“Betul engkau tidak akan mentjari sengketa,”kata ajah, tetapi seandainja ada orang gila-gilaan memukulmu dulu dan menantangmu berkelahi, engkau harus pandai mengelakkan dan membalas. Betapa djuga engkau ingin damai, sebagai persediaan perlu kepandaian ini (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).
Begitulah nukilan kehidupan seorang anak Minangkabau dalam memahami prinsip silek itu sendiri. Namun, hari ini adakah kita punya prinsip tersebut-musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu pantang dielakkan-seperti yang diajarkan dalam prinsip silek. Pertanyaan mendasar jika dikaitkan dengan melihat kondisi masyarakat saat ini yang cenderung lebih banyak mencari lawan daripada kawan. Prinsip yang sangat bertentangan sekali dengan prinsip dalam silek itu sendiri.
Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar. Ada adat silek yang dilakukan oleh setiap calon murid sehingga diakui dan sah menjadi anak sasian. Berlaku untuk siapa saja yang akan belajar silek termasuk anak dan keluarga guru sendiri. Mereka dituntut untuk bersunguh-sungguh, dengan keterampilan fisik dan lidah serta kematangan secara psikologis. Sebab dalam prakteknya seorang yang bermain silek dapat mencederai dan dapat mematikan, Itupula sebabnya, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesar membela diri.
Baca juga: silek lahienyo mancari kawan batinnyo mancari tuhan
Oleh karena itupula dalam silek menghendaki pelakunya orang yang telah dewasa dan matang secara pemikiran, siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek baik dunia dan akhirat.
Perspektif sejarah menurut Mulyono dan kawan-kawan (2010:10-11), silek sebelum agama Islam masuk ke ranah Minangkabau merupakan bela diri yang tidak hanya sekedar melumpuhkan lawan tetapi lebih mematikan. Maka, jarang diperlihatkan secara umum. Setiap guru silek yang mengajar di tempat umum selalu mendapat kawan dan terjadi pertarungan sampai mati, sehingga tempat latihan silek dinamakan sasaran dikarenakan latihan silek ditempat yang semestinya atau tempat yang tepat. Tempat tersebut antara lain di rumah gadang, kandang peliharaan hewan, parak ladang atau di hutan yang jauh dari pemukiman penduduk. Namun, setelah Islam masuk ke Minangkabau silek menjadi media untuk belajar agama Islam dan silek mulai dikembangkan di surau-surau.
Pada dasarnya silek merupakan seni bela diri. Artinya, sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Pertahanannya ialah tangkap dan elek. Jenis tangkap ialah tangkok (tangkap) dengan menggunakan kedua tangan, kabek (kebat) dengan menggunakan siku, dan kunci dengan menggunakan seluruh anggota tangan.
Keterampilan bersilek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau “mencari” musuh. Namun, ketika musuh ternyata datang juga, maka seorang pesilat tidak boleh mengelak. Bahkan, dalam aliran tertentu, khususnya aliran Staralak dan aliran keras lainnya yang diciptakan memang untuk perang atau jihad (misalnya mengusir penjajah), maka dinyatakan kafir bila mundur. Sebaliknya, dalam masa damai, musuh tidak saja tidak boleh dicari tetapi ketika bertemu pun harus dielakkan.
Persoalan ini tidak terlepas dari hal bahwa setiap makhluk hidup dibekali naluri mempertahankan diri dari berbagai ancaman untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ayam diberi taji, harimau diberi taring dan cakar yang tajam, ular diberi bisa yang mematikan dan sebagainya.
Menurut Navis (1984:266) seorang tuo silek, ketika terjadi keenoran ia tidak tampil ke depan untuk menyelesaikan. Ia membiarkan anak didiknya menyelesaikan walaupun ia tahu keadaan itu tidak akan mudah mereka atasi. Hal itu merupakan salah-satu metode pendidikan pendekar. Bila keadaan telah kritis, yang akan dapat menimbulkan bencana, barulah pendekar tampil ke depan. Namun, pada umumnya para pendekar jarang sekali terlibat dalam persengketaan karena mereka saling menyegani. Mereka selalu memperingatkan anak didiknya agar tidak membuat sengketa dengan seorang pendekar. Malahan, mereka akan menganjurkan anak didiknya agar pergi berguru kepada pendekar yang lain. Dengan cara demikian dapat dihidarkan persengketaan antara remaja yang akan dapat melibatkan seluruh anggota sasaran sependidikannya. Perselisihan antara remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi, mereka akan pergi ke pemedanan.
Lebih lanjut Navis (1984:266) menjelaskan bahwa orang Minangkabau yang berselisih dengan sesamanya tidak akan berkelahi di hadapan orang ramah atau tempat perselisihan itu terjadi. Mereka akan pergi ke tempat yang sepi berdua saja atau ditemani kawan masing-masing. Kawan-kawan mereka hanya menyaksikan saja. Tidak boleh ikut campur selama tidak terjadi kecurangan dengan mengunakan alat atau bila melihat gelagat salah seorang akan terbunuh. Perkelahian yang dilakukan di tempat ramai dipandang sebagai perkelahian para pengecut yang mengaharapkan bantuan teman-teman sendiri atau dilerai segera.
Jadi begitulah bernilainya prinsip dalam silek- musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan– bila kita praktekkan dalam kehidupan sehari hari dalam bermasyarakat akan menciptakan keharmonisan. Mudah-mudahan. Bersambung...
Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 13 September 2018