Pada waktu itu kami harus bersumpah, tidak akan mempergunakan kepandaian silat [silek] dan pentjak itu kepada maksud jang djahat dan menjerang orang dengan tak semena-mena. Kepandaian ini boleh dipergunakan untuk pendjaga diri semata-mata (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).
Sebuah untaian narasi yang baik dan indah dalam memahami bagaimana manatiang syaraik (mengangkat sumpah) dalam silek Minangkabau. Persoalan ini sesungguhnya tidak terlepas pada prinsip silek Minangkabau itu sendiri. Secara prinsip silek Minangkabau merupakan bentuk pendidikan tradisional, seni pertunjukan bagian dari ritual, bentuk praktis bela diri, pencerahan spiritual, dan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Kondisi yang demikian membuat seseorang yang ingin belajar silek tidaklah serta merta langsung diterima, namun harus melalui proses dan memenuhi syarat hingga diterima menjadi murid-anak sasian. Salah-satunya dikenal dengan istilah manatiang syaraik.
Menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan dalam Silat Tradisional Minangkabau (2012 :12) menjelaskan seorang anak sasian (murid) di antar dan diserahkan oleh mamak atau bapaknya menghadap guru dengan membawa persyaratan yang disebut manatiang syaraik (mengangkat sumpah).
Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari
Kita tidak dapat menafikan bahwa setiap nagari dan sasaran silek Minangkabau memberlakukan hal yang sama sebagai adat silek yang mutlak dilaksanakan oleh setiap anak sasian sebelum diakui sebagai murid. Walaupun tata cara dan bahasa yang beragam sesuai adat salingka nagari yang ada di ranah Minangkabau namun intinya tetap sama sebagai bentuk pembelajaran mental spiritual bagi sang calon murid dan ini merupakan sebuah keunikan bila kita memahami tentang persoalan silek Minangkabau itu sendiri.
Lebih lanjut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 13) menjelaskan ketika anak sasian telah melakukan manatiang syaraik maka akan mengucapkan sumpah setia untuk mematuhi segala perintah dan larangan dari guru dengan mengucapkan sumpah lawan idak dikandak, tasarobok tajua tamakan bali, tabujua lalu tabalintang patah, adaik silek tagak di nan bana, adaik iduik ganti baganti. Nyampang barih tamakan paek, nyampang tunjuak kesong ka kida, ka ateh idak bapucuak, ka baruah idak baurek, ditongah digiriak kumbang, karakok tumbuah di batu, iduik tempang matinyo anggan.
Mengenai manatiang syaraik, seperti yang dijelaskan pada bagian diatas sesuai dengan adat salingka nagari, misalnya di perguruan Silek Kumango menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 74-75) bahwa syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik beragam, seperti antara lain kumayan langkok (kemenyan putih, hitam dan merah atau coklat), sirie langkok jo isok (daun sirih, gambir, sada, tembakau), sirawik (pisau atau senjata tajam), marawa (kain kebesaran adat berwarna kuning, merah dan hijau atau hitam), langkok gulai (cabe, garam, bawang, lada hitam), langkok dapua (ayam, telur, beras, pulut, pisang, panyaram, kopi), langkok bilek (ending, cermin, sisir, jarum, benang, tikar). langkok suaian (minyak urut, baju bahasan, suluah atau lampu), langkok bakarilahan (kain putiah, kapuk, kain panjang), dan sebagainya. Kitapun menyadari setiap daerah dan sasaran sekarang ini mengenai manatiang syaraik ini berbeda sesuai dengan kondisi daerah, dan waktunya.
Setelah itu anak sasian dimandikan dengan istilah balimau, makan bajamba (makan bersama) dan anak sasian diharuskan memakan isi perut ayam manatiang syaraik yang disembelih guru disasaran sehingga berlakulah peraturan dan hukum sasaran silek bagi anak sasian yang telah diakui sebagai murid, dan barulahlah setelah itu anak sasian mendapat pelajaran basilek.
Semua syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik tidaklah semata kebendaan semata, namun memiliki makna tersendiri-dan pemaknaannya akan selalu menjadi bagian hidup dari seorang anak sasian. Misalnya lado jo garam melambangkan sebagai upaya dan kemauan seorang murid untuk belajar silek dengan tekat dan semangat yang kuat. Pisau dimaknai sebagai proses memahami kehidupan, disini seorang murid ditempa untuk belajar. Kain putih dimaknai sebagai sakabuang kain kafan yang nantinya apabila disaat dipanggil sang khalik tidak membuat susah orang lain. Jarum panjaik jo banang dimaknai adanya pembelajaran bahwa di perguruan silek mengajarkan murid supaya murid tidak berperilaku boros, memanfaatkan apa yang ada menjadi berguna. Bareh sacupak dimaknai adanya suatu proses dimana mereka diajarkan untuk mandiri tidak boleh tergantung kepada orang tua, apalagi meminta kepada gurunya. Ayam batino, ayam dipelihara untuk diambil telurnya dimanfaatkan sebagai obat apabila mengalami sakit, dan juga sebagai penambah tenaga untuk penambahan gizi, dan sebagainya.
Kekinian, begitulah manatiang syaraik dalam silek Minangkabau, sebuah perihal terpenting bila kita maknai. Disengaja ataupun tidak, kita sering tidak mengindahkan lagi apa yang telah diperjanjikan-dipersumpahkan, baik pada tingkatan paling rendah pada diri sendiri maupun pada tingkat yang lebih tinggi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seyogjanya apa yang telah kita perjanjikan-dipersumpahkan kita laksana dengan baik, karena perihal tersebut akan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak nantinya. Sebuah pelajaran berharga bila kita memaknai dengan baik dalam manatiang syaraik dalam silek Minangkabau. Bersambung…
Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 17 September 2018