Penulis : Yulisman, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat
Aleu ita, sepenggal kata yang mirip sekali dengan Aloha dari Kepulauan Hawai negara Amerika Serikat. Aleu ita adalah sebuah tradisi yang unik dan menarik dari budaya Mentawai yang berjarak sekitar 100 km dari Kota Padang, ibukota Propinsi Sumatera Barat yang telah memberikan saya perjalanan panjang yang memuaskan dan penuh pesona.
Kepulauan Mentawai mempunyai puluhan pulau pulau kecil dan 4 pulau besar yang indah dan menawan. Pulau pulau tersebut adalah Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan. Dari ke empat pulau tersebut, Menurut hemat penulis, di bidang Budaya, Pulau Siberut yang paling menarik dikunjungi, karena Pulau Siberut ini dipercaya sebagai asal mula masyarakat Mentawai dan menyebar ke pulau pulau lain.
Aleu ita adalah khas tipikal salam bagi masyarakat kebudayaan Kepulauan Mentawai terutama di Pulau Siberut bagian selatan. Sebuah perjalanan panjang secara estafet selama 14 hari yang penulis terulusuri di Kecamatan Siberut Selatan. Aleu ita juga dijawab dengan kata yang sama yaitu Aleu ita, yang artinya berbeda antara si penyebut aleu ita pertama dengan penjawab yang juga menyebutkan aleu ita. Penyebut aleu ita pertama bisa berarti apa kabar dan penjawab yang menyebutkan aleu ita akan berarti baik, atau bagus. Tidak ditemukan kapan manusia pertama sekali menginjakan kakinya di Pulau ini, tidak ada ditemukan cerita secara turun temurun asal muasal Masyarakat Mentawai, Cuma hanya pendapat para ahli, sebagian berpendapat bahwa mereka berasal dari Kepulauan Nias dan sebagian lagi menarik kesimpulan bahwa mereka berasal dari negeri Batak Sumatera Utara, tetapi menurut hemat penulis masyarakat Mentawai berasal dari hasil perkawinan antara suku melayu tua dengan masyarakat dari Asia Selatan tepatnya dari sekitar Vietnam sekarang. Hal ini dilihat dari kulit yang sao matang yang merupakan hasil perkawinan hitam dengan putih, bentuk wajahnya dan mata yang sedikit agak sipit tidak menandakan melayu 100 persen.
Dalam melaksanakan aktivitas sehari hari, masyarakat Mentawai memusatkan kegiatannya di Uma yang juga dikenal dengan rumah panjang. Rumah ini biasanya di hunyi oleh 2 sampai dengan 3, 4, 5 keluarga. Secara umum rumah ini, ruangannya hanya dibatasi oleh kelambu, walaupun ada dibatasi dengan kamar tetapi jumlahnya sangat sedikit sekali. Antara Uma yang satu dengan Uma yang lain mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga menyulitkan anak anak untuk mendapatkan pendidikan secara bersama sama. Untuk mengatasi hal ini pemerintah telah membangun perkampungan yang bisa tinggal bersama sama dan anak anak mereka bisa mendapatkan pendidikan secara bersama sama pula, perkampungan antara lain Madobak, Ugai dan Matotonan yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau dengan sampan dayung serta dengan mesin boat lewat sungai. Sekarang ketiga tiga perkampungan ini telah bisa disentuh dengan kendaraan roda dua. Kehidupan mereka sangat menarik untuk diketahui dan dikunjungi serta sebagai contoh dalam kehidupan kebersamaan saling berbagi satu sama lain.
Penulis telah sempat mengunjungi ketiga tiga perkampungan tersebut dengan jalan kaki secara estafet selama 14 hari, walaupun melelahkan tetapi kepuasan yang didapat oleh penulis jauh lebih besar dan mengalahkan kelelahan tersebut. Perjalan dari Padang menuju Muara Siberut ibukota Kecamatan Siberut Selatan membutuhkan waktu satu malam, dan sekarang bisa disentuh hanya dengan waktu 3 jam, karena sekarang telah tersedia kapal cepat yang diberinama Mentawai fast berangkat dari Muara Padang, disamping kapal fery yang disediakan oleh Pemerintah untuk transportasi ke dan dari Mentawai, ada juga kapal chargo atau kapal barang untuk membawa keperluan masyarakat mentawai dan hasil buminya yang perlu di jual ke Padang sebagai pusat kegiatan masyarakat di Propinsi Sumatera Barat.
Untuk makan sehari hari, biasanya masyarakat Mentawai terutama yang tinggal di pedalaman Siberut Selatan memakan sagu yang di olah secara tradisional. Sagu yang dimakan adalah sagu yang telah menjadi tepung, kemudian di bungkus dan dimasak atau dibakar. Kabid adalah pakaian tradisional mereka, walaupun sekarang sedikit demi sedikit berubah, karena sebagian dari generasinya tidak lagi memakai kabid, walaupun begitu masih bisa kita lihat masyarakatnya terutama yang tua tua dan berjulukan sikerei masih memakai pakaian kebesarannya.
Sikerei adalah seseorang yang diangkat yang menjadi pimpinan suku, pada saat yang sama sikerei berfungsi sebagai dokter untuk masyarakatnya yaitu orang-orang Mentawai. Bertato merupakan suatu tradisi yang wajib bagi sikerei. Sikerei baru akan dilewakan dengan kegiatan yang disebut dengan punen. Sebagian besar sikerei di undang untuk datang pada acara punen tersebut. Apabila ada sikerei bertemu untuk pertama sekali dengan sikerei lain, mereka harus membuat upacara dengan memotong seekor ayam yang menandakan kebesaran dari sikerei tersebut. Membuat tato di semua tubuh dengan motif khas mentawai adalah kewajiban untuk semua sikerei. Tato dibuat dengan peralatan benar-benar tradisional. sehingga, terlihat seperti dengan aktivitas memahat, pasti sangat sakit dan nyeri. Apabila seseorang lelaki menjadi sikerei maka itu juga kewajiban dari seorang istri lelaki itu untuk ikut menato tubuhnya, untuk mendukung status sikerei darri suaminya. Sikerei dipercaya memiliki kelebihan tersendiri dalam dunia gaib terutama untuk menyembuhkan seseorang dari sakit di Mentawai.
Sebuah kata “ubek” sering terdengar oleh kami di Mentawai berarti ini adalah rokok, di setiap pertemuan dan disaat berpapasan, mereka akan mengatakan aleu ita dan akan dilaanjutkan dengan “anai ubekta” setelah kita jawab aleu ita juga. Anai ubekta artinya ada rokok. meminta rokok merupakan suatu kebiasaan bagi mereka walaupun kita bertemu ditengah hutan sekalian. Sebaik mungkin jangan dijawab “ tak anai “ yang artinya tidak ada. Siapkanlah diri dengan rokok ketika ingin mengunjungi dan bercengkrama dengan mereka meskipun kita bukan seorang perokok. Rokok merupakan kata pembuka untuk memulai pembicaraan atau untuk menandai tanda persahabatan baru.
Berburu monyet, babi hutan, kelelawar dan burung menjadi kebiasaan suku Mentawai, bahkan sekarang monyet sulit sekali ditemukan di tengah-tengah hutan Mentawai. Tapi jika mereka peroleh monyet dalam berburu, mereka akan mengundang semua keluarga untuk menikmati dengan memukul kentongan bambu dan irama tertentu. Kentongan ini akan terdengar mengundang keluarga mereka. Penulis juga sering ikut berburu tetapi hanya semata mata untuk mengetahui lebih detail tentang mereka dan mengisi waktu selama berada di pedalaman Mentawai tersebut.
Turuk adalah sebuah tarian tradisional masyarakat Mentawai yang dilakukan oleh sikerei, minimal 2 atau 3 orang, tetapi tidak terbatas kemungkinan lebih. Turuk akan dimainkan pada saat penyembuhan orang sakit atau pada saat hibruan di malam hari yang diiringi dengan gendang. Secara umum ada 3 macam tari dalam pertunjukan turuk, yaitu : tari burung, tari ular dan tari monyet, gerakan tari tersebut akan mencontoh kepada gerakan binatang binang tersebut.
Tidak itu saja, ada yang namanya Pasiggaba iba adalah sebuah kegiatan mencari ikan bagi kaum perempuan terutama kaum ibu ibu di Pedalaman Mentawai. Penulis juga sering ikut bersama sama mencari ikan dengan memakai tanggul, walaupun ikan susah didapat, tetapi menyelusuri sungai merupakan pekerjaan yang mengasikan selama berada di perkampungan butui, pedalaman Mentawai.
Perjalanan panjang selama empat belas hari perjalanan bukanlah waktu yang panjang bagi penulis ketika ingin menikmati kebudayaan Mentawai, berjalan kaki tidak akan melelahkan, malahan sangat mengasikkan sekali, kalau tidak percaya silakan dicoba, dari Padang ke Muara Siberut hanya membutuhkan waktu 3 jam saja, dan dulu butuh waktu satu malam, dari Muara Siberut ke Rorogot, kampung pertama untuk estafet jalan kaki hanya ditempung dalam waktu sekitar satu sampai satu setengah jam dengan boat. Dari Rorogot ke Dorodog hanya satu jam berjalan kaki, dan bisa istirihat di rumah Koki salah sikerei untuk satu malam perjalanan. Dari Dodorog ke Madobak yaitu perkampungan pertama hanya sekitar lima jam jalan kaki, dan diteruskan di Ugai, tempat biasanya Istirahat perjalan kedua. Dari Ugai Perjalanan bisa dilanjutkan ke Butui dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Butui mempunyai sungai yang bersih, sangat cocok untuk melakukan “ Pasigaba iba“, atau perjalanan dilanjutkan di Matotonan melewati Kampung Malagasat, untuk istirahat perjalanan ketiga. Dari Malagasat hanya membutuhkan sekitar lima jam berjalan kaki untuk mencapai Matotonan, yang sekarang sudah bisa dicapai dengan kendaraaan roda dua. Begitulah indahnya nan mempersonanya budaya Mentawai.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 23 April 2017