Silampari: Mitos Kerajaan Ulak Lebar

0
8363

Selain cerita Linggau dan Dayang Torek, masih ada cerita Silampari yang cukup terkenal di Kota Lubuklinggau. Cerita ini berkisah tentang mitos kerajaan Ulak Lebar.

Cerita berasal dari sebuah negeri di kaki Bukit Sulap, kebanggaan masyarakat Lubuklinggau sampai zaman sekarang. Di kaki Bukit Sulap, dari arah Barat Laut ke Selatan mengalir Sungai Kasie dan Sungai Ketue. Kedua sungai tersebut bermuara di Sungai Kelingi. Negeri tersebut kemudian menjadi Kerajaan Ulak Lebar serta diperintah oleh Raja Biku. Memiliki kebiasaan sebagai pengembara sakti, Raja Biku bergelar “Delapan Dewa. Raja Biku menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki oleh delapan orang dewa. Isteri Raja Biku bernama Putri ayu Selendang Kuning, seorang peri jelita dari alam dewata. Berstatus sebagai permaisuri Raja Biku, Putri Ayu Selendang Kuning adalah adik Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh. Dewa mantra dipercaya sebagai utusan kayangan—penjaga Ulak Lebar serta negeri-negeri di sekitarnya.

Raja Biku tidak memiliki keturunan meskipun telah sepuluh tahun berkeluarga dan memerintah di Kerajaan Ulak Lebar. Rakyat Ulak Lebar hidup damai dan sejahtera. Mereka memiliki raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Sebaliknya, kegelisahan istana beserta seluruh rakyat Ulak Lebar terus menguat, siapa kiranya yang akan mewarisi tahta Raja Biku kelak. Waktu terus berjalan dan Raja Biku kemudian mengadukan kegelisahannya kepada Dewa Mantra Guru Tujuh. Raja Biku dan Putri Ayu Selendang Kuning, setelah menjalankan pertapaan di Bukit Alas Rimba, pada gilirannya beroleh kabar gembira tentang kelahiran anak-anak mereka. Raja Biku akhirnya memiliki keturunan setelah menuruti arahan Dewa Mantra Guru Tujuh.  Enam anak Raja Biku, mereka adalah mu’jizat dari alam dewata, terlahir karena keramat kembang tujuh dari kayangan. Mereka adalah, sang putra mahkota yang diberi nama Sebubur, Dayang Torek, Dayang Jeruju, Dayang Teriji, Dayang Ayu dan Dayang Iring Manis.

Di antara kelima putri Raja Biku, Dayang Torek dikenal sebagai putri raja yang paling cantik. Kecantikan Dayang Torek terkenal ke seantero negeri sehingga kepadanya dilekatkan sebutan “bak peri dari kayangan”. Banyak raja dan pangeran yang berhasrat untuk mempersunting Dayang Torek. Di lain pihak, Sebubur sebagai satu-satunya saudara laki-laki dalam keluarganya terus bertumbuh menjadi seorang pengembara sakti. Dia menimba banyak ilmu kesaktian sebagai persiapan sebelum mewarisi tahta Kerajaan Ulak Lebar. Karenanya Sebubur acap kali meninggalkan keraajaan. Dia mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Menjalani pertapaan secara berulang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sekaligus menjadi ritual Sebubur dalam memperdalam ilmu kesaktian yang dimiliki.

Sultan Palembang adalah seorang raja yang sangat menginginkan untuk mempersunting Dayang Torek. Sang sultan kemudian mengirim utusan ke Ulak Lebar dengan maksud meminang Dayang Torek. Prosesi pinangan tersebut bertepatan dengan kepergian Raja Biku ke Negeri Cina sekaligus perjalanan Sebubur untuk menyusul ayahanda tercinta. Keluarga istana mengalami kepanikan atas pinangan Sultan Palembang. Dayang Torek menolak pinangan tersebut dan penolakan itulah yang kemudian menjadi pangkal permasalahan yang dihadapi Kerajaan Ulak Lebar. Sultan Palembang merasa tersinggung atas penolakan Dayang Torek serta memutuskan untuk menculiknya dengan menggunakan tangan Raden Bintang. Kerajaan Ulak Lebar merasa terhina dan berduka secara mendalam atas kejadian tersebut.

Lama berlalu, Sebubur pun kembali dari perjalanan panjangnya menyusul keberangkatan Raja Biku. Dia kembali ke Ulak Lebar dengan tangan hampa karena tidak mampu membawa serta Raja Biku. Sang Raja Ulak Lebar telah silam ke dasar Laut Cina Selatan, memenuhi takdirnya sebagaimana disampaikan dulu oleh Dewa Mantra Raja Tujuh. Sebudur memutuskan untuk menjemput Dayang Torek ke Kesultanan Palembang. Bermodalkan ilmu kesaktian yang tinggi Sebubur akhirnya mampu membawa pulang Dayang Torek yang ternyata telah memiliki seorang bayi, keturunan Raja Pelambang.

Perjalanan pulang Sebubur beserta Dayang Torek ditandai oleh peristiwa tragis meninggalnya bayi Dayang torek di Tangah Sebubur. Bayi tersebut dibunuh karena dianggap akan membawa aib terhadap Kerajaan Ulak Lebar. Dayang Torek tidak menerima kenyataan pahit tersebut. Dayang Torek kemudian memutuskan untuk silam ke alam dewata serta membawa serta bayinya yang telah meninggal dunia. Peristiwa magis silamnya Dayang Torek terjadi di puncak Bukit Sulap. Sebubur tidak berdaya untuk mencegah takdir Dayang Torek. Saudara perempuan yang sangat disayanginya itu memenuhi takdir sebagaimana telah digariskan oleh Dewa Mantra guru Tujuh sejak dahulu kala.

Sebubur, pengembara sakti sekaligus putra mahkota Kerajaan Ulak Lebar, adalah tokoh penting dalam legenda silampari. Perannya dalam cerita menandai silamnya seluruh anggota keluarga istana. Raja Biku yang memenuhi takdir dan silam ke dasar laut Cina selatan, Putri Ayu Selendang Kuning beserta kelima saudara perempuan Sebubur—salah seorangnya adalah Dayang torek, silam kembali ke alam dewata. Bahkan Sebubur kemudian juga tidak bisa menolak takdir. Dia juga ikut silam, meninggalkan Kerajaan Ulak Lebar dan kembali ke alam dewata.

Silampari, begitulah lidah orang Lubuklinggau yang hidup setelah masa Sebubur dan Kerajaan Ulak Lebar. Sebubur beserta seluruh anggota keluarganya meninggalkan alam dunia dan kembali ke alam dewata. Secara terminologi kata silampari bermakna “peri” yang “silam”  dan memang demikian makna yang disematkan oleh orang lubuklinggau hingga masa sekarang.

Penulis: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)