Basilang Kayu dalam Tungku Mangko Api ka Hiduik

0
9322
Undri

Penulis: Undri

Keunikan orang Minangkabau bahwa setiap persoalan justru dapat terpecahkan dengan adanya silang pendapat dalam setiap musyawarah. Segala persoalan akan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku makanya api akan hidup).

Pepatah ini mengandung makna bahwa setiap persoalan yang akan dimusyawarahkan akan selalu dipecahkan sesuai dengan bentuk persoalan dan besaran persoalan itu sendiri. Artinya ada pemilihan antara siapa aktor yang boleh terlibat dan dilibatkan serta siapa aktor yang tidak boleh terlibat dan dilibatkan sesuai dengan persoalan yang dimusyawarahkan. Diungkapkan dengan istilah biliak ketek-biliak gadang (ruang kecil-ruang besar). Meskipun mufakat itu sendirinya telah menurut garis yang pantas untuk dibicarakan bersama, mufakat itu mempunyai rukun, yakni kebulatan pendapat, sebagaimana yang dimaksud petitih : bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakeik (bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat).

Bulek aia ka pambuluah, bulek kato jo mufakek, tuah sapakek, cilakonyo dek basilang-bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, tuah hasil sepakat, celaka karena ngotot bersilang pendapat. Menggambarkan nilai kedaulatan rakyat serta adat. Bahwa suara (sikap) rakyat melalui musyawarah mufakat merupakan keputusan tertinggi dalam masyarakat, dan berbahayalah apabila mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan. Karena silang pendapat hanya mengakibatkan kekisruhan.

Nan bana kato saiyo, nan rajo kato mufakat-yang benar kata seiya, yang raja kata mufakat. Kebenaran peribadi seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara bersama oleh masyarakat. Maka yang benar adalah kesepakatan bersama karena dapat dipertanggungjawabkan bersama. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat hendaklah mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara atau nan kusuik.

Kebulatan kata itulah yang dimaksud dengan sakato, yang dapat ditafsirkan apa yang diungkapkan mamangan dan diperkuat oleh petitih itu, bahwa mufakat, yang juga berarti beriya-iya, melahirkan kata yang bulat karena orang yang beriya-iya itu telah melahirkan kesatuan kata dan juga kesamaan kata. Oleh karena itu, pengertian kato di sini, bukanlah merupakan ucapan atau kalimat, melainkan merupakan keputusan mufakat, baik berbentuk peraturan, undang-undang maupun hukum.

            Bagi orang Minangkabau dalam berdemokrasi sering memunculkan perdebatan yang mengarah kepada perdebatan intelektual. Perdebatan intelektual yang dimaksud merupakan upaya perumusan dan penyampaian pemikiran kritis tentang berbagai hal dan aspek kehidupan daerah dan bangsa. Pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Orang Minangkabau selalu memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan mereka, baik yang berasal dari rantau maupun dari ranah sendiri yang terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang mandiri dan otonom.

Penyampaian pemikiran kritis tersebut selain telah menyebabkan terjadinya konflik (silang pandapek) juga memungkinkan terbentuknya konsensus. Dengan kata lain, naluri berkonflik diimbangi dengan kemauan berkonsensus. Seiring dengan hal tersebut, kebebasan berekspresi tinggi di Minangkabau. Orang dapat mengatakan apa saja. Orang boleh saja marah. Jengkel juga tidak dilarang. Mengkritik, mengingatkan, menasehati, menolak, dan bentuk ekspresi lainnya tidak dilarang, dan bahkan dianjurkan, itulah wajah orang Minangkabau dalam berdemokrasi. Berdemokrasi bagi orang Minangkabau terutama dalam pengambilan keputusan harus dibuat melalui proses musyawarah menuju mufakat.

Keputusan yang benar hanya terjadi apabila sakato atau mufakat telah dicapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Bahkan ungkapan ”musyawarah untuk mufakat” dianggap sebagai dasar dari bentuk khusus demokrasi di Indonesia.  Kata mufakat hanya bisa dicapai apabila orang-orang menerima nilai-nilai abstrak tertentu, misalnya akal sehat dan kepatutan, apa yang mungkin, dan akhirnya kebenaran. Jadi, kekuasaan mamak, dan penghulu, yang menjadi elemen penting dalam proses berdemokrasi sama sekali bukan mutlak, melainkan tunduk pada pelaksanaan kepemimpinan di bawah syarat-syarat tertentu.  Orang-orang yang memegang kekuasaan lebih dilihat sebagai wakil-wakil kelompok untuk menghadapi dunia luar, dan sebagai penyelenggara musyawarah-musyawarah yang harus berujung dengan mufakat.

Kedepannya, budaya demokrasi yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau harus mendapat tempat dan dilestarikan oleh kaumnya, dan menjadi fondasi kearah dalam penyelesaian persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Segala persoalan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik, mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 7 April 2019