Supersemar dan Otonomi Sejarawan

0
2415

 

Sampai saat sekarang ini hampir lima puluh dua tahun lamanya setelah  Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 dari Soekarno, keberadaan disekitar Supersemar tersebut masih tetap “gelap”.

Berbagai macam argumentasi muncul, apakah benar adanya Supersemar tersebut ?. Bahkan lebih jauh lagi ada yang berargumentasi bahwa surat tersebut tidak pernah ada. Pertanyaan seperti itu merupakan pertanyaan yang lumrah terutama dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin hari semakin kritis terhadap sesuatu hal yang masa lalu dianggap tabu untuk dibuka ataupun dipertanyakan sebelumnya. Persoalan Supersemar tersebut, sesungguhnya ibarat benang yang kusut dari kumparannya yang semestinya diselesaikan yang akhirnya bisa untuk merajut  sejarah bangsa ini. Namun kusutnya masih bergumpal dan tak tentu mana ujung dan pangkalnya. Pertanyaan kita sekarang ini adalah dimulai dari mana benang yang kusut ini diselesaikan ?.

Berbicara masalah proses penyerahan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto merupakan  sebagai sebuah pristiwa sejarah. Maka upaya untuk memperoleh informasi disekitar pristiwa tersebut, orang mau tak mau harus ”mengolahnya” dengan cara atau metode yang sesuai dengan hal tersebut. Sebagai sebuah pristiwa sejarah, yang terjadi pada masa lalu maka metode atau cara yang tepat adalah dengan mengunakan metode sejarah itu sendiri. Berbicara masalah metode sejarah, salah satu hal yang terpenting dimana orang mau tak mau harus berhadapan yakni dengan  jenis sumber yakni sumber sejarah. Sebagai peninggalan masa lampau, sumber sejarah adakalanya juga dipalsukan. Bagi sepeniliti yang tidak hati-hati dalam mengunakan metode kritik sumber seringkali terjadi bahwa apa yang dianggap selaku fakta tidaklah diterima dengan sendirinya dan bahkan dapat menimbulkan perdebatan.

Pengetahuan tentang sumber sejarah dan kritik sumber merupakan bagian yang esensial dalam  metode sejarah. Sebagai kesaksian dari gejala sejarah, sumber sejarah sesungguhnya mengandung beberapa jenis fakta diantaranya adalah : pertama, fakta keras (hardfact) yaitu fakta-fakta yang biasanya sudah diterima selaku benar sebagai suatu kenyataan (realitas) benar pada dirinya (self-evident) dan karenanya tidak diperdebatkan lagi. Kebanyakan fakta adalah bebas dari kemauan kita. Itulah sebabnya mengapa fakta jenis ini sering disebut fakta keras atau sudah mapan (established) dan tak mungkin dipalsukan lagi. Sebagai contohnya adalah suatu fakta bahwa Soekarno lah yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedua, fakta mentah (cold-fact) atau secara harfiah diterjemahkan dengan fakta dingin. Ia dikatakan demikian karena masih perlu dibuktikan dengan dukungan fakta-fakta yang lain. Oleh karena fakta tidak dengan sendirinya tersedia begitu saja, maka sejarawan melalui penelitian sumber-sumber sejarah mencoba mengolah dan membuatnya bicara, sehingga bisa diketahui dan dimengerti. Tetapi sungguhpun demikian masih terdapat kemungkinan timbulnya perdebatan tentang kebenarannya.

Permasalahan tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenalnya dengan Supersemar tersebut termasuk kedalam kategori fakta mentah ini. Sebab  perdebatan mengenai keaslian surat tersebut masih bermunculan serta masih diragukan baik dari segi isi maupun bentuknya.  Fakta ini ternyata menimbulkan berbagai tanggapan yang kontroversial. Kusutnya tidak berkesudahan diselesaikan atau memang diperbiarkan kusut terus baik kusutnya dalam persoalan keaslian dan bentuk (materinya).

Sesungguhnya kalau kita mencermati dengan seksama begitu kompleknya permasalahan yang akan muncul bila mengungkapkan suatu pristiwa seperti pristiwa Supersemar.  Menurut penulis ada  implikasi apabila keberadaan surat tersebut dibongkar. Sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak dapat kita sangsikan lagi bahwa keberadaan dari surat tersebut akan sangat besar muatan politiknya. Dengan mengungkapkan keberadaannya mungkin akan ada pihak yang dirugikan, namun demi keselamatan serta sejarah masa depan negara kita sepatutnya harus dituntaskan.

Melihat persoalan Supersemar sebagai pristiwa masa lalu, maka seharusnya masalah tersebut diserahkan kepada ahlinya untuk meneliti tentang keberadaan surat tersebut. Peristiwa tersebut perlu diungkap kepermukaan agar masyarakat tahu yang sesungguhnya yang terjadi. Dengan kata lain dengan pengungkapan tersebut semua wacana yang menyangsikan keberadaan surat tersebut dapat terungkap apakah benar ada atau tidak.

Dalam pengungkapan tabir Supersemar tersebut para sejarawan haruslah punya “otonomi”, terutama para sejarawan yang akan menelitinya. Tidak ada hal namanya intervensi terutama dari pemerintah untuk membenarkan atau sebaliknya dari pristiwa sejarah tersebut. Semuanya haruslah sesuai dengan bukti dilapangan, tidak dikurangi atau dilebihkan. Walaupun dalam sejarah perlu adanya interpretasi sejarawan, namun hal tersebut tidak terlepas dari bukti atau sumber yang ada. Suatu tantangan nampaknya untuk mengungkapkan hal tersebut, kemungkinan besar berbagai macam intervensi akan datang namun kalau mau menegakkan serta membuat pristiwa sejarah tersebut sebagai sebuah pristiwa yang benar maka seharusnya intervensi tersebut harus diabaikan. Sehingga akan menghasilkan karya sejarah yang mengungkapkan pristiwa sejarah seperti pristiwa Supersemar yang benar-benar sesuai dengan kejadian tanpa ada tendensi lainnya.

Akhirnya untuk menyelesaikan benang yang kusut yakni masalah Supersemar para sejarawan dituntut untuk kerja yang ekstra keras untuk mengungkapkan semuanya itu. Siapa lagi kalau bukan sejarawan yang akan melaksanakannya. Karena  para sejarawan yang memang ahlinya yang akan meneliti dan mengungkapkan kembali  sejarah lahirnya Supersemar yang sebenar-benarnya. Mudah-mudahan menjadi suatu kenyataan.

Penulis. Undri (Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dan Sekretaris Masyarakat Sejarawa Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat)

Tulisan di terbitkan di Harian Umum Padang Ekspres (Jawa Pos Group), Senin 12 Maret 2018.