“Body Without Brain”
Festival Seni Pertunjukan Padang Bagalanggang-2 yang berlangsung tanggal 25 Oktober – 1 November 2014 terlaksana dengan sukses dan meriah. Kegitan pertunjukan yang dilaksanakan di dua tempat terpisah yaitu Aula Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB-Padang) dan Ladang Tari Nanjombang Rimbo Tarok, diikuti beberapa peserta dari luar negeri Seperti Rianto Dewandaru dan Kana Ote dari Jepang, Anna Estelles dari Spanyol, Ileana Citaristi dan Krithika Rajagopalan dari India, SU-EN dari Swedia dan Paul Adolphus dari Australia serta Nicole Legette dari Chicago USA. Tidak ketinggalan, peserta dari dalam negeri juga turut ambil bagian dalam festival ini seperti Impessa Dance Company, Ranah Teater, Komunitas Seni INTRO dari Payakumbuh, SA’ANDIKO dari Bukit Tinggi yang semuanya berasal dari Provinsi Sumatera Barat serta Kungkum Pertiwi dari Pagar Alam, Sumatera Selatan. Masyarakat juga antusias mengikuti setiap rangkaian kegiatan dari awal hingga kegiatan selesai.
Kemeriahan festival ini semakin terasa lengkap ketika dibuka dengan penampilan Rianto Dewandaru dengan tarian yang berjudul “Body Without Brain”. Dalam “Body Without Brain” ini, Rianto ingin menunjukkan bahwa ada perbedaan antara tindakan yang terkendali dengan yang tidak terkendali, kesadaran dan ketidaksadaran dalam aktivitas fisik. Kita secara alami berpikir bahwa otak memerintahkan tubuh untuk bergerak namun apa gerangan yang akan terjadi saat otak atau kepintaran diganggu atau hilang sama sekali.
Dalam tarian ini, Rianto mengeksplorasi dikotomi bagian serebral otak dalam kaitannya dengan system otak yang memberi perintah untuk menggerakkan anggota tubuh. Tubuh yang terlatih tentu terlatih dalam menampilkan gerakan yang terkendali. Dalam aspek ini, Rianto mencoba meneliti perbedaan antara gerak fisik yang terkendali dan tidak terkendali, dan tema kesadaran dan ketidaksadaran.
Tujuannya adalah berusaha menemukan gerakan logis dan merumuskan metode tarian itu sendiri. Tarian ini juga berusaha menemukan makna tatanan dalam relativitas tubuh manusia dengan menemukan konsep penggunaan tubuh sebagai suatu obyek sebagai pembentuk dasar fundamental tarian. Kemudian diikuti dengan usaha menemukan gerakan yang lahir dari tubuh manusia atau dari impuls otak dan pikiran manusia yang memicu tubuh kita untuk menggerakkan anggota badan yang merupa menjadi gerakan dan tindakan manusia.
Dalam usaha menggunakan tubuh sebagai obyek, Rianto tidak menggunakan tubuh penari, namun tubuh yang telah terbentuk dari pengalaman berlatih sejak kecil yang tumbuh menjadi atletis. Rianto juga merasa tubuhnya sebagai suatu tubuh korban selain dari pada tatanan dalam pikiran dan perasaan dalam tubuh itu sendiri atau konsekuensi fisikal bagi sebuah obyek yang nyata. Tubuh yang bergerak di bawah perintah otak atau pikiran merupakan hal yang menakjubkan. Apa yang kita sampaikan pada pikiran kita akan diterjemahkan dalam tindakan menggerakkan anggota tubuh kita.
Setiap hari tubuh senantiasa bergerak, melakukan sesuatu yang berbeda dari waktu ke waktu. Dan ketika tubuh tidak lagi bekerja, tubuh tidak akan digunakan lagi. Ketika tubuh sudah rusak maka tubuh tidak lagi mempunyai kebebasan untuk bergerak. Dan saat tubuh mulai, maka tubuh secara fisik akan berubah bentuk, kecepatan gerak dan energy akan memudar dan menghilang. Kendali yang hilang biasanya diakibatkan oleh kehilangan keseimbangan dalam tubuh.
Sebagai penampil pertama, Rianto Dewandaru dengan “Body Without Brain”nya seolah menyampaikan pesan bahwa pertunjukan Padang Bagalanggang ini akan menjadi perayaan atas tubuh. Bagaimana tubuh dapat dieksplorasi dan menunjukkan keindahannya….