Penulis: Undri
Polarisasi pasca Pemilihan Umum tahun ini, disadari atau tidak hingga kini belum juga berakhir. Kita masih terbelah dan saling berlawanan dan belum menempatkan persatuan yang hakiki. Jika ini terus menerus terjadi bisa jadi mengancam keutuhan dan persatuan bangsa dan negara kita kedepannya. Tidakkah kita sadar bahwa kalah dan menang sebuah pilihan, pilihan yang berproses, kita dapatkan dari hasil usaha yang kita jalani selama ini. Jika kalah berlapang dada menerimanya, dan jika menang harus pula menunaikan semua janji yang telah diperjanjikan sebelumnya. Namun perlu juga diingat, menangnya dengan cara baik, dan jangan pula menghalalkan berbagai cara untuk meraih kemenangan, ini tidaklah baik pula kita tiru.
Jika persoalan ini terus berlarut, sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa, dan masyarakat yang rugi. Kita tidak boleh melakukan kerusakan hanya untuk menghasilkan sebuah kemenangan, sebab tidak ada artinya kemenangan yang dirayakan di tengah kehancuran. Kepentingan rakyat yang diutamakan, itulah kata kuncinya –kalah jadi abu, manang jadi arang (kalah jadi abu, menang jadi arang) tidak mendapat apa-apa, baik yang kalah dan yang menang akhirnya.
Baca juga: Tradisi Suluk dan Pelaksanaannya
Kusuik bulu paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari ujuang jo pangkanyo, kusuik sarang tampuo api manyalasaikan, kok masiak diparambunkan, kok karuah ditanangkan (kusut bulu paruh yang menyelesaikan, kusut benang dicari ujung pangkalnya, kusut sarang tempua (burung manyar) api menyelesaikan, kalau kering diembunkan, kalau keruh ditenangkan). Begitulah teknisnya dalam menyelesaikan sebuah persoalan atau pertentangan, sebab kita harus menemukan cara maupun alat yang tepat untuk mengurai permasalahan sehingga bertemu duduk persoalan yang sesungguhnya.
Nasroen (1957 :83) menjelaskan pertentangan itu pada hakikinya tidak akan dapat dihilangkan. Tetapi yang dapat dihilangkan, yaitu akibat dari pertentangan itu dan sebenarnya yang demikian inilah yang penting bagi seseorang dan bagi semua orang. Penting juga kita inap-inapkan fatwa dari adat Minangkabau yang berikut ini dan dapat kita laksanakan : hilang samo barugi, mandapek samo balabo, ringan samo dijinjiang, barek samo dipikua, hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah, gadang kayu gadang bahannyo, ketek kayu ketek bahannyo, gadang jan melendo, cadiak jan manjua (kalau hilang rugi bersama, kalau untung laba bersama, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, hati gajah sama dimakan, hati tungau sama dicacah, besar kayu besar bahannya, kecil kayu kecil bahannya, besar jangan melanda, dan cerdik jangan menipu).
Solusinya adalah menghadapkan pertentangan dengan cara nyata dengan mufakat berdasarkan alur dan patut (alua jo patuik)-carilah keseimbangan yang penuh berdasarkan keputusan : kok bulek buliah digolongkan, kok picak lah buliah dilayangkan, indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (jika bulat sudah boleh digolongkan, jika gepeng sudah boleh dilayangkan, tidak ada kusut yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tidak jernih).
Saciok bak ayam, sadanciang bak basi (seciap bagaikan ayam, sedencing bagaikan besi)- dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu menjaga persatuan, harus seiya dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dan sekata demi kebaikan dan keselamatan bersama. Harus senada dalam tindakan, sependapat dalam mengatasi suatu persoalan. Harus mengutamakan kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Agar kita menjaga persatuan, bila terjadi keselahpahaman atau perselisihan, maka selalu diingatkan agar tercipta kembali persatuan itu sendiri.
Disamping itu perlu juga kita pahami bahwa ada tingkatan dari suatu kepentingan, tempat dan saatnya. Kepentingan yang rendah itu harus mengalah kalau berhadapan dengan kepentingan yang lebih tinggi : adat badunsanak, dunsanak patahankan, adat bakampuang, kampuang patahankan, adat banagari, nagari patahankan, sanda basanda, serupo aua jo tabiang (adat bersaudara, mempertahankan saudara, adat berkampung, mempertahankan kampung, adat bernagari, mempertahankan nagari, tupang manupang seperti bambu dengan tebing).
Akhirnya perlu juga kita renung-renungkan juga- manang jadi arang, kalah jadi abu– kita akan mengetahui bahwa siapapun itu, baik yang menang maupun kalah pada suatu persengketaan sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa dan bahkan rakyat yang dirugikan. Jauhkanlah sifat saling menjatuhkan, menimbulkan kegaduhan dan permusuhan, kebencian, kedengkian, tidak saling mencela, serta saling memfitnah. Sebab semua itu akan merusak sendi-sendi persatuan bangsa dan negara kita ini. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum SInggalang Kolom Kurenah pada Minggu, 26 Mei 2019