa demikian diluar surau kita bisa saja meragukan pertemuan tersebut yang bersifat negatif, sehingga diluar aturan tersebut bisa kita panggil atau melapor pada pihak yang berwajib. Kemudian dalam kembali ke surau tidak bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri tanpa andil pemerintah, karena situasi saat sekarang kita memulai dari nol dan perlu proses. Untuk pencapaian tersebut maka diperlukan anggaran untuk aktivitas di surau sampai masyarakat itu mandiri dalam berorganisasi dan materi. Kita berharap jamaah surau bukan didiktekan tentang dosa dan pahala dalam materi dakwah, karena semua umat Islam tahu hal demikian, tapi bagaimana surau mengkaji Islam secara mendalam sehingga masyarakat mampu mengimplementasikan dalam kehidupan. Mudah-mudahan [Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang dalam Kolom Bendang pada Minggu, 31 Maret 2019

Maanta Pabukoan: Tradisi yang Makin Ditinggalkan

0
Hariadi

Penulis: Hariadi

Sholat Zuhur baru saja selesai. beberapa orang ibu-ibu mulai sibuk di dapur mempersiapkan beberapa jenis makanan. Masing masing ibu-ibu dalam pekerjaannya masing masing.  Kejadian itu tidak biasanya dilakukan dalam bulan Ramadhan. Seorang anak berumur belasan tahun melihat kejadian tersebut bertanya kepada ibunya “mak,kamanga awak” sambil menoleh kepada anaknya, ibu itu menjawab” awak kamaanta  pabukoan, beko kawani uni maantakan ka rumah mamak”. Sepenggal dialog itu telah terjadi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu di Nagari Simalanggang, Kabupaten Limopuluh Koto, Sumatera Barat.

Maanta pabukoan adalah tradisi yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan di Nagari Simalanggang, sebuah nagari dalam wilayah administratif Kabupaten Lima Puluh Kota. Belum di ketahui kapan tradisi ini bermula. Bentuk tradisinya adalah  mengantar menu berbuka ke rumah penghulu suku dan mamak oleh  kemenakan dalam bulan Ramadhan.

Prosesi  tradisi maanta pabukoan ini dimulai dengan menyiapkan pabukoan oleh sebuah keluarga besar dalam sebuah suku, umumya oleh perempuan adik beradik. Pabukoan yang disiapkan terdiri dari nasi, samba (lauk pauk) dan makanan untuk berbuka seperti kolak, silamak, sarikayo, agar agar dan makanan sejenisnya.

Makanan yang telah disiapkan tersebut ditempatkan di dalam satu rantang jinjing bertingkat. masyarakat Simalanggang menyebutnya siya. Bagian paling bawah diisi nasi, tingkat kedua samba (lauk pauk) adakalanya gulai, gorengan atau rending,  tingkat ketiga adalah kolak atau konji, biasanya kolak pisang, sarikayo atau jenis kolak lainnya. Tingkat keempat diisi dengan silamak atau lamang dan  rantang paling atas biasanya diisi dengan surabi atau agar agar atau onde onde atau makanan sejenisnya.

Pabukoan tersebut diantarkan ke rumah penghulu suku dan mamak. Waktu mengantarkannya umumnya setelah waktu Sholat Ashar sampai menjelang waktu berbuka. Pengantar pabukoan adalah kemenakan yang masih gadis dan biasanya ditemani oleh kemenakan perempuan yang masih anak-anak. Pabukoan diserahkan kepada istri mamak. Rantang disalin terkadang rantang tersebut diisi oleh istri mamak dengan makanan atau kue. Pengantar pabukoan  kembali pulang, dengan demikian prosesi tradisi mengantar pabukoan selesai.

Seiring berjalannya waktu tradisi maanta pabukoan semakin ditinggalkan. Berbagai faktor penyebabnya antara lain: (1) perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di masyarakat, (2) semakin meredupnya  peran penghulu suku dalam sukunya dan peran mamak dalam sebuah keluarga matrilineal, (3) semakin meredupnya rasa bermamak dan berkemenakan dalam kehidupan masyarakat.

Makna yang terkandung

Tradisi maantaan pabukoan ini bukan hanya sekedar mengantar makanan tetapi mempunyai beberapa makna yang terkadung di dalam tradisi ini. Dengan dilaksanakannya tradisi maanta pabukoan ada beberapa nilai positif yang dapat terwujud.

Tradisi maanta pabukoan merupakan pengamalan hadist nabi berkaitan dengan keutamaan orang yang memberikan makan minum  untuk orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad Tirmidzi dan Ibnu Majah  : “Siapa yang memberi perbukaan (makanan dan minuman) bagi orang yang berpuasa, maka  baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sama sekali”. Dengan demikian tradisi maanta pabukoan mempunyai landasan yang kuat dari hadist nabi Muhammad SAW.

Maanta pabukoan adalah bentuk penghormatan kepada penghulu suku dan mamak oleh kemenakan. Dalam adat Minangkabau tanggungjawab penghulu suku dan mamak terbilang berat. Posisi keduanya fungsional dalam sebuah suku dan keluarga matrilineal. Penghulu suku dalam sebuah pesukuan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagaimana diibaratkan “baban barek Singguluang batu”(beban berat singgulung batu). Permasalahan kemenakan di internal sebuah suku atau eksternal merupakan tanggung jawab penghulu suku untuk mencarikan solusinya. Seorang penghulu suku juga mesti mengetahui keadaan kemenakannya sebagaimana diibarat “siang mancaliak caliakkan, malam mandanga dangakan”. Senantiasa memantau keadaan kemenakan sepanjang hari.

Adapun tanggung jawab mamak dalam budaya Minangkabau sebagaimana dalam pantun  adat” kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokkan, bao lalu ka Saruaso, anak di pangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso”. Sebelum datangnya pengaruh Islam tanggung jawab terhadap kemenakan berada pada mamak. Mamak memastikan kebutuhan pokok kemenakannya bisa terpenuhi. Seiring dengan menguatnya pengaruh Islam maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok kemenakan beralih kepada ayah. Walau pun telah terjadi banyak pergeseran tanggung jawab mamak terhadap kemenakan tetap ada walaupun sudah mulai berkurang.

Tradisi maanta pabukoan juga merupakan bentuk rasa terimakasih  kemenakan kepada penghulu suku dan mamak yang telah mencurahkan perhatiannya, waktu, pemikiran   untuk kebaikan kemenakannya. Tradisi maanta pabukoan juga sebagai bentuk memperkuat silaturrahim antara kemenakan dengan keluarga penghulu suku dan keluarga mamak. Dengan datangnya kemenakan ke rumah mamaknya, tentu saja akan bertemu dengan istri dan anak anak mamak (anak pisang). Pertemuan tersebut akan membangun keakraban dan saling mengenal yang akan membuahkan silaturrahim yang semakin kokoh antara kemenakan dan keluarga penghulu suku dan mamak [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 26 Mei 2019

Kalah jadi Abu, Manang jadi Arang

0
Undri

Penulis: Undri

Polarisasi pasca Pemilihan Umum tahun ini, disadari atau tidak hingga kini belum juga berakhir. Kita masih terbelah dan saling berlawanan dan belum menempatkan persatuan yang hakiki. Jika ini terus menerus terjadi bisa jadi mengancam keutuhan dan persatuan bangsa dan negara kita kedepannya. Tidakkah kita sadar bahwa kalah dan menang sebuah pilihan, pilihan yang berproses, kita dapatkan dari hasil usaha yang kita jalani selama ini. Jika kalah berlapang dada menerimanya, dan jika menang harus pula menunaikan semua janji yang telah diperjanjikan sebelumnya.  Namun perlu juga diingat, menangnya dengan cara baik, dan jangan pula menghalalkan berbagai cara untuk meraih kemenangan, ini tidaklah baik pula kita tiru.

Jika persoalan ini terus berlarut, sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa, dan masyarakat yang rugi. Kita tidak boleh melakukan kerusakan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, sebab tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran. Kepentingan rakyat yang diutamakan, itulah kata kuncinya –kalah jadi abu, manang jadi arang (kalah jadi abu, menang jadi arang) tidak mendapat apa-apa, baik yang kalah dan yang menang akhirnya.

Baca juga: Tradisi Suluk dan Pelaksanaannya

Kusuik bulu paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari ujuang jo pangkanyo, kusuik sarang tampuo api manyalasaikan, kok masiak diparambunkan, kok karuah ditanangkan (kusut bulu paruh yang menyelesaikan, kusut benang dicari ujung pangkalnya, kusut sarang tempua (burung manyar) api menyelesaikan, kalau kering diembunkan, kalau keruh ditenangkan). Begitulah teknisnya dalam menyelesaikan sebuah persoalan atau pertentangan, sebab kita harus menemukan cara maupun alat yang tepat untuk mengurai permasalahan sehingga bertemu duduk persoalan yang sesungguhnya.

Nasroen (1957 :83) menjelaskan pertentangan itu pada hakikinya tidak akan dapat dihilangkan. Tetapi yang dapat dihilangkan, yaitu akibat dari pertentangan itu dan sebenarnya yang demikian inilah yang penting bagi seseorang dan bagi semua orang. Penting juga kita inap-inapkan fatwa dari adat Minangkabau yang berikut ini dan dapat kita laksanakan : hilang samo barugi, mandapek samo balabo, ringan samo dijinjiang, barek samo dipikua, hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah, gadang kayu gadang bahannyo, ketek kayu ketek bahannyo, gadang jan melendo, cadiak jan manjua (kalau hilang rugi bersama, kalau untung laba bersama, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, hati gajah sama dimakan, hati tungau sama dicacah, besar kayu besar bahannya, kecil kayu kecil bahannya, besar jangan melanda, dan cerdik jangan menipu).

Solusinya adalah menghadapkan pertentangan dengan cara nyata dengan mufakat berdasarkan alur dan patut (alua jo patuik)-carilah keseimbangan yang penuh berdasarkan keputusan : kok bulek buliah digolongkan, kok picak lah buliah dilayangkan, indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (jika bulat sudah boleh digolongkan, jika gepeng sudah boleh dilayangkan, tidak ada kusut yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tidak jernih).

Saciok bak ayam, sadanciang bak basi (seciap bagaikan ayam, sedencing bagaikan besi)- dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu menjaga persatuan, harus seiya dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dalam tindakan, sependapat dalam mengatasi suatu persoalan. Harus mengutamakan kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Agar kita menjaga persatuan, bila terjadi keselahpahaman atau perselisihan, maka selalu diingatkan agar tercipta kembali persatuan itu sendiri.

Disamping itu perlu juga kita pahami bahwa ada tingkatan dari suatu kepentingan, tempat dan saatnya. Kepentingan yang rendah itu harus mengalah kalau berhadapan dengan kepentingan yang lebih tinggi : adat badunsanak, dunsanak patahankan, adat bakampuang, kampuang patahankan, adat banagari, nagari patahankan, sanda basanda, serupo aua jo tabiang (adat bersaudara, mempertahankan saudara, adat berkampung, mempertahankan kampung, adat bernagari, mempertahankan nagari, tupang manupang seperti bambu dengan tebing).

Akhirnya perlu juga kita renung-renungkan juga- manang jadi arang, kalah jadi abu– kita akan mengetahui bahwa siapapun itu, baik yang menang maupun kalah pada suatu persengketaan sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa dan bahkan rakyat yang dirugikan. Jauhkanlah sifat saling menjatuhkan, menimbulkan kegaduhan dan permusuhan, kebencian, kedengkian, tidak saling mencela, serta saling memfitnah. Sebab semua itu akan merusak sendi-sendi persatuan bangsa dan negara kita ini. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum SInggalang Kolom Kurenah pada Minggu, 26 Mei 2019

Parangai

0

Penulis: Undri

Parangai-kelakuan atau tingkah laku hari ini bagi yang sudah dewasa tidak terlepas dari apa yang dilakukan masa kecil. Masa kecil terbiasa, dewasa sulit mengubahnya. Kebiasaan jelek misalnya, diwaktu kecil hendaknya cepat diubah sebab kalau sudah terbiasa sangat susah mengubahnya. Perihal ini tak terbantahkan sampai hari ini.  Senada dengan itu muncullah ungkapan ketek taanjo-anjo gadang tabao-bao tuo tarubah tido (masa kecil terbiasa besar terbawa-bawa sudah dewasa sulit mengubahnya).

Balik kelampauan, beragam cara dilakukan dalam bentuk nasehat oleh orang tua mengajari anaknya waktu kecil supaya menjadi anak nan elok, berbudi pekerti yang baik dan berbahasa yang terpuji. Beragam pantanganpun difondasikan hal tersebut, mulai dari makan berdiri, duduk dikapalo janjang, berucap dan berujar tidak pada tempatnya dan sebagainya. Memang secara kasat mata itu bersifat larangan, namun nuansa yang sarat dengan nilai kebaikan, seperti ajaran agama, dan adat istiadat pun mengitarinya.

Kalau kita biarkan saja perangai buruk anak-anak kita nanti sulit untuk merubahnya, terbiasa ia sampai besar. Ungkapan ketek taanjo-anjo gadang tabao-bao tuo tarubah tido muncul akhirnya. Makanya dikatakan kecil teranja-ranja. Anak mulai besar segala kelakukan yang tidak baik tetap terbawa-bawa. Bisa berulang-ulang tingkah laku yang buruk itu walaupun ia sudah menjadi ayah atau  ibu kelak. Bayangkan bila ini terjadi, bisa tercengang yang muda-muda melihat yang tua bertingkah  laku seperti anak muda.

Kondisi hari ini, paling kecil saja kita sebut cara berpakaian sebagian anak gadis kita misalnya banyak ala ceper –serba singkat- diangkat keatas nampak pusat ditarik ke bawah nampak dada. Tak tanggung-tanggung gilanya paha –betis putih dipertontonkan juga. Miris kita melihatnya kondisi seperti ini.

Itu kalau perangai buruk. Kelakukan yang elok seperti itu juga. Kalau sudah terbiasa dengan yang baik-baik dari kecil ketika besar akan terbawa-bawa, tua terubah tidak. Makanya anak diajar sejak kecil. Bahkan memarahi anak mesti pandai-pandai. Kalau terlampau marah, terlampau ajar bisa buruk pula akibatnya. Anak akan bosan kalau kita mengomel siang malam. Ada yang terbaik mengajari anak bujang tanggung dan gadis mulai besar. Anak diajar dengan lunak, dengan kias, dengan contoh, dengan sindir halus. Sebuah pengajaran nilai moral yang terbaik.

Jangan dengan kasar, dengan marah-marah saja, yang tua memberi contoh. Umpamanya menyuruh anak sholat atau puasa. Kita bagi orang tua juga harus sholat dan puasa, jangan menyuruh anak saja namun kita tidak melakukannya-tungkek mambawo rabah namanya.

Waktu yang tepat untuk mengajari anak yakni waktu makan bersama, diajarkan tertip sopan, cara makan, hadap duduk bersama dan lainnya. Jadi jangan dibiasakan anak kita makan tidak serempak atau bersama. Siapa yang datang makan. Datang seorang lagi terus makan. Muncul seorang lagi ambil nasi pula. Seorang makan mancangkuang di sudut, seorang lagi menghenyak dilantai. Kesudahannya teronggok piring kotor, bertengkar akan mencucinya.

Kalau cara begini cara makan tidak ada kesempatan untuk mendidik anak tentang tertip sopan cara makan bersama. Lama-lama sukar merubahnya. Biasanya makan bersama-sama yang tua memberi contoh. Nan tidak elok dipandang mata, waktu pesta atau baralek, makan berdiri sudah biasa pula.

Makan bersama, kita dapat berkumpul dengan anak-anak, makan dan minum bersama. Setelah makan bersama kita bisa berdiskusi dan berbagi cerita, pengalaman hidup kepada anak. Durasi waktu  sekitar limabelas menit dan rutin kita lakukan setiap hari.

Budaya berkumpul dan makan bersama keluarga mulai terkikis. Makan bersama keluarga dirumah adalah momen kebersamaan yang sangat berharga. Meski terdengar sederhana atau sepele, namun kegiatan ini menyimpan pengaruh positif yang bisa membantu menguatkan keharmonisan keluarga. Sebab keluarga memiliki peranan penting dalam membentuk generasi muda, khususnya anak-anak menjadi lebih sehat dan berkualitas di masa depan. Selain itu, apabila dijadikan kebiasaan rutin-sehari-hari anak-anak akan tumbuh sehat karena relasi keluarga yang sehat.

Jadi, kebiasaan-kebiasaan-parangai waktu kecil haruslah ditaburi dengan parangai kebaikan, sebab parangai kecil tersebut akan terbawa waktu remaja dan tidak bisa diubah waktu dewasa.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Suluk dan Pelaksanaannya

0
Hariadi

Penulis: Hariadi

Suluk adalah istilah yang lazim terucap pada kalangan penganut Islam tradisional, lebih khusus pada penganut tarekat Naqsabandiyah. Suluk secara  harfiah bermakna jalan. Orang yang menempuh jalan tersebut disebut saalik. Menurut istilah, suluk dapat dimaknai sebagai upaya hamba (saalik) mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah yang bertujuan menyucikan diri dari berbagai bentuk kesalahan dengan memperbanyak zikrullah.

Dalam melaksanakan  suluk, para saalik dibimbing oleh guru yang  lazim disebut mursyid. Muryid membimbing para saalik untuk menjalani tahap demi tahap latihan (riadhoh). Tahapan yang umum dilakukan mulai dari pembersihan diri dari berbagai kesalahan (takholli) kemudian mengisi diri dengan hal hal yang positif (tahalli) dan terakhir merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas dan dalam segala aktifitas (tajalli).

Bersuluk merupakan salah satu tradisi ke Islaman yang terbilang awal pada masyarakat muslim Minangkabau. Praktik  suluk terdapat di berbagai daerah. Tempat tempat pelaksanaan suluk yang termashur misalnya di Lubuk Landur Pasaman Barat, Kumpulan dan Bonjol di Pasaman, Belubus, Batu Hampar, Taeh dan Taram di Lima Puluh Kota dan banyak lagi daerah yang mempunyai surau suluk. Merujuk informasi dari A.Angku Mudo untuk daerah Lima Puluh Kota saja  ada sekitar 200 surau suluk yang masih melaksanakan setiap tahunnya.

Beberapa surau suluk yang terdapat di daerah Lima Puluh Kota di antaranya surau suluk Syekh Ilyas di Pandam Gadang, surau suluk Ongku Boncah di Taeh Baruah, surau suluk Buya Zed di Koto Tuo Mungka, surau suluk Buya Edison Kasim di Sarilamak, surau suluk Almarhum Datuak Angso di Lubuak Batingkok Tanjuang Pati, surau suluk Angku Mudo Sawir di Taram dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus dan banyak lagi surau suluk lainnya.

Sebutan terhadap sebuah surau suluk umumnya dikaitkan dengan nama mursyid yang mendirikan dan menjadi guru yang pertama kali di surau tersebut. Setelah mursyid yang mendirikan surau pertama kali meninggal dunia, tongkat estafet dilanjutkan oleh anak atau kemenakan. Pada beberapa surau ada juga yang dilanjutkan oleh murid pilihan atau murid kesayangan mursyid. Beberapa surau suluk telah mengalami silih  generasi beberapa kali. Namun beberapa surau suluk ada juga yang terhenti karena tidak ada lagi pelanjutnya.

   Untuk daerah Lima Puluh Kota surau suluk yang mememegang peran cukup penting adalah surau suluk di Batuhampar dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus. Beberapa mursyid di surau surau suluk sekarang mempunyai keterkaitan silsilah keilmuan  dengan kedua surau suluk ini.

Pelaksanaan Suluk

Pelaksanaan suluk pada umumnya  dimulai  sepuluh hari sebelum bulan Ramadhan dan selesai pada saat hari raya Idul Fitri. Beberapa surau suluk ada juga yang melaksanakan pada bulan Zulhijjah. Lama pelaksanaan suluk ada yang empat puluh hari ada juga yang dua puluh hari. Para Saalik yang pertama kali melaksanakan suluk, umumnya melaksanakan selama empat puluh hari.  Sedangkan yang sudah pernah melaksanaan pada tahun sebelumnya melaksanakan empat puluh hari atau dua puluh hari. Namun hal itu bergantung kepada kesanggupan masing  masing.

Para saalik pada sebuah surau suluk tidak hanya berasal dari tempat sekitar surau. Pada beberapa surau suluk  para saalik juga datang dari tempat yang jauh bahkan ada yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Dari sigi usia, para saalik ada yang tua dan ada juga yang masih muda. Namun demikian umumnya para saalik berusia di atas empat puluh tahun.

Selama pelaksanaan suluk, para saalik memfokuskan diri melaksanakan ibadah, menjaga adab adab, memperbanyak zikir dan melakukan ibadah berdasarkan bimbingan mursyid. sehingga tujuan suluk tercapai dengan baik.  Para Saalik  tidak disibukkan oleh  urusan  konsumsi, karena urusan tersebut  ditangani oleh panitia bagian dapur umum dengan pembiayaan bersumber dari para saalik.

Tempat suluk umumnya terdapat di bagian samping dalam surau. Masing masing saalik menempati ruang berukuran sekitar satu setengah meter kali dua meter. Sekat satu tempat dengan tempat lainnya hanya terbuat dari kain putih yang sekaligus berfungsi sebagai kelambu. Alas tempat duduk biasanya kasur yang bertujuan untuk kenyamanan dalam berzikir.

Selama pelaksana suluk para saalik akan berada lebih banyak di ruangan masing-masing. Mengurangi berbicara dan berinteraksi. Para saalik keluar hanya untuk hajat syar’i. Para saalik fokus melaksanakan petunjuk petunjuk mursyid. Dalam proses tersebut para saalik akan meperolehan pengalaman spiritual berbeda  antara satu saalik dengan yang lainnya bergantung kepada niat dan kesungguhan dalam menjalankan setiap wirid yang diajarkan dan juga iradat Allah.

Bagi saalik yang menurut pandangan mursyid telah dibukakan oleh Allah hijab (kasful hijab) akan diberikan gelar dan juga otoritas untuk mengajarkan  ilmu yang diperoleh dan Juga diperbolehkan untuk mendirikan surau suluk sendiri. Beberapa surau suluk, disamping memberi gelar juga mengeluarkan ijazah tertulis sebagai bukti silsilah keilmuan.  Dengandemikian setiap mursyid mempunyai silsilah keilmuan yang bersambung,  diakui dan dapat dipertanggung jawabkan [Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 14 April 2019