Silek, Parik Paga dalam Nagari (4)

0
2799

Cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebetulnya ada pada prinsip dalam silek Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan filosofis, yakni parik paga dalam nagari. Parik paga dalam nagari ‘parit pagar dalam nagarimaksudnya adalah bahwa silek merupakan benteng bagi sebuah nagari untuk melindungi masyarakat dan kepentingan nagari itu dari berbagai ancaman dan serangan dari luar.

Itu pula sebabnya silek dipelajari anak nagari di Minangkabau untuk mempertahankan serangan musuh, misalnya perampok dan sejenisnya. Anak laki-laki Minangkabau sejak kecil sudah dilatih untuk bersilek di surau. Mereka dilatih oleh guru mengaji yang menguasai ilmu silek tersebut. Latihan silek biasanya usai belajar mengaji pada malam hari. Belajar silek  secara prinsip bagi anak laki-laki Minangkabau tidak terlepas dari kewajiban terhadap bersama yaitu masyarakat, orang kampung yang harus dipertenggangkan dan kewajiban terhadap nagari sebagai sebuah organisasi yang harus dijaga agar jangan binasa.

Kita tidak dapat memungkirinya bahwa silek Minangkabau, pada mulanya merupakan basis penguatan identitas diri, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat Minangkabau yang bersuku-suku dan egalitarian. Harga diri mengharuskan setiap orang bersaing satu sama lain. Oleh sebab itu, konflik menjadi lumrah bahkan niscaya. Tetapi, silek Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, karena filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan ‘lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan’.

Navis (1984 :267) menjelaskan bahwa pada masa lalu semua anak laki-laki harus belajar silek  di sasaran kampungnya, yang tujuannya untuk menjaga diri tersebut. Terutama bagi orang-orang yang akan pergi merantau atau akan melakukan perdagangan keliling. Oleh karena itulah, banyak di antara para ulama ternyata seorang pendekar yang tanguh pula. Kemahiran memainkan silek itu terutama sangat dipentingkan para pedagang keliling, yang membawa dagangannya dari pekan ke pekan yang lain, yang sewaktu-waktu akan mungkin dihadang penyamun.

Baca juga: Silek, lawan tajilapak indak dihadoki jo balabek

Berkenaan dengan hal tersebut maka silek sebetulnya bekal bagi orang Minangkabau terutama kaum laki-laki dikampung halaman dan juga diperantauan. Kepopuleran orang Minangkabau dalam segi ini telah banyak diulas oleh para ahli, misalnya Kato (1982 :82) menjelaskan bahwa ketika gerakan merantau semakin popular, maka para perantau yang kembali biasanya membawa kekayaan, kekuasaan, serta prestise baru, selain gagasan-gagasan dan praktik-praktik baru dari dunia luar ke daerah asal usul mereka. Kato juga menemukan adanya suatu perubahan besar dalam tradisi merantau suku Minangkabau setelah PD II. Setelah perang, merantau secara eksklusif terkait dengan keluarga inti. Orang Minangkabau meninggalkan daerah asalnya dengan keluarga, atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Silek sebagai bekal mereka dirantau menjadi peganggan yang abadi.

Uniknya, bagi kaum laki-laki Minangkabau selain belajar bersilek di surau-surau juga belajar bagaimana mempertahankan diri berupa argumentasi, tempatnya yakni di lapau. Surau-surau dan lapau merupakan arena untuk “pendewasaan” serta “periode turun tanah” anak-anak muda, yaitu transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Naim (1978)  anak-anak (laki-laki) antara usia 7 sampai 10 tahun didorong keluar dari rumah ibunya untuk berdiam di surau-surau. Mereka tidur dan bermain di sekitar surau, atau tidur bersama teman-teman mereka di lapau-lapau. Dalam surau diajarkan membaca Al-Quran dan bersilek. Mereka kembali ke rumah hanya waktu makan dan mencuci pakaian untuk kemudian kembali lagi ke surau atau lapau. Begitulah siklus anak Minangkabau dalam memahami kehidupan, khususnya mempertahankan diri, keluarga dan masyarakatnya.

Disigi dari perspektif sejarah,  zaman dahulu  pada kerajaan-kerajaan mempunyai guru yang melatih prajurit untuk bersilek baik perorangan maupun berkelompok. Tidak berhenti disitu saja pada zaman pemerintah Belanda silek juga digunakan dalam mempertahankan nagari, namun ruang gerak silek ini tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Sebab dipandang berbahaya terhadap kelangsungan kedudukan pemerintahannya. Ada larangan berlatih bela diri seperti silek bahkan ada larangan untuk berkumpul dan berkelompok.  Kemudian, pada zaman penjajahan Jepang,  perkembangan silek tidak terlepas dari politik Jepang terhadap bangsa yang diduduki berlainan dengan politik penjajahan Belanda. Silek sebagai ilmu beladiri didorong dan dikembangkan untuk kepentingan Jepang sendiri, dengan mengobarkan semangat pertahanan bersama dan menghargai sama sama bangsa asia.

Jadi, jelaslah bahwa cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebuah prinsip yang esensial dalam silek. Tak perlu jauh-jauh untuk belajar, semuanya ada dalam silek- parik paga dalam nagari. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 15 September 2018