Biduak lalu kiambang batauik

0
3197
Undri

Penulis: Undri

Pemilihan Umum sudah usai, kita tidak boleh terpecah karena berbeda dukungan dan pilihan. Perbedaan dukungan dan pilihan dalam sebuah pemilihan sesuatu yang jamak dalam alam demokrasi, namun tujuannya pasti untuk kebaikan bersama. Mari pula kita bersabar atas hasil akhirnya yang akan diumumkan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Jangan pula kita bersiteru dan terjadi perpecahan. Bila berseteru dalam perbedaan pilihan mari kita bersatu kembali saling bahu membahu dalam membangun bangsa ini, mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ungkapannya biduak lalu, kiambang batauik (biduak lalu, kiambang bertaut).

Biduak lalu kiambang batauik  adalah ungkapan orang Minangkabau yang jamak diserukan untuk merangkul kembali dua orang atau beberapa pihak yang sempat bertikai, berselisih paham atau berbeda pandangan sebelumnya. Biduak lalu kiambang batauik,  frase ini merujuk pada tanaman di atas air yang akan tersibak ketika dilewati perahu atau biduk, tetapi akan menyatu kembali setelah biduk itu lewat. Lekas berbaik atau berkumpul kembali. Seperti perselisihan antara sanak keluarga yang kembali rukun dan damai dalam untaian persatuan dan kesatuan.

Makna terdalamnya adalah bahwa kita bersaudara, usai berbantahan pasti rukun kembali. Kalau berselisih dengan siapapun, walaupun kita menang. Kita tetap kalah yang menang hanya ego dan emosi diri sendiri. Kita tak tahu bahwa yang jatuh adalah citra dan jati diri kita sendiri.

Bila kita menang janganlah berbanga diri berlebihan, sombong dan angkuh. Perlu sifat tawaduk, rendah hati bahwa semua kemenangan yang dicapai merupakan usaha untuk menuju kebaikan. Tidaklah boleh bereforia-berlebihan, sebab kemenangan bukan saja merupakan sebuah keberuntungan namun juga ujian yang maha dahsyat bila kita tidak melaluinya dengan baik. Kemenangan yang ditempuh dengan baik dan penuh kejujuran.

Bukan itu saja bahwa kompetisi dalam memperebutkan kemenangan mestinya dimaknai sebagai persaingan untuk melakukan yang terbaik. Dalam ajaran agama disebutkan dengan seruan berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Tersadari bahwa hakikat dari sebuah kemenangan tidak membutuhkan objek untuk dikalahkan. Meskipun tentu ada pihak yang dianggap lebih unggul dan lebih baik dari yang lain,tapi tidak menjadikan yang kalah diangap sebagai hal yang “jelek,” “rendah,” “tidak berbobot,” dan atribut negatif lainnya. Karena baik yang menang maupun kalah telah sama-sama mengupayakan yang terbaik, bukan yang terjelek. Keduanya selalu berproses untuk arah terbaik pula.

Begitu juga bila kalah, kita harus berlapang dada menerima kekalahan. Tidaklah elok mencari alasan untuk mencari-cari akan kesalahan yang dimiliki bagi yang menang. Kita harus instropeksi dan evaluasi diri, sejauh mana kerja kita berproses yang telah dilakukan. Apakah kerja yang kita lakukan tersebut memang benar-benar baik bagi kebaikan buat bersama atau sebaliknya.

Sebetulnya tidaklah muda untuk menghadapi sebuah kekalahan, namun kita harus memiliki sifat arif dan bijaksana, bahwa semua itu ada hikmahnya, sebuah hikmah yang kadang kala belum pernah dipikirkan oleh manusia. Sebuah kekuatan yang maha dahsyat bila hikmah itu kita sandingkan dengan kekuatan untuk memahami bahwa kita itu harus menerima dengan lapang dada apa yang kita hadapi dimuka bumi ini.

Kita harus menghilangkan persepsi dalam diri kita masing-masing  tentang persepsi atas kekalahan tersebut. Kita selalu mempersepsikan kalah sebagai suatu momok, memalukan, kerendahan, dan semacamnya. Sedangkan menang adalah kepuasan, tujuan akhir, puncak kejayaan, dan segala macam euforia. Konsekuensinya, semua orang berlomba meraih kemenangan dan tidak siap menerima kekalahan. Namun kita harus menyadari bahwa menang dan kalah merupakan bagian dari esensi kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan berjalan silih berganti. Tidak ada kemenangan atau kekalahan yang abadi. Itu pula sebabnya  budaya menerima kekalahan mesti disandingkan dengan budaya menerima kemenangan.

Kedepan,  perlu kita sadari bahwa kalah dan menang adalah merupakan  sebuah pilihan yang harus dihadapi dalam hidup ini, bersikap legawa– siap menang dan siap kalah. Bukankan indah jika saat pengumuman KPU (Komisi Pemilihan Umum) nanti kita melihat para negarawan dan politisi saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain, menjunjung sikap sportivitas dan fair play-belajar dari permainan olahraga. Ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar seragam tanda persahabatan. Kita tidak mau perihal kalah dan menang menjadi persengketaan, permusuhan terus menerus dan menghilangkan persatuan diantara kita. Namun sebaliknya kita haruslah menghindari persengketaan, permusuhan dan jalin rasa persatuan dan kesatuan yang hakiki untuk kemjauan bangsa kedepannya- biduak lalu kiambang batauik. Mudah-mudahan. [Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 21 April 2019.