Surau, Silek dan Pemuda Kekinian

0
3123

Dulunya, surau selain sebagai tempat mengaji guna meningkatkan peningkatan pengetahuan agama Islam juga sebagai tempat berlatih ilmu bela diri yang dikenal dengan silek. Surau sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat itu sendiri, khususnya kaum pria, mulai dari anak-anak mereka tinggal di Surau.

Pemuda Minangkabau disebut juga dengan anak mudo yang dibentuk sejak kecil untuk dididik dan dibina dalam kehidupan basurau, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Sosok pemuda di Minangkabau menjadi pelindung, pengaman dan tulang punggung dalam memajukan kehidupan nagari, bukan itu saja pemuda Minangkabau merupakan parit paga nagari.

Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari

Pemuda Minangkabau tidak tinggal di kampung di masa lalunya, mereka banyak pergi merantau sehingga kebutuhan ilmu bela diri sangatlah tinggi. Ini terlihat dari petatah petitih orang Minang karakau madang kahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampung paguno balun. Artinya pemuda harus keluar dari daerah kampungnya maka dibekali dengan ilmu bela diri yang dikenal dengan silek.

Silek pada dasarnya di Minangkabau bukan mencari musuh. Ini terlihat dari petatah petitih Minangkabau itu sendiri lawan tak dicari, jika ada pantang diilakkan.  Artinya silek itu dimanfaatkan untuk bela diri tanpa menggunakan alat dan senjata. Belajar silek saat ini di sasaran-saran, sanggar-sanggar seni tradisi dan organisasi silek di bawah naungan IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Beda misi dari organisasi IPSI tersebut, ilmu bela diri lebih bersifat pertandingan dan silek yang dilakukan pada sanggar-sanggar seni lebih bersifat  pada seni gerak gerik keindahan dalam gerakan bela diri.. Pendidikan silek di masa lalu seiring sejalan dengan silek bathin, artinya silek secara lahir dilihat melalui gerak fisik sementara silat bathin berhubungan pesilat dengan Tuhan-Nya.

Dalam belajar untuk berguru silek zaman dulunya, ada bersyarat berguru, seperti membawa beras, pisau, cermin, kain kafan, limau, ayam jago tergantung permintaan guru di mana belajar ber silek. Syarat berguru masing-masing daerah itu berbeda. Beda dengan belajar bersilat secara organisasi dibawah naungan IPSI, seperti membayar uang masuk belajar, uang bulanan belajar.

Namun pada sanggar, belajar bersilat tergantung bagaimana sanggar itu sendiri, karana diantara sanggar ada sanggar ekonomi, artinya membayar saat masuk untuk belajar, ada pula siapa yang mau, boleh bergabung pada silek di sanggar tersebut. Silek  tersebut cuma belajar untuk gerakan saja yang bersifat lahiriah, dan silek bathin itu belajar khusus dan memenuhi syarat untuk berguru. Dengan demikian silek pada zaman dulu dengan zaman sekarang terjadi pemisahan atau pengotak-kotakkan sehingga bukan lagi satu kesatuan yang utuh untuk dijadikan pegangan bagi pemuda tadi.

Kita bisa lihat pemuda tadi ahli agama, belum tentu pandai bersilat, begitu juga sebaliknya. Dalam untuk mendapatkan kedudukan bagi pemuda tadi dalam kehidupan bermasyarakat, di masa lalu seorang penghulu harus pandai bersilat, berpetatah petitih dan paham dengan agama. Namun kita lihat situasi sekarang, penghulu tidak harus menguasai tiga ilmu pengetahuan tadi, cukup kuat secara ekonomi.

Dari uraian di atas surau dan silek pada kondisi terkini terjadi spesialisasi bidang yang terpisah dan perubahan tradisi dalam berguru dan tempat untuk berguru. Pemuda Minagkabau bisa dinyatakan bukan pemuda yang sempurna di zaman lalu, dengan alasan pemuda hanya menguasai satu bidang ilmu saja atau tidak sama sekali. Pemuda yang dianggap sempurna bagi konteks Minangkabau adalah pemuda yang mampu menguasai ilmu bela diri, ilmu adat, dan ilmu agama sehingga dalam diri seorang pemimpin ia mampu memahami masyarakat itu sendiri dari berbagai aspek.

Pemuda yang dibekali dengan ilmu agama, maka ia akan belajar bersikap dan bertutur bicara yang sopan sesuai aqidah Islam itu sendiri. Pemuda yang tahu dengan adat maka ia tahu dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat mengarahkan dirinya sendiri dan orang lain dalam tatanan adat berlaku sehingga tidak terjadi konteks penyimpangan dalam bergaul dan berkomunikasi dalam masyarakat itu sendiri. Begitu juga pemuda yang menguasai ilmu bela diri, maka ia mampu menjaga sanak saudara, karib kerabatnya dari tangan-tangan jahil yang merusak anak nagari itu sendiri, sehingga surau lebih mengutamakan pengelolaan tentang menciptakan orang-orang tahu dengan agamanya sendiri.

Penulis: Risma Dona, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian umum Singgalang pada 16 September 2018