Air Bangis dan Laut yang Kaya*

0
4503
Zusneli Zubir

Penulis : Zusneli Zubir, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Air Bangis adalah salah satu nagari penghasil ikan terbesar di daerah Pasaman Barat. Di nagari inilah berlokasi salah satu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terbesar dan tersibuk di Sumatera Barat.Nagari ini, nagari satu-satunya yang dimiliki Kecamatan Sungai Beremas ini, juga memiliki pantai terpanjang dibandingkan daerah-daerah di Pasaman Barat lainnya. Panjang garis pantainya adalah 72,56 kilometer, lebih dua kali lipat dari panjang pantai Sasak Ranah Kinali yang hanya 31,67 kilomter.

Dengan potensi serupa itu, tidak heran, jika masyarakat Air Bangis menjadi masyarakat pantai yang mayoritas bekerja sebagai penangkap ikan atau nelayan. Jika kita telusuri perjalanan sejarah masyarakat Air Bangis, pekerjaan sebagai nelayan itu tidak dijalani dewasa ini saja, tetap sejak dahulu kala. Masyarakat Air Bangis sudah menggarap laut sebagai tempat memperoleh hasil untuk kehidupan mereka sudah sejak sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, dominasi laut sebagai ruang hidup semakin terasa. Menurut sebuah laporan, pada tahun 1952 Air Bangis telah menjadi salah satu di antara derah penghasil ikan utama di kawasan pesisir barat Sumatera Tengah. Sepanjang garis pantai Air Bangis hingga ke Sasak menghasilkan tidak kurang dari 620,6 ton ikan pada tahun tersebut.

Pada kurun 1950an itu, Air Bangis dan daerah-daerah penghasil ikan laut di sepanjang pesisir barat Sumatera Tengah pada umumnya, melaksanakan usaha penangkapan ikan masih dengan alat-alat yang sederhana yang terdiri dari bermacam-macam menurut keadaan setempat. Sepanjang pantai barat itu, keadaan pantainya sangat curam, gelombangnya tinggi dan kuat. Berdasarkan kondisi demikian, para nelayan melakukan penangkapan ikan masih di tep pantai dengan mempergunakan alat-alat tangkap seperti: colok, pukat payurng, pukat tepi, pukat lampur, jaring irik, jaring koki, jaring asan aso, kissah, luka (bubu), jala dan pancing rawe.

Selain penangkapan ikan, masyarakat nelayan di Air Bangis pada kurun tersebut telah menguasahakan pembuatan minyak hiu atau “hati ikan tjutut”. Pembuatan minyak hiu itu “dilakukan setjara perseorangan jang sederhananja sadja dan dikerdjakan pada musim hudjan”, demikian dalam laporan Kementerian Penerangan berjudul Propinsi Sumatera Tengah.Minyak hiu itu digunakan/dipakai terutama untuk penyemir pakaian kuda. Pada perusahaan yang telah lebih maju, minyak tersebut diolah menjadi minyak ikan yang di antaranya berguna sebagai ‘obat gemoek’. Sementara sirip dan ekornya sangat digemari oleh orang Tionghoa.

Pada periode selalanjutnya, kehidupan masyarakat Air Bangis  hingga 1970 tampak makmur. Hal ini dibuktikan bahwa pada kurun 1950an-1970an itu banyak orang Air Bangis yang naik haji dan menuntut ilmu agama ke Mekkah. Beberapa orang yang pulang dari Mekkah kemudian di Air Bangis mengajarkan ilmu agamanya kepada masyarakat. Pada kurun ini, Air Bangis dijuluki “Makkah Kaciak”, atau “Makkah Kecil” karena itu.

Tampaknya kemakmuran itu terus berlanjut. Sampai tahun 1977, didapatkan keterangan bahwa Air Bangis menghasilkan 3500 ton ikan laut segar per tahun, enam kali lipat dari produksi pada 1952. Jumlah itu belum termasuk produksi ikan kering yang mencapai 507 per tahunnya. Pada kurun tersebut, jenis ikan yang ditangkap para nelayan pun bervariasi: tenggiri, cakalang, tandeman/aso-aso, hiu, udang, teri, bawal dan lain-lain, demikian itu terdapat dalam Monografi Air Bangistahun 1977.

Menurut sumber yang sama, pada tahun tersebut, jumlah nelayan Air Bangis berjumlah 745 orang, sedangkan jumlah perahu penangkap ikan terdiri dari 333 buah perahu layar dan 16 buah perahu motor. Sementara alat penangkap ikan yang digunakan nelayan Air Bangis pada 1977 itu juga bermacam-macam, mulai dari pukat tepi, payang, pukat irik/lore, jaring tobi, jaring aso-aso, jala, monofilamentnet dan gill-net.

Setelah tahun 1980an, usaha penangkapan ikan semakin berkembang luas di Air Bangis.Baik pemutaakhiran teknologi alat tangkap, semisal jaring dan perahu, maupun pembangungan TPI, di samping pemberian kredit kepada nelayan sebagai dasar permodalan, telah mempu mengubah aktivitas nelayan Air Bangis: meningkatkan produksi dan menambah omzet bahkan hingga dewasa ini. Sebagaimana diketahui produksi ikan laut di Kabupaten Pasaman Barat pada tahun 2015 ditargetkan mencapai 42 ribu ton. Produksi tahun 2015 itu, tentu saja mengalami peningkatan dari tahun 2013 tercatat sebanyak 34,4 ribu ton. Sedangkan pada tahun 2012 produksi ikan tangkapan nelayan tercatat sebanyak 32,2 ribu ton. Angka itu juga terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya (2011) dengan produksi tercatat sebanyak 28,9 ton.

Namun, anehnya, angka-angka statistik menyatakan bahwa masyarakat nelayan kebanyakan masihlah miskin. Ini memang perlu menjadi perhatian lebih serius dari semua pihak terkait, tidak saja pemerintah daerah setempat tentu saja, tetapi juga masyarakat Air Bangis sendiri.

Sekalipun begitu, laut Air Bangis tetaplah menjadi tumpuan hidup banyak orang, yang mana mereka saban waktu menaruhkan harapan kepada hasil yang terkandung dalam perut laut itu. Sekalipun sejak awal 1980an, misalnya, telah mulai tumbuh perkebunan sawit di Pasaman (pada awal tahun 2000an di Air Bangis), tetapi nyaris tidak banyak nelayan Air Bangis yang berpindah kemudi ke darat, meninggalkan laut untuk beralih menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan sawit yang tumbuh pesat di Pasaman umumnya dan di Air Bangis sendiri khususnya. Dari wawancara dengan Fatman, seorang penduduk Air Bangis, didapatkan keterangan bahwa: “Kalau dia sudah melaut, jarang yang pindah menjadi petani sawit.”

Air Bangis dengan lautnya masihlah primadona sebagai tempat mencari hidup bagi orang di pesisir pantai terpanjang di Pasaman Barat itu, bahkan tidak saja untuk orang Air Bangis sendiri, tetapi juga beberapa daerah tetangga seperti Sibolga, banyak juga yang datang ke sini untuk mencari penghidupan. “Kalau mau mencari hidup, ke Air Bangis inilah puncaknya, sehingga banyak orang Sibolga mencari hidup ke sini”.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 26 Maret 2017