Penulis: Rismadona
Kembali ke surau (ba baliak ka surau) pada era ini mustahil bagi sebagian banyak orang. Sebab ada pandangan bahwa surau dulu dengan surau sekarang secara fungsi telah berubah. Surau lebih banyak berfungsi untuk pendidikan agama, seperti mengaji, pertemuan majelis taqlim, latihan qasidah dan terutama sekali untuk beribadah. Sementara itu penyimpangan sosial di kalangan generasi muda semakin meningkat, seperti narkoba, LGBT, prostitusi, pelaku kriminalitas, dan lainnya jarang lagi dibicarakan di surau-surau.
Penyimpangan sosial merupakan penyakit masyarakat atau istilah lain kuman yang merusak etika dan susila yang berlaku di negeri kita ini. Banyak tempat untuk memberikan pengobatan terhadap penyakit. Penyakit fisik bisa di bawa ke dokter, penyakit bathin bisa di bawa untuk ruqiyah, penyakit masyarakat bisa dibawa ke mesjid atau ke surau. Kenapa demikian?
Sebagaimana kita ketahui, perspektif historis surau memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan nagari, tempat beribadah, tempat pemuda berkumpul dan belajar ilmu bela diri, dan lainnya. Bisakah untuk memutar waktu? Waktu tak bisa diputar karena terus berjalan, namun tradisi bisa dikembalikan, tinggal kesepakatan masyarakat untuk kembali sehingga melangkah babaliak ka surau. Surau sebagai fungsi pendidikan masih berlanjut, tapi fokus ke pendidikan agama dan akhlak yang bisa ditanamakan pada peserta didik. Surau tempat beribadah masih tetap berjalan namun peminat beribadah kesurau pasang surut. Dan kekurangan yang dapat dilihat adalah surau tempat perkumpulan para pemuda dalam bertukar pikiran dan beroganisasi serta berlatih untuk bersilat kehilangan fungsi.
Pemuda sebagai pagar nagari, ia akan memagar dari seluruh persoalan dalam nagari, namun kenyataannya pemuda membawa tungkek rebah, pemuda tersandung dalam persoalan narkoba, LGBT, pelaku kriminalitas, pelaku asusila, dan lainnya. Pelaku demikian pemuda kehilangan fungsi tersebut. Organisasi pemuda tidak lagu beranjak dari surau, persoalan-persoalan penyakit masyarakat tidak lagi dibicarakan di surau, pemuda tidak lagi berkontribusi untuk solusi dari persoalan tersebut. Surau sebagai tempat ibadah, begitu salam diucapkan selesai para jamaah pulang kerumah masing-masing, tidak berdiam diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sehingga jamaah baik dari kalangan pemuda, orang tua tidak lagi berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain untuk saling berbicara tentang persoalan dalam nagari itu sendiri. Penyakit masyarakat tidak lagi terbaca oleh masyarakat itu sendiri akibat tingginya sifat individualistis.,
Fungsi surau bisa dikembalikan dengan program pemerintah serta mengalokasikan dana untuk aktivitas surau itu sendiri. Aktivitas surau seperti pemuda surau bersilat, baik silat ilmu bela diri maupun silat lidah dalam petatah petitih dalam pidato adat masyarakat. Jadi kan surau seperti lembaga dinas pendidikan, adanya kontrol masyarakat yang berpijak dari surau. Pendidikan di surau mungkin saja terbatas tapi ada dalam setiap minggunya. Kita berharap setiap hari Sabtu malam, pemuda berkumpul di surau, tidur di surau dan belajar di surau. Dalam belajar silat, khususnya silat lahir bathin ia tidak saja mengajarkan langkah tapi juga mengajarkan tentang Allah, maka penanaman nilai-nilai agama seiring sejalan lahir dan bathin. Sabtu malam atau istilah lain malam Minggu bisa dimanfaatkan oleh generasi pemuda untuk berkumpul positif, bukan mengincar cewek atau cowok yang mengarah pada perilaku menyimpang dalam masyarakat itu sendiri.
Kembali ka surau kita kebanyakan separuh hati, bukan sepenuh hati, hanya dalam retorika dan batas wacana. Penulis menyaksikan dizaman tahun 80-an, surau tempat beribadah dan tempat berguru baik kalangan generasi muda maupun generasi tua. Generasi tua lebih banyak mengaji tentang tafsiran Al Quran dan tarekat. Dan selesai sholat subuh ke warung bersama untuk menunggu gorengan, dan bercerita tentang sawah, tentang ternak, tentang perilaku anak, tentang kemalingan sebelah tetangga dan begitu matahari bersinar terang mereka berpencar untuk beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Agaknya aktivitas ini juga hilang sesuai dengan perkembangan waktu. Kebiasaan berbagi cerita tentang pengalaman hidup harian tidak terakomodir lagi. Sebab begitu usai sholat kembali ke rumah, lalu sarapan dan berangkat kerja. Surau bahkan kehilangan jamaah, khususnya sholat Zuhur dan Ashar, dengan alasan warga tidak di tempat dan berada di lokasi kawasan kerja. Surau di wilayah lokasi kerja lebih banyak dikenal dengan istilah mesjid, tidak bisa menerima cerita warga, karena kita hanya mendengar ceramah ustad mengisi waktu menjelang sholat.
Salah satu fungsi surau selain beribadah, berguru silat dan mengaji sesungguhnya penampungan curahan hati masyarakat setempat tentang rutinitas yang terjadi disekitarnya tidak berfungsi, masalah di sekitar tidak dipedulikan. Tokoh agama dengan masyarakat di surau dikondisikan dengan satu arah, bahkan dibatasi waktu untuk memberikan pencerahan. Hal demikian tidak memberikan kontribusi terhadap persoalan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Masalah LGBT, prostitisi dan tindakan kriminal, dan lainnya akan bisa memberikan tindakan preventif beranjak dari surau, dengan memberikan pencegahan, pengawasan dan kontrol serta tindakan keras yang dilakukan oleh pemuda surau. Tentunya bagi pemuda surau perlu kekuatan, baik kekuatan fisik maupun kekuatan mental. Kekuatan fisik tersebut dapat dilakukan untuk menggalakkan kembali belajar bersilat ka surau. Dengan memantapkan iman akan memberikan kekuatan mental untuk berjuang dari tindakan pihak-pihak lain yang menghancurkan generasi itu sendiri.
Jadi intinya dalam solusi untuk kembali ke surau dilakukan oleh masyarakat, pertama dalam beribadah memberikan tempat untuk duduk bersama selesai sholat. Dengan duduk bersama membangun interaksi dan bercerita tentang persoalan yang sedang berlangsung pada masyarakat sekitarnya. Kemudian memanfaatkan malam Minggu untuk pemuda belajar ilmu bela diri dan bermalam di surau selain belajar langkah juga diberi asupan tentang ilmu Allah SWT. Mengarahkan organisasi pemuda dan dilegalitaskan, sehingga semua kegiatan dan aktivitas pemuda dapat dipantau di surau, kenapa demikian diluar surau kita bisa saja meragukan pertemuan tersebut yang bersifat negatif, sehingga diluar aturan tersebut bisa kita panggil atau melapor pada pihak yang berwajib. Kemudian dalam kembali ke surau tidak bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri tanpa andil pemerintah, karena situasi saat sekarang kita memulai dari nol dan perlu proses. Untuk pencapaian tersebut maka diperlukan anggaran untuk aktivitas di surau sampai masyarakat itu mandiri dalam berorganisasi dan materi. Kita berharap jamaah surau bukan didiktekan tentang dosa dan pahala dalam materi dakwah, karena semua umat Islam tahu hal demikian, tapi bagaimana surau mengkaji Islam secara mendalam sehingga masyarakat mampu mengimplementasikan dalam kehidupan. Mudah-mudahan [Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang dalam Kolom Bendang pada Minggu, 31 Maret 2019