Batarewai; Tradisi di Idul Fitri*

0
1237
Ernatip

Penulis : Ernatip, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Masyarakat Minangkabau mempunyai berbagai tradisi dalam hal bersilaturahmi diantara mereka. Bersilaturahmi merupakan tradisi yang sudah mengakar dan diwarisi dari generasi kegenerasi. Dalam perjalanannya tradisi bersilaturahmi terus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan zaman, kelaziman dan kepantasan pada suatu daerah. Tradisi bersilaturahmi setiap daerah/nagari di Minangkabau ini berbeda-beda cara pelaksanaannya, tetapi yang lebih terkoordinir  adalah pada perayaan Idul Fitri setiap tahunnya. Tradisi bersilaturahmi tidak hanya bersalaman diantara mereka melainkan disertai dengan atraksi budaya, permainan anak nagari yang melibatkan masyarakat dari usia anak-anak hingga dewasa.

Tradisi bersilaturahmi yang lazim dilakukan oleh masyarakat Minangkabau mempunyai sebutan yang berbeda-beda antara satu nagari/kampung dengan nagari lainnya seperti ada yang menyebutnya dengan sebutan  babalerong, manjalang mamak,  bakajang, batarewai dan lainnya.

Batarewai merupakan  media silaturahmi masyarakat yang dilaksanakan selesai shalat Idul Fitri.  Batarewai adalah  media silaturahmi yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara berjalan bersama-sama (terutama oleh kaum laki-laki)  mengelilingi kampung sekaligus bermaaf-maafan dengan masyarakat yang telah menunggu disepanjang jalan yang dilewati.   Batarewai diawalai dari halaman Kantor Balai Adat  dan  berakhir lagi di tempat tersebut. Adapun rangkaian kegiatannya adalah (1) Semua peserta (termasuk perangkat nagari, ninik mamak, pemuka masyarakat, Alim ulama dan lainnya)  berkumpul di halaman Kantor Balai Adat, (2). Khusus para Penghulu dari masing-masing suku dijemput ke rumahnya oleh petugas yang telah ditunjuk yakni para remaja, dari rumah kediamannya diarak ke Balai Adat. memakai pakaian kebesaran yakni pakaian penghulu. Begitu juga remaja yang mengiringinya juga berpakaian daerah yakni baju koko/guntiang cino, celana batik,dan  kopiah, (3). Rombongan batarewai mengelilingi kampung diiringi bunyi-bunyian alat musik tradisional seperti talepmpong. Biasanya para ibu-ibu termasuk yang sudah lanjut usia berada depan rumahnya menunggu rombongan batarewai lewat untuk  bersalaman (bermaaf-maafan) terutama dengan para penghulu, dan  (4) Akhir kegiatan batarewai berlangsung di Balai Adat, pada pertemuan tersebut dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan nagari, masalah yang dialami oleh masyarakat dan hal lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama setelah itu biasanya diakhiri dengan makan bersama.

Pelaksanaan batarewei merupakan kegiatan awal dalam rangka memeriahkan perayaan Idul Fitri, hari-hari selanjutnya diisi dengan berbagai kegiatan permainan anak nagari, penampilan seni tradisi dan lainnya hingga berlangsung sampai 3 – 7 hari tergantung acara yang telah disusun  sebelumnya. Dengan adanya acara seperti  itu nagari/kampung tersebut terasa ramai apalagi banyaknya para perantau yang pulang kampung. Suasana demikian membuat para perantau selalu rindu untuk pulang kampung, dapat berkumpul bersama keluarga dan masyarakat di nagari tersebut. Suasana lebaran terasa menyenangkan karena diisi dengan berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat terutama para generasi muda. Kegiatan seperti ini termasuk salah satu penarik perantau untuk pulang kampung setiap tahunnya, di samping bersilaturahmi mereka juga menyaksikan  berbagai atraksi yang ditampilkan seperti berbagai jenis permainan, seni tradisi dan lainnya. Selama berlangsunya  kegiatan itu mereka selalu bersama-sama berada pada suatu tempat. Hal ini membuat hubungan antar masyarakat terasa lebih akrab walaupun setelah itu mereka berpisah lagi, kembali  ketempatnya masing-masing dimana mereka mencari penghidupan.

Melalui serangkaian kegiatan tersebut banyak nilai-nilai karakter dapat ditranspormasikan. Implementasi nilai-nilai itu dapat dilihat pada tahapan proses pelaksanaan batarewai sebagai berikut : Pertama, nilai karakter pada tahap persiapan. Pada tahap persiapan yaitu berkumpulnya warga terutama kaum laki-laki dan menjemput penghulu kerumahnya. Nilai-nilai karakter yang  dapat disimak pada tahap ini adalah nilai disiplin , hormat dan kebersamaan.  Disiplin yang dimaksudkan ialah taat, patuh terhadap waktu yang telah disepakati sebelumnya. Kegiatan semacam ini sudah menjadi agenda rutin oleh masyarakat sehingga waktu itu selalu diingat oleh masyarakat. Begitu juga disiplin dalam berpakaian yakni memakai pakaian sesuai dengan status sosial seperti yang dipakai oleh penghulu dan lainnya. Pada tahap ini juga dapat disimak nilai hormat terhadap penghulu yakni orang yang didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang di dalam adat kehadirannya dijemput oleh kemenakan. Proses ini mencerminkan nilai kebersamaan yang dipertahankan oleh masyarakat sehingga kegiatan batarewai berjalan lancar.

Kedua, nilai karakter pada tahap pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan yaitu rombongan batarewai diiringi bunyi-bunyian alat musik tradisional “talempong” berjalan berkeliling kampung, sekaligus bersilaturahmi, bermaaf-maafan..  Nilai karakter yang dapat disimak adalah cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan tanggung jawab. Cinta tanah air yang dimaksudkan disini adanya upaya untuk memelihara, mempertahankan keutuhan wilayah “nagari” untuk kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat yang memelihara adat istiadat/kebiasaan, seni trasdisi, hubungan antar masyarakat dan lainnya. Selain itu juga dapat disimak nilai cinta damai yang tercermin dari  perilaku masyarakat yang saling bermaaf-maafan, saling datang mendatangi untuk bersilaturahmi. Nilai peduli lingkungan juga tercermin dari kegiatan batarewai yakni mengelilingi kampung. Secara tidak langsung sepanjang perjalanan akan terlihat kondisi lingkungan seperti jalan, selokan air, bangunan rumah penduduk, tempat ibadah dan sarana umum lainnya. Terhadap hal yang dilihat itu bila terdapat kerusakan atau tidak layak lagi termasuk bahan yang di bahas diakhir batarewai untuk dilakukan upaya perbaikan. Nilai tanggung jawab juga tercermin dari sikap dan perilaku penghulu sebagai orang yang dituakan dalam kaum, tempat berlindung bagi anggota kaumnnya. Ia bertanggung jawab terhadap anggota kaumnya. Wujud tanggung jawabnya adalah memberikan perlindungan, perhatian bahkan bantuan bila diperlukan. Hal ini berlangsung sepanjang kehidupan masing-masing kaum, namun melalui batarewai dilakukan secara bersama-sama dalam satu nagari/daerah dan ia kembali berhadapan dan melihat langsung kondisi kaumnya.

Ketiga,  nilai karakter pada tahap akhir. Pada tahap akhir yaitu berkumpul di Balai Adat membahas berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi nagari/daerah setempat dan terakhir makan bersama. Tradisi makan bersama menggambarkan sebuah konsep harmoni dan kebersamaan. Makan bersama disini ada yang dinamai dengan makan bajamba yakni makanan yang ditata dalam beberapa buah dulang/talam, satu dulang untuk 4 – 6 orang,   Ada juga yang dinamai makan biasa tetapi tetap dihidangkan yang disebut dengan hidangan batatai yakni makanan yang dihidangkan beralaskan kain seprah ditata rapi sesuai dengan jumlah orang yang akan makan. Hidangan itu terletak dibagian tengah ruangan dan para peserta batarewai duduk bersila mengelilingi hidangan tersebut. Sebelum makan biasanya ada perundingan yang diketengahkan untuk dibahas bersama. Perundingan ini berlangsung dikalangan para orang tua-tua penghulu/ninik mamak, pemerintahan nagari, tokoh masyarakat, alim ulama sedangkan para remaja berada di luar itu.  Tetapi pada saat makan semua ikut termasuk anak-anak bila mereka ada di sana. Pada saat makan para remaja/anak-anak mengambil posisi sesuai dengan kelompoknya pula tidak bergabung dengan orang tua-tua. Pada tahap ini terdapat pembagian nasi yang sudah diisikan  ke piring-piring tanpa ada perbedaan baik untuk orang dewasa berdasarkan status sosial maupun anak-anak.

Nilai karakter yang dapat disimak dari kegiatan tersebut adalah nilai  keadilan, harmoni dan kebersamaan, tahu batas  Nilai keadilan dapat disimak dari pembagian makanan yang sama antara orang dewasa dan anak-anak semua ikut makan walaupun tempat berbeda. Nilai harmonis dan kebersamaan dapat disimak dari awal pelaksanaan batarewai semuanya dalam suasana gembira, akrab satu sama lainnya. Terlaksananya acara ini tidak lepas dari keharmonisan hubungan antar masyarakat sehingga tanpa ada paksaan para ibu-ibu menyiapkan makanan untuk para bapak-bapak  pulang batarewai  Keharmonisan hubungan yang disertai dengan adanya rasa kebersamaan akan menjadi lebih indah, enak dilihat selalu bersama yang berat terasa ringan, yang jauh terasa dekat.

Berbagai nilai yang dapat ditrasformasikan melalui kegiatan silaturahmi batarewai, antara lain nilai disiplin, hormat, kebersamaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan tanggung jawab dan keadilan. Nilai-nilai itu tersirat pada setiap tahapan pelaksanaan batarewai. Melalui kegiatan batarewai diharapkan kelak melahirkan generasi tranformatif yang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai tersebut yang diinternalisasi, disosialisasikan dan kemudian dienkulturasi. Tujuan utama batarewai ini merupakan ritual pengukuhan masyarakat agar menjadi  masyarakat yang kuat menjaga kebersamaan dan melestarikan tradisi.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 7 Mei 2017