‘Botatah’; Kekayaan Budaya dari Rantau Minangkabau*

0
3348
Undri

Penulis : Undri, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Salah-satu kekayaan budaya yang amat penting dan berharga yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan oleh masyarakat di rantau Minangkabau, khususnya di Nagari Lansek Kadok Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat yakni botatah. Botatah atau turun tanah anak, biasanya dilakukan bagi anak-anak laki-laki atau perempuan yang berusia dalam lingkungan setahun dan baru pandai berjalan dengan tertatih-tatih. Lazimnya dilakukan pada pagi hari.  Uniknya tradisi tersebut sampai sekarang ini masih dilaksanakan oleh masyarakat di daerah tersebut bahkan telah melampaui sekat-sekat geografis. Artinya bagi ibu dan bapaknya berasal keturunan dari Kerajaan Yang Dipertuan Padang Nunang yang tidak berada di daerah tersebut misalnya di Jakarta, Malaysia dan daerah lainnya diharuskan untuk menatahkan anaknya yang berusia lebih dari satu tahun atau sudah pandai berjalan. Konsekuensi dari tidak dijalankannya tradisi tersebut bagi keturunan Raja Yang Dipertuan Padang Nunang yakni akan terjadi sakit perut pada anak, sakit-sakitan bahkan kelumpuhan. Sebuah tradisi yang berakar pada masa lalu namun tetap dijalankan oleh masyarakatnya sampai sekarang ini dan menjadi sebuah kekayaan budaya.

Penelusuran terhadap sejarah botatah tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan Pagaruyung. Menurut maklumat yang diperoleh dari lapangan bahwa asal mula adat jejak tanah (botatah) yaitu sewaktu anak raja dijemput ke Pagaruyung, sampai di Rao dijejakkan ke tanah karena begitulah adat raja-raja di Pagaruyung.  Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di Luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana Kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja-raja Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau. Luhak Tanah Datar sendiri merupakan salah satu bagian dari Luhak nan tigo  yang terdapat dalam konsepsi masyarakat Minangkabau terutama tentang alamnya. Menurut historiografi tradisional, alam Minangkabau terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan luhak nan tigo dan rantau. Kawasan Luhak nan tigo adalah merupakan kawasan pusat atau inti dari alam Minangkabau, sedangkan yang kedua, rantau ialah kawasan pinggiran dan sekaligus merupakan pusat daerah perbatasan yang mengelilingi kawasan pusat. Salah satu daerah yang termasuk kedalam rantaunya Minangkabau adalah Nagari Langsek Kadok Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat tersebut. Luhak nan tigo, yang merupakan kawasan inti dari alam Minangkabau  terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Koto. Dari ketiga luhak tersebut Luhak Tanah Datar sebagai luhak terbesar dan daerah terpenting ditinjau dari sudut sejarah, sebab Luhak Tanah Datar selain tanahnya subur untuk tanaman padi juga kaya dengan emas dan merupakan pusat kerajaan Minangkabau dimana tempat tinggal keluarga raja dan menteri-menterinya. Umumnya raja-raja kecil tersebut berada di daerah rantau, walaupun ada di daerah darek Minangkabau. Daerah rantau disebut juga sebagai rantau hilie karena wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai, juga rantau mudiak. Di samping rantau hilie masih ada dua daerah rantau yaitu, Lubuk Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam. Rantau selatan yang merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo, Muara Panas, Sawahlunto Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan Jambi (Muchtar Naim, 1979 : 58).

Sebagai sebuah kerajaan besar dizamannya, kerajaan Pagaruyung sendiri memiliki kerajaan kecil sebagai “wakil raja” untuk memerintah di daerah. Kerajaan-kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung dan langsung diberi otonomi khusus untuk mengurus kepentingan pemerintah dan ekonominya termasuk tradisi yang ada. Salah satu tradisi yang dimiliki oleh kerajaan di bawah panji Kerajaan Pagaruyung ini dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakatnya yakni botatah, tradisi turun tanah anak.

Adapun pelaksanaan kegiatan botatah, yakni  sebelum acara botatah dimulai terlebih dahulu anak yang ditatah diberi inai (sejenis tanaman yang bisa membuat warna pada bagian tubuh). Inai tersebut dibalutkan pada bagian kaki dan tangan si anak. Gunanya untuk menjaga tangan dan kaki si anak dari kuman pada waktu menginjak tanah nantinya. Kemudian pihak keluarga  mempersiapkan bahan-bahan untuk botatah, yakni sirih, nasi kunyit, minyak manis, sodah, beras yang dimasak (upiah), bunga tujuh warna, dan emas. Emas ini merupakan milik dukun (tukang botatah) tersebut. Setelah bahan-bahan tersebut dipersiapkan langkah selanjutnya adalah mempersiapkan tikar tempat menatatahkan anak tersebut. Tikar dibentangkan dan diatas tikar ditebar bunga tujuh warna dan padi yang dimasak (upiah).

Langkah selanjutnya, anak yang ditatah diajak berjalan diatas tikar dengan tebaran bunga tujuh warna dan upiah tersebut. Sang dukun mengajari si anak untuk berjalan dengan mengangkat kedua belah tangan si anak. Sang dukun mengajari si anak berjalan sebanyak 3 (tiga) kali. Terakhir sang dukun membaca mantra kepada si anak dan mengosokkan emas ke bagian kepala, pusat dan kaki si anak. Sepanjang proses kegiatan tersebut anak yang akan ditatah disirami  dengan beras warna kuning. Beras tersebut disirami kekepala anak sebanyak 3 (tiga) kali. Ini menandakan adanya pelimpahan rezki bagi anak tersebut nantinya. Menjalankan anak diatas bunga sebanyak tiga kali merupakan rangkaian pelaksanaan botatah selanjutnya. Anak diajarkan cara berjalan dengan baik.

Memandikan anak dengan melulurkan minyak wangi keseluruh badannya merupakan rangkaian pelaksanaan terakhir. Anak dimandikan bersama dengan orang tua perempuan anak dan dukun (tukang tatah) tersebut. Setelah acara botatah tersebut dilaksanakan, anak baru bisa menginjak tanah setelah dua hari kemudian.

Saat sekarang ini, dengan derasnya arus globalisasi yang dipicu oleh kemajuan zaman harus diantisipasi dengan memperkuat identitas bangsa. Identitas bangsa ditunjukkan oleh kebudayaannya. Dalam rangka memperkuat identitas bangsa, pemerintah bersama-sama seluruh komponen masyarakat terus melakukan berbagai upaya dan tindakan untuk melindungi dan melestarikan budaya Indonesia, terutama dalam pengelolaan dan penyelamatan kekayaan budaya tersebut. Begitu juga dengan botatah, sebuah kekayaan budaya yang berasal dari rantau Minangkabau perlu dilestarikan untuk memperkuat identitas bangsa kedepannya. Wasalam.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada 21 Mei 2017