Penulis: Zusneli Zubir, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat
Masa Jepang adalah masa yang pahit bagi masyarakat Indonesia nyaris di mana pun. Gambaran kelam tentang kekejaman manusia terhadap manusia lain akan ditemukan selama masa ini. Tidak terkecuali jika kita melirik kepada sejarah Air Bangis selama di bawah cengkeraman Jepang.
Untuk periode Jepang ini, di Air Bangis, sebagaimana kebanyakan daerah lain di Sumatera Barat, Jepang mengambil laki-laki dewasa untuk bekerja sebagai romusha membangun rel-rel kereta api di Logas. Sementara perempuan karena takut akan dijadikan pemuas nafsu tentara, banyak yang melarikan diri dibawa keluarganya ke hutan. Menurut Agus Zahir: “Pada masa Jepang, banyak laki-laki Air Bangis dikirim untuk kerja paksa atau yang dikenal dengan romusha. Sementara beberapa perempuan lari ke hutan karena takut dijadikan pemuas nafsu para tentara.”
Romusha sendiri berasal dari bahasa Jepang yang berarti ‘pekerja- buruh kasar’. Namun, dalam konteks sejarah Indonesia, istilah ini mempunyai pengertian khusus, mengingatkan rakyat akan pengalaman yang pahit di bawah pemerintah Jepang. Bagi orang Indonesia, romusha berarti buruh-kuli yang dimobilisasi untuk bekerja-paksa di bawah kekuasaan militer Jepang.
Menurut Koichi Kimura, dalam buku berjudul Momoye Mereka Memanggilku,kebijakan romusha berawal dari ideologi Asia Timur Raya yang sedang digalang Jepang pada kurun itu. Salah satu isi dari ideologi itu adalah pembangunan dan jaminan keamanan terhadap sumber daya alam untuk keperluan industri militer, antara lain minyak, karet, pertambangan, dan lain-lain. Maka untuk memperlancar usaha pendistribusian keperluan militer tersebut, pemerintah militer Jepang di Sumatera membangun rel kereta api antara Muara Sijunjung hingga Pekanbaru.
Proyek pembangunan rel kereta api tersebut membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi pemerintah pendudukan Jepang di Sumatera. Dalam kenyataannya, jumlah penduduk di sepanjang rel itu sangat jarang. Untuk mengatasi persoalan ini, Jepang mencoba untuk mengeluarkan kebijakan mendatangkan pekerja dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk di antaranya romusha yang berasal dari Air Bangis.
Namun, periode yang kejam dan kelam itu tidak otomatis berhenti ketika Indonesia merdeka. Lepas dari cengkeraman Jepang, Belanda hendak berkuasa lagi di Indonesia. Selama masa revolusi fisik (1945-1950) Indonesia berada dalam kondisi “darurat perang”. Kondisi-kondisi seperti inilah yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia selama masa ini. Ketidakstabilan kehidupan sosial muncul di berbagai tempat di wilayah Indonesia, tidak terkecuali di Air Bangis.
Kemerdekaan yang telah dikumandangkan oleh pemerintah Indonesia, dicoba untuk digagalkan oleh kehadiran tentara pendudukan NICA. Sontak, rakyat yang telah menggenggam kemerdekaan lalu angkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Perang pun meletus antara Belanda yang hendak berkuasa lagi dengan masyarakat Air Bangis yang ingin mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang itu, menelan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama dari kalangan masyarakat Air Bangis sendiri yang memang terbatas secara persenjataan. Banyak di antara mereka yang terbunuh.
Dalam sebuah wawancara dengan Agus Zahir, warga Air Bangis, dikatakan: “Di sepanjang pelabuhan terdapat benteng Belanda, sudah hancur ditelan ombak. Ada juga mess Belanda, bangunan tempat tinggal pihak kolonial. Pada masa Agresi Militer, banyak orang Air Bangis yang dibunuh dan dikubur tentara Belanda di belakang mess itu.”
Kita telah melihat bagaimana masyarakat Air Bangis menghadapi kemelut sejarah dua zaman: pada zaman Jepang dan pada zaman revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Dari keterangan itu kita juga dapat mengatakan bahwa tragedi demi tragedi terus berlangsung di Indonesia, khususnya di Air Bangis. Sebelum Indonesia benar-benar merdeka pada 1950, masyarakat Air Bangis hidup di bawah cengkeraman kuku penjajahan yang berganti-ganti.
Oleh sebab itu, kepada seluruh masyarakat Air Bangis khususnya, dan kepada anak bangsa Indonesia pada umumnya, tiada jalan bagi kita di masa sekarang selain harus bekerja keras membangun bangsa ini untuk berjaya di masa datang sebagaimana pejuang-pejuang di masa lalu telah melakukannya untuk hidup kita sekarang.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 19 Maret 2017