Penulis: Zusneli Zubir, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat
Air Bangis menjadi daerah penting di masa lalu. Salah satunya pada masa ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa.
Bagi pemerintah kolonial Belanda, Air Bangis adalah salah satu kota pelabuhan yang terpenting di Pantai Barat Sumatera.Kedudukan pemerintah kolonial Belanda di Air Bangis dimulai pada awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah benteng di Air Bangis.
Menurut Mestika Zed dalam artikelnya yang berjudul “Tuanku Rao: Riwayat Hidup Tokoh Paderi Di Kawasan Utara Minangkabau”, sebelum Belanda membangun benteng di Air Bangis, telah terdapat benteng Padri di situ. Pada periode Padri, Urang Kayo Rao beserta pasukannya pernah mengundurkan diri ke Air Bangis,membangun perkubuan di situ, namun berkemungkinan harus berhadapan dengan Belanda yang menyebabkan Urang Kayo Rao menyingkir ke tempat lain, ke Dalu-dalu.
Setelah mengusir Padri dari situ, Belanda sendiri kemudian membangun benteng di Air Bangis. Sampai sekarang masih ditemukan peninggalan arkeologis benteng Belanda di tepi laut Air Bangis.
Belanda membangun benteng di Air Bangis karena menyadari kenagarian di pantai barat Sumatera Barat itu adalah pintu gerbang ekonomi utama kaum Padri ke wilayah laut di pesisir barat. Christinne Dobbin, dalam “Economic change in Minangkabau as a factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, menganggap daerah ini sebagai “poros ekonomi” utama di pantai Barat Sumatera bahkan sejak periode abad ke-18 bersama-sama dengan Natal, Barus dan Pariaman.
Pelabuhan Air Bangis pada kurun Padri selalu menjadi incaran kepentingan ekonomi Belanda dan sekaligus untuk menutup hubungan perdagangan Padri dengan kawasaan pantai. Pada bulan Januari 1830 Urang Kayo Bonjol dengan 3000 pasukan gabungan dari Padri Bonjol dan Rao pernah pula berbaris menuju Air Bangis untuk memblokir pos Belanda di sana selama empat hari empat malam. Pasukan Padri berhasil membunuh hampir dua pertiga personil Belanda di sana, lalu kemudian mundur ke garis pertahanan mereka, dan tidak mampu mengambil-alih benteng Belanda di situ, demikian kata Sjafnir Aboe Nain dalam bukuTuanku Imam Bonjol. Sejarah Intelektual di Minangkabau (1884-1932).
Setelah Perang Padri usai, pemerintah kolonial Belanda tampaknya masih terus menganggap Air Bangis sebagai daerah pentingnya, ini terbukti dengan ditetapkannya Air Bangis sebagai ibukota Residensi Tapanuli. Betul saja, Air Bangis dipilih salah satunya karena keramaian kota-bandar ini dalam perdagangannya. Sebagai ibukota residensi, tulis M. Nur dalam Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera pada abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, selain berdiri benteng Belanda yang sudah ada sejak masa Padri, di Air Bangis kemudian juga dibangun bangunan-bangun kolonial lain seperti rumah residen, kompleks tangsi, penjara, kantor pajak (pakhuis), dan lain sebagainya.
Di antara Residen Tapanuli yang pernah berkantor/berkedudukan di Air Bangis adalah A.L. Weddik dengan asisten yang dijabat L.A. Galle pada tahun 1843. Residen setelahnya adalah A. van der Haart yang berkedudukan di Air Bangis pada 1843-1848.
Peran Air Bangis sebagai ibukota residensi berakhir pada tahun 1848, ketika ibukota Residensi Tapanuli dipindahkan lebih ke utara, ke kota pelabuhan Sibolga, yang berlangsung sampai tahun 1884. Pada kurun 1884 sampai tahun 1905, pemerintah kolonial membentuk sebuah keresidenan baru dengan nama Keresidenan Air Bangis, dengan Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan ini.
Sejak tahun itu sampai 1913, Air Bangis merupakan sebuah kelarasan yang dipimpin oleh Kepala Laras, Syarif Muhammad gelar Tuangku Ketek, yang masih memiliki darah kerajaan. Namun, berdasarkan Statadbald No. 321 tahun 1913, jabatan Kepala Laras dihapus dan Syarif Muhammad gelar Tuangku Ketek diberikan hak pensiun. Sehingga kemudian ia dikenal dengan gelar Tuangku Laras Pensiun.
Pada periode tersebut, Air Bangis kemudian kembali menjadi setingkat nagari saja. Syarif Muhammad gelar Tuangku Ketek digantikan oleh Hidayatsyah gelar Tuangku Mudo dengan kedudukan sebagai Kepala Nagari selama 5 tahun. Ia kemudian digantikan oleh saudara sepupunya yang bernama Abdullah Kala’an gelar Tuangku Rajo Mudo sebagai Kepala Nagari dengan masa jabatan 1917 s/d 1943.
Nagari Air Bangis sendiri, di samping sebagai nagari sebagai pemerintahan tingkat pribumi, pada kurun ini juga dikenal sebagai onderafdeeling yang dipimpin seorang controluer, demikian dicatatEigen Haard, “Een Indische Buitenpost”, sebuah artikel yang terbit pada majalah Geillusveerd Volkstijaschvift tahun1902.Status nagari ini turun lagi setelah itu, hanya berstatus sebagai ‘distrik’, yang dipimpin oleh seorang demang.
Selama kurun 1928-1929, Jahja Datoek Kajo, tokoh Minangkabau yang terkenal, yang pernah pula menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), pernah menjadi demang di Air Bangis. Dicatatkan bahwa karena tidak sepaham dengan atasannya dalam berbagai hal, Jahja diminta pindah dan menjadi demang Payakumbuh (1915-1918), Padang Panjang (1919-1928), kemudian Air Bangis (1928-1929).
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 12 Maret 2017