Penulis: Undri
Pemimpin yang bagaimana yang harus kita pilih ?. Tentunya, pemimpin ketika kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan. Bukan sebaliknya, memperkusut dan memperkeruh sebuah permasalahan. Menyulut amarah banyak orang dan meniadakan kesejukan. Kedudukannya itu ia dituntut mampu membimbing, memperbaiki serta menyelesaikan banyak persoalan dalam masyarakat, mampu menata tata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Pemimpin yang sangat dekat dan mengerti akan nasib rakyatnya.
Pemimpin yang seperti itu kita dapatkan jika fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin kharismatik bagi generasinya dan generasi berikutnya.
Kekinian kita sadar bahwa demokratisasi telah melahirkan embrio pemimpin yang secara emosional bathiniah tidak terhubung erat dengan rakyatnya atau bawahannya, bingkai kekuasaan yang paling menonjol bukan hubungan emosional bathiniah yang melahirkan pemimpin kharismatik.
Melahirkan pemimpin kharismatik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat adalah kunci utama untuk membingkainya. Sejalan dengan itu ada beberapa perihal yang melekat pada pemimpin kharismatik itu sendiri. Pertama, kusuik nan kamanyalasaikan, karuah nan ka mampajaniah (kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan). Peran orang pandai, intelektual, atau pemimpin yang dibesarkan oleh masyarakatnya. Posisinya ibarat, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, agar dapat menyelesaikan dengan baik permasalahan yang timbul, bukan sebaliknya membuat masalah pula. Kedua, kuek katam karano tumpu, kuek sampieh karano takan-kuat serut karena tumpuan, kuat sendi karena ditekan. Segala sesuatu sangat tergantung pada pemimpin karena tugas pemimpinlah yang harus memimpin tata kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ini bisa berjalan bila adanya suatu proses interaksi yang bersifat aktif antara seorang pemimpin dengan anggota masyarakatnya.
Interaksi yang bersifat aktif tersebut nantinya akan memperlihatkan hubungan yang bersifat harmonis keduanya. Dengan kata lain proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai suatu interaksi antara pemimpin dengan pengikut-pengikutnya. Dalam keadaan interaksi ini, pemimpin itu mengemukakan, dan pengikutnya menerima, tentang pengenalan dirinya sebagai pemimpin mereka yang telah ditakdirkan dan tentang pendapatnya mengenai dunia mereka yang sebenarnya .
Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin. Akhirnya menjadi seorang yang kharisma dipandang oleh masyarakatnya. Disamping itu adanya sifat penghormatan terhadap seorang pemimpin. Sikap penghormatan diperlukan menginggat bahwa karena dengan penghormatan terhadap pemimpin tersebut justru nantinya akan membuat eksistensinya dalam masyarakat semakin kuat.
Kedua, gunung timbunan kabuik, lurah timbunan aia, bukik timbunan angin (gunung timbunan kabut, lurah timbunan air, bukit timbunan angin). Nasihat untuk para pemimpin agar menyadari bahwa dengan menduduki kedudukannya itu ia dituntut mampu menyelesaikan banyak persoalan dalam masyarakatnya.
Ketiga, manukuak mano nan kurang, mambilai mano nan senteng, manyisik sado nan umpang, mauleh mano nan singkek-menambah mana yang kurang, membilang mana yang lebih, menisik segala yang rumpang, mengulas mana yang pendek. Upaya pemimpin dalam membimbing dan memperbaiki kehidupan rakyatnya. Sehingga seorang pemimpin mempunyai tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang tokoh kharismatik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat ini. Pola tingkah lakunya merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Keempat, panjang jan malindih, gadang jan malendo- panjang jangan melindas, besar jangan menyenggol. Jika berkuasa janganlah bersikap semena-mena dengan menekan atau memaksakan kehendak pada yang lebih kecil (bawahan) karena mereka pasti akan kalah. Kelima, tibo di paruik jan dikampihan, tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di dado indak dibusuangkan-tiba diperut tak dikempiskan, tiba di mata tak dipejamkan, tiba didada tak dibusungkan. Sikap yang harus dimiliki oleh seseorang pemimpin dalam mengambil keputusan, yang adil, tak membedakan orang per orang, serta bersedia memahami persoalan apa adanya.
Jadi, akhirnya seorang pemimpin memiliki kewajiban hakiki menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Bila itu ada dalam sikap tingkah laku seorang pemimpin maka penataan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya akan kearah yang lebih baik. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 31 Maret 2019