Silek, Lawan Tajilapak Indak Dihadoki Jo Balabek (3)

0
1200

Keseharian kita dalam pergaulan dan persahabatan selalu dibingkai lawan dan kawan, kawan yang baik dan buruk. Pembingkaian tersebut didasari pada perihal nilai yang yang kita hadapi. Jika nilai yang dihadapi baik maka muaranya menjadi kawan dan begitu juga sebaliknya. Sebab prinsip hidup kita salah -satunya memilih dan merespon pergaulan dan persahabatan, bahkan kadang-kala pertarungan, permusuhan pun tak terelakkan.

Ketika pertarungan dan permusuhan tersebut muncul perlulah kiranya kita belajar dari prinsip yang ada dalam silek. Ungkapan lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak -ketika  lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak.  Begitu ungkapan tersebut sarat dengan nilai, ungkapan yang mengandung pesan bahwa  dalam pertarungan sekalipun, sikap permusuhan tidak boleh ditunjukkan, jika lawan terjerembab atau jatuh maka jangankan menambah kuantitas dan kualitas serangan, menunjukkan sikap siap menyerang pun dilarang. Justru yang diperintahkan yakni menggapainya untuk dibawa berdiri, walaupun kewaspadaan harus tetap dijaga.

Karena sifatnya untuk membela diri, maka ada aturan dalam silek untuk tidak menyerang bagian berbahaya dari tubuh lawan. Silek juga mengandung hikmah, kalau mereka yang menguasai silek dengan baik, mestinya memiliki kesabaran yang tinggi.

Baca juga: Silek, musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan

Disini letaknya silek sebagai media pendidikan yang efektif dalam masyarakat Minangkabau dalam menghadapi lawan untuk bertarung. Bukan itu saja silek Minangkabau menjadi dasar pembelajaran adat, budi pekerti bahkan agama; memiliki prinsip etik bahwa silek bukan untuk menciderai; bahkan silek juga bukan untuk dipertontonkan apalagi digunakan sebagai ekspose kekuatan (Mulyono, 2012: 10-11).

Dengan demikian, silek Minangkabau berbeda dari silat-silat lain yang saat ini cenderung diekspose sebagai simbol kekuatan yang siap anarkhis sebagai lasykar pada kelompok komunitas tertentu. Di samping itu, dalam pewarisan  silek Minangkabau tidak saja diajarkan etika dan keterampilan bela diri (ketangkasan) melainkan juga keterampilan silek lidah (diplomasi) dan mancak yang menjadi dasar kreatifitas dan representasi seni gerak (seperti tarian, teater, dan permainan rakyat).

Ketika kita –lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak– maka kita telah menjunjung aspek yang paling maha dalam adat Minangkabau yakni budi. Menurut Nasroen (1957:173) budi ini mendapat tempat utama dalam adat Minangkabau. Malahan sifat-sifat yang baik lainnya yang dikehendaki  adat itu bagi orang Minangkabau adalah pecahan dari budi itu sendiri. Adat Minangkabau berdasarkan prinsip hidup seseorang dengan bersama, yaitu perseimbangan seseorang dengan masyarakat dan sebuah dasar ikatan yang penting dalam melaksanakan prinsip itu adalah budi.

Sebab dengan adanya budi ada kesanggupan merasakan perasaan orang lain, merasakan orang lain itu adalah sesamanya, juga saudara, senang dan sakit orang lain itu adalah senang dan sakit  dia juga. Adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain.

Bukan itu saja ungkapan tersebut juga mengandung makna bahwa lawan jatuh tidak dihadapi dengan gerak kaki atau gerak tangan, atau variasi kedua gerak tersebut yang bersifat menyerang. Kita sering mendengar dan mengungkapkan membunuh mahidui maampang malapehan, kutiko lawan tajatuah tajilapak, dijapuik jo bayang tangan. Maksudnya adalah dalam proses ini lawan jatuhpun kita bantu untuk berdiri sempurna, dan kemudian baru cakak dilanjutkan. Semuanya bertujuan untuk menghargai dan menjaga harga diri lawan, sehingga tidak dipermalukan, baik dari kita maupun dari orang lain yang menyaksikan.

Ditinjau dari makna yang terkandung didalamnya tidak terlepas dari persoalan sportifitas, kearifan dalam menjaga kehormatan lawan, tidak justru memanfaatkan kondisi lawan yang sedang terjatuh dalam rangka memenangkan cakak.  Sehingga, sebelum  cakak dimulai, cakak yang tidak terelakkan, muncul ajakan bijak sebagaimana terefleksi melalui ungkapan  bukaklah langkah dari sinan,  nak ambo iriangkan dari siko.

Perisai ini tercermain dalam langkah yang dimiliki pesilat, yaitu 3 langkah mundur, dan hanya 1 langkah maju. Maksudnya bahwa seorang pesilat mesti banyak mengalah, bersabar, dan tidak melayani serangan lawan dalam tahap awal. Tiga langkah mundur memberi kesempatan kepada lawan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan serangan, begitulah nuansa keelokan yang terkandung dalam silek.

Jadi dikehidupan kita, bila ada kawan yang terjatuh-terjerembab– jangan ikut memberi beban pula namun kita membantunya untuk bangkit dan berdiri, dan itulah salah-satu esensi yang terpatri dalam silek Minangkabau. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 14 September 2018